Sabtu, April 27, 2024

Menggugat Netralitas ASN Di Pilkada 2020

Hendy Setiawan
Hendy Setiawan
Mahasiswa Program Pascasarjana Magister Politik dan Pemerintahan Departemen Politik Pemerintahan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

Menghelat Pilkada 9 Desember 2020 tentu dirasa berat karena dalam suasana pandemi Covid-19. Harus diakui memang pandemi Covid-19 ini memberikan implikasi yang sangat signifikan terhadap aktivitas berbagai sektor termasuk Pilkada sekalipun.

Secara multidimensional tidak hanya Covid-19 yang akan mewarnai kontestasi Pilkada 2020 namun ada persoalan laten yang terus terbangun yang selalu dan akan menghantui Pilkada sepanjang lintasan sejarah. Persoalan laten demokrasi tersebut berkenaan dengan netralitas ASN dalam Pilkada 2020.

Netralitas ASN dalam setiap kali selalu menjadi persoalan tersendiri karena akan selalu berulang. Padahal di sisi lain pemerintah melalui berbagai peraturan telah membentuk lembaga untuk mengawasi netralitas ASN agar kontestasi Pilkada tidak diwarnai oleh keterlibatan ASN.

Salah satu lembaga tersebut adalah Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN). Melalui komisi tersebut diprediksi ASN akan fokus pada tanggungjawabnya sebagai pelayan publik. Namun realita menampilkan bahwa masih banyak ASN yang terlibat dalam aktivitas politik praktis.

Problematika netralitas ASN pada puncaknya dalam konteks Indonesia bisa dilacak dari masa Orde Baru. ASN pada masa itu memiliki kekuatan dan dominasi sebagai tangan negara untuk mengintervensi institusi independen yang semestinya bekerja. Kaki-kaki negara Orde Baru yakni birokrasi dan militer menjadi basis hegemoni negara ditambah dengan Golkar pada saat itu.

Bibit-bibit dominasi netralitas ASN di Indonesia disumbang besar oleh keadaaan Orde Baru yang terus berputar dan berdinamika sampai hari ini. Tentu dalam konteks iklim penyelenggaraan negara sudah berbeda namun pola-pola yang ada pada masa itu sebagian besar masih lestari. Hanya mengalami perubahan dan menyesuaikan diri terhadap kondisi mengingat saat ini militer dan birokrasi tidak menjadi alat negara lagi.

Pilkada 9 Desember 2020 yang rancananya akan diikuti oleh 270 wilayah secara serentak tidak luput dari pelanggaran netralitas ASN. Padahal ASN sebagai aktor birokrasi pada situasi sekarng harus bekerja penuh dan fokus dalam mengatasi dan mengendalikan penyebaran Covid-19 di tanah air.

Namun pelanggaran demi pelanggaran terjadi. tentu bisa dibilang jika lembaga-lembaga yang berfungsi menegakkan netralitas ASN tidak dan belum bekerja secara optimal padahal hegemoni negara melalui birokrasi tidak separah pada era Orde Baru. Keterlibatan ASN dalam kegiatan Pilkada merupakan persoalan serius. ASN digaji negara untuk mengabdi kepada negara bukan bermain-main pada arena politik kepraktisan.

Berdasarkan data dari KASN (Komisi Aparatur Sipil Negara) per 19 Agustus 2020 terdapat 490 ASN yang dilaporkan melanggar. Namun baru 372 ASN yang sudah direkomendasikan oleh KASN, dan yang ditindaklanjuti oleh Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) baru 192 atau 52%.

Jenis jabatan ASN yang paling banyak melakukan pelanggaran netralitas ini adalah Jabatan Pimpinan Tinggi (27,1%), Jabatan Fungsional (25,5%), Administrator (14,9%), Pelaksana (12%), Camat/Lurah (9%). Bahakn diperkirakan data tersebut akan terus bertambah mengingat masih ada celah sebelum hari tenang Pilkada.

Pelanggaran netralitas ASN semakin memburuk dan negara harus merespon persoalan serius ini. Negara harus responsif dan memandang netralitas ASN sebagai sebuah keniscayaan terhadap terbangunya kualitas sistem demokrasi yang sehat dan bermutu. Lembaga-lembaga yang dibentuk untuk mengawasi netralitas ASN harus dievaluasi mendalam agar dapat berjalan dengan sebagaimana mestinya.

Netralitas dan Legitimasi Pilkada 2020

Harus diakui memang hadirnya netralitas ASN menjadi penting untuk mengukuhkan kualitas legitimasi demokrasi. Semakin masif pelanggaran netralitas ASN juga akan semakin buruk legitimasi demokrasi yang akan terbentuk. Netralitas ASN menjadi salah satu kunci dalam menciptakan iklim demokrasi yang berkualitas. Legitimasi calon yang terpilih akan menjadi representasi pilihan publik yang sesungguhnya.

Keterlibatan ASN dalam Pilkada hanya akan menodai legitimasi demokrasi dan bahkan lebih jauh akan memanipulasi suara publik. Calon pemimpin daerah bukan merepresentasikan pilihan publik mengingat ada campur tangan kotor dari pelanggaran netralitas ASN. Persoalan demikian menjadi sangat serius karena pada dasarnya netralitas ASN berkaitan dengan aspek kedudukan/posisi.

ASN yang tidak netral jika yang didukung terpilih maka secara otomatis kedudukan menjadi ASN akan aman bahkan memiliki peluang besar untuk menapaki jabatan yang lebih strategis. Namun bila yang didukung kalah maka nasibnya akan menjadi kecemasan tersendiri.

Berbagai pelanggaran telah terjadi baik yang dilaporkan maupun yang tidak dilaporkan. Bahkan sebenarnya kasus pelanggaran ASN jauh lebih banyak secara angka dibandingkan angka masuk yang dilaporkan baik ke KASN ataupun ke Bawaslu RI. ASN sebagai otak dari birokrasi publik tentu tidak boleh bermain api karena sesungguhnya akan membahayakan posisi dan kedudukanya.

Namun yang sangat disayangkan adalah netralitas ASN menjadi berulang dan berulang dalam situasi pandemi. Seolah-olah pandemi ataupun tidak nampaknya masih dilihat sama sehingga pelanggaran netralitas menjadi satu-satunya jalan untuk mendapatkan kekuasaan dan otoritas yang lebih besar. Namun secara konsep hal tersebut menjadi bagian dari patologi birokrasi laten yang memang sulit dihilangkan dalam praktek di lapangan.

Pandemi Covid-19 tentunya menjadi momentum dan refleksi dalam melihat realita dari sisi yang berbeda. Banyak orang berpikiran jika pandemi Covid-19 ini akan menurunkan pelanggaran netralitas ASN dalam Pilkada. Hal itu dikarenakan adanya kebijakan baru sehingga menjadi limitasi gerak dan waktu untuk menutup gerak langkah pelanggaran netralitas ASN.

Ternyata di lapangan justru menjomplangkan argumen tersebut. Membangun birokrasi yang ideal dan mengorganisasikan organisasi publik tanpa melibatkan ASN ke dunia politik praktis memang sangatlah sulit. Politik praktis menjadi gula-gula politik bagi ASN untuk menarik dan memikatnya. Regulasi dan kebijakan yang tegas menjadi sangat penting bagi ASN mengingat sampai hari ini hal itu dianggap sebagai sebuah pembiasaan yang menodai sistem legitimasi demokrasi yang sedang dibangun.

Hendy Setiawan
Hendy Setiawan
Mahasiswa Program Pascasarjana Magister Politik dan Pemerintahan Departemen Politik Pemerintahan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.