Media sosial secara ajaib mendorong kepedulian anak muda pada politik. Dari tahun ke tahun, anak muda semakin rajin merespon kebijakan pemerintah, atau mengkritik perilaku elite yang dianggap lebay.
Peduli politik bagi anak muda masa kini adalah hal gampang, siapa saja bisa melakukan dari mana saja. Selama multimedia masih dalam genggaman, anak muda siap angkat bicara.
Tidak seperti zaman orde baru, di mana pemuda hanya bisa berbisik untuk mencaci pemerintahan Soeharto. Hari ini, semua berbading terbalik, entah keberuntungan atau petaka bagi pemerintahan Jokowi, anak muda semakin berani mem-bully politisi, sebuah fakta bahwa revolusi komunikasi ampuh mendekonstruksi tradisi bapakisme warisan orde baru.
Menilik fenomena tersebut, terlihat anak muda semakin tak berjarak dengan kehidupan politik. Anak muda mulai mengoreksi perilaku politisi, kinerja birokrasi, reputasi polisi, loyalistas TNI, tanggungjawab korporasi dan tindakan diskriminasi.
Ekspresi kepedulian terhadap kondisi ekosistem bangsa, mereka salurkan dalam berbagai bentuk, mulai dari puisi, lagu, video, meme, gambar, lelucon, startup hingga mengorganisir diri membuat komunitas pemberdayaan sosial-ekonomi masyarakat.
Peduli Tidak Cukup
Bonus demografi sudah menjadi kajian serius beberapa tahun belakangan ini. Fokus yang terpenting bagi negara adalah upaya meningkatkan kapasitas anak muda agar terserap dunia kerja. Perhatian pemerintah tidak salah, namun bonus demografi tidak hanya berdemensi ekonomi, ia juga memiliki dimensi politik yang perlu diperhatikan seksama.
Kehadiran bonus demografi bisa menjadi katalisator perubahan struktural terhadap sistem perpolitikan kita. Hal ini cukup beralasan, karena lonjakan jumlah usia produktif yang selaras dengan tren kepedulian dan kreatifitas politik anak muda mulai dipertimbangkan oleh elit nasional.
Disaat bersamaan, kebangkitan anak muda di Indonesia menarik perhatian United Nations Delevopment Programme (UNDP) yang ingin memperkuat partisipasi politik anak muda. Dengan harapan anak muda dapat merevitalisasi berbagai elemen demokrasi di Indonesia
Sayangnya, tren anak muda peduli politik, hanya dikerdilkan oleh partai politik dengan menjadikan anak muda sebagai lumbung suara, dan pemerintah hanya menganggap anak muda sebagai peserta upacara.
Begitu pun diskursus yang marak diproduksi para akademisi yang sebagian besar mengkonstruksi anak muda sekedar sebagai pemilih dan aktivis komunitas. Akibatnya, representasi politik anak muda tidak memiliki posisi strategis malah cenderung menjadi aksesoris bagi kebijakan pemerintahan.
Peduli Lalu Posisi
Sejak tahun 2008 silam hingga saat ini, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) telah menjalankan amanat Asosiasi Parlemen Dunia (IPU) untuk menyelenggarakan kegiatan Parlemen Remaja sebagai wahana pendidikan politik dan demokrasi kepada anak muda.
Bagi DPR RI, kegiatan Parlemen Remaja memiliki manfaat seperti sosialisasi mekanisme persidang di DPR, mengembangkan relasi komunikasi antara DPR RI dengan para pelajar se Indonesia, membangun citra positif tentang parlemen dan mendekatkan parlemen dengan generasi muda.
Nyatanya manfaat yang diterima DPR, tidak menghasilkan timbal balik bagi anak muda, selain konsumsi dan kunjungan ke gedung DPR RI. Sebaiknya, kepedulian politik anak muda yang mulai tumbuh tersebut seharusnya tidak disia-siakan, tapi harus dimanfaatkan menjadi energi baru bagi usaha bersama merevitalisasi masa depan demokrasi Indonesia.
Affirmative action dan Affirmative policy terhadap anak muda dalam bidang politik harus segera diagendakan mengingat bonus demografi yang semakin dekat. Melibatkan anak muda menyambut momentum bonus demografi bukanlah perjudian melainkan jaminan keberhasilan tata kelola anak muda dimasa mendatang.
Affirmative action yang perlu dilakukan dengan mewajibkan partai politik melakukan kaderisasi anak muda minimal 30 persen dalam kepengurusan di tingkat pusat dan daerah. Sedangkan Affirmative policy perlu diagendakan untuk membangun posisi politik adalah dengan memperkuat keterwakilan anak muda melalui mekanisme kuota 20 persen untuk menjadi anggota DPR, DPR dan DPRD.
Kuota anak muda di parlemen perlu didorong dengan merevisi regulasi dalam UU Pemilu dan aturan lain yang berkaitan. Selain itu, partai politik segera membuka diri dan membangun komitmen dalam memperjuangkan representasi politik anak muda di parlemen.
Posisi Baru Representasi
Mengingat semakin dekatnya bonus demografi, keterwakilan anak muda di parlemen harus menjadi agenda besar bersama. Dengan adanya representasi politik anak muda di parlemen akan memberikan legitimasi dan kekuatan untuk memastikan setiap kebijakan pemerintah sesuai dengan kebutuhan dan hak-hak anak muda. Karena seringkali anggota parlemen yang sudah dalam usia yang tidak muda, tidak dapat seutuhnya mewakili dan memperjuangkan kepentingan anak muda, karena adanya perbedaan kebutuhan dan kepentingan diantara mereka.
Agenda penguatan keterwakilan anak muda di parlemen perlu diselaraskan dengan pengawalan dan kajian kebijakan publik berpespektif anak muda yang sistematis dalam proses politik berkelanjutan.
Jika 20 persen keterwakilan anak muda di parlemen berhasil diwujudkan. Posisi anak muda akan bertrasformasi dari objek menjadi subjek politik dalam setiap regulasi dan kebijakan pemerintah.
Posisi tersebut akan menghadirkan representasi politik anak muda secara kuantitas yang dapat mendorong agenda politik dengan menitikberatkan identitas, permasalahan, kepentingan dan kebutuhan pemuda-pemudi di seluruh Indonesia