Selasa, Oktober 22, 2024

Menggugat Premanisme dalam Diskusi Diaspora

Rajabul Amin
Rajabul Amin
Mahasiswa Pascasarjana Komunikasi Penyiaran Islam Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta

Aksi premanisme yang terjadi dalam diskusi diaspora Indonesia di Kemang, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan pada tanggal 28 September 2024 tidak hanya merupakan tindakan kekerasan, hal ini menunjukkan dinamika kekuasaan informal yang bekerja di balik layar untuk menghalangi suara kritis dan menghentikan diskusi yang seharusnya memungkinkan pertukaran ide.

Menurut Kompas.com, salah satu peristiwa yang digambarkan dengan jelas adalah ketika massa anarkistis memasuki ruangan hotel dan menghancurkan acara yang pada awalnya dimaksudkan untuk mengadakan diskusi damai antara diaspora Indonesia di luar negeri dan sejumlah tokoh nasional yang berbicara tentang masalah kebangsaan dan kenegaraan..

Tidak hanya massa anarkistis menyerang secara fisik, mereka juga menyerang gagasan yang dibangun oleh banyak tokoh nasional. Mereka melakukan apa yang disebut Michel Fouchault sebagai “teknik pengawasan sosial”, dimana kekuasaan informal digunakan untuk mengontrol ruang sosial dan membatasi siapa yang dapat berbicara.  Tujuannya adalah untuk mengatur narasi yang sedang berlangsung dan mencegah orang yang dianggap mengancam keadaan saat ini untuk berbicara sebelum mereka sempat berbicara.

Fouchault berpendapat bahwa kekuatan tidak hanya dimiliki oleh negara atau lembaga pemerintah, tetapi juga tersebar melalui jaringan hubungan sosial dan praktik sehari-hari. Kekuatan informal menggunakan premanisme untuk mengontrol percakapan publik. Dengan memasuki ruangan dan menghancurkan acara, massa anarkistis tidak hanya menyerang secara fisik, tetapi juga secara simbolis mengirimkan pesan kepada orang-orang yang terlibat dalam diskusi bahwa apa yang dapat mereka bicarakan memiliki batasan dan bahwa melampaui batasan tersebut dapat berakibat fatal.

Sementara itu, dalam esainya “On Violence”, Hannah Arendt menyatakan bahwa ketika otoritas yang sah tidak dapat mempertahankan otoritasnya secara damai, kekerasan sering muncul.

Menurut Arendt, kekuasaan didasarkan pada konsensus dan legitimasi, dan ketika konsensus ini rusak dan otoritas tidak lagi dapat mengendalikan situasi melalui dialog atau persuasi. Dalam diskusi diaspora, tindakan anarkis itu menunjukkan bahwa ada kelompok tertentu yang merasa bahwa dialog terbuka menempatkan mereka di bawah tekanan, dan mereka memilih untuk menggunakan kekerasan untuk mempertahankan posisi mereka.

Peristiwa premanisme bukan hanya tindakan kriminal, tetapi juga representasi dari ketidakmampuan otoritas yang sah untuk mengontrol wacana publik secara demokratis. Mereka yang melakukan kekerasan mungkin merasa tidak dapat mempertahankan cerita mereka melalui pembicaraan terbuka. Sehingga mereka menggunakan teknik koersif untuk menghentikan percakapan sebelum diskusi alternatif muncul.

Selain itu, Jürgen Habermas menawarkan teori tentang ruang publik, yaitu tempat di mana orang dapat berbicara secara bebas dan rasional tanpa tekanan dari luar. Ruang publik yang ideal seharusnya menjadi tempat untuk diskusi demokratis yang inklusif, setiap orang memiliki kesempatan untuk berbicara dan didengar. Namun, prinsip dasar ini dirusak oleh tindakan premanisme dalam diskusi diaspora ini. Ketika massa anarkistis masuk ke dalam ruangan dan menghancurkan acara, mereka menghilangkan hak para peserta untuk berbicara secara bebas dan menciptakan suasana ketakutan yang menghancurkan tempat publik yang seharusnya bebas.

Habermas berpendapat bahwa ruang publik harus dilindungi dari kekuatan koersif agar percakapan rasional dapat dilakukan. Namun, dalam konteks diskusi diaspora ini, kekuatan informal yang menggunakan kekerasan untuk memaksakan kehendak mereka telah merusak ruang publik yang seharusnya digunakan untuk bertukar ide. Akibatnya, percakapan yang seharusnya produktif terdistorsi oleh ketakutan, dan prinsip percakapan yang sehat hilang. Pada akhirnya, tindakan premanisme ini tidak hanya merusak ruang itu sendiri, tetapi juga merusak nilai dari diskusi yang terbuka dan rasional.

Dalam diskusi diaspora, aksi premanisme menunjukkan adanya kekuatan tersembunyi yang mengontrol wacana publik dengan cara yang informal dan koersif. Meskipun kekuasaan ini tidak terlihat secara langsung, ia hadir dalam bentuk ancaman kekerasan yang menghalangi suara-suara penting. Untuk mengatasi masalah ini, kita harus memahami bahwa kelompok sosial yang mempertahankan posisi mereka di ruang publik juga memiliki kekuasaan, seperti yang dilakukan oleh otoritas formal seperti pemerintah.

Tidak hanya penegakan hukum yang lebih ketat yang dapat menyelesaikan fenomena ini, tetapi juga membangun kembali ruang publik yang lebih aman dan inklusif dimana semua orang dapat berbicara tanpa takut. Untuk melindungi ruang diskusi dari ancaman kekerasan dan menciptakan atmosfer yang mendukung partisipasi bebas, pemerintah, aktivis, dan masyarakat harus bekerja sama.

Untuk mencapai hal ini, hal pertama yang harus dilakukan adalah memastikan bahwa area publik tidak dikuasai oleh pihak-pihak informal yang menggunakan kekerasan sebagai alat untuk mengontrol mereka. Meskipun penegakan hukum penting, dengan membangun budaya dimana semua orang dapat berbicara dengan bebas dan berpartisipasi dengan aman. Ini adalah satu-satunya cara yang dapat kita lakukan untuk membangun ruang diskusi yang benar-benar demokratis dimana orang dapat berbicara secara bebas tentang pendapat mereka tanpa terlibat dalam konflik.

Rajabul Amin
Rajabul Amin
Mahasiswa Pascasarjana Komunikasi Penyiaran Islam Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.