Isu Papua akan selalu menarik untuk diangkat dan diperbincangkan. Tidak hanya persoalan konflik, kesejahteraan, dan ketahanan, bahkan sampai pada isu keamanan dan sumber daya alampun juga menarik diulas.
Ada yang melihat bahwa Papua ini adalah persoalan politik, namun juga ada yang melihat jika sebetulnya isu Papua adalah isu kesejahteraan. Terlepas dari perdebatan itu semua penulis ingin memulai dan menunjukkan bahwa pendistribusian sumber daya yang masih timpang menciptakan gejolak konflik. Tadjoedin (2017) bahkan menyebut di era Soeharto sumber daya yang ada di bawah NKRI dikuasai negara dan memainkan peran sentral.
Akibat penguasaan negara yang begitu besar mengakibatkan wilayah-wilayah yang kaya sumber daya seperti Papua menjadikan kondisi sosial masyarakatnya termarginalkan. Berbagai praktik aneksasi sumber daya tanah oleh negara atau perampasan tanah terjadi begitu masif.
Akibat dari ketimpangan akses sumber daya tersebut melahirkan tuntutan gerakan separatisme di Papua (bukan faktor tunggal). Artinya sumber daya yang ada di Papua memberikan kontribusi yang besar bagi lahirnya gerakan separatis seperti KKB. Walaupun sampai saat ini isu separatis di Papua terus bergema, Tadjoedin (2017) menyebut level konflik ini berada dalam tingkatan medium.
Ketimpangan Distribusi
Harus dipahami jika konflik yang terjadi di Papua adalah konflik klasik. Bahkan banyak pihak yang menyebut konflik yang terjadi di Papua ini adalah konflik tahunan dan akan selalu diproduksi secara terus menerus. Penyebab munculnya konflik di Papua salah satunya adalah penguasaan sumber daya yang ada di tanah Papua.
Tidak bisa disangkal jika Papua menjadi salah satu wilayah di Indonesia yang memiliki kekayaan sumber daya. Papua memiliki sumber daya yang memainkan peranan penting seperti minyak, tembaga, emas, gas alam, hingga sumber daya kehutanan yang begitu luas. Kekayaan sumber daya yang dimiliki oleh Papua justru memiskinkan Papua dari berbagai sisi.
Masalah kemiskinan, pelayanan publik, kesehatan, pendidikan, insfrastruktur, serta kehidupan ekonomi masih timpang dibandingkan daerah yang tidak kaya sumber daya. Atas dasar realitas itulah muncul berbagai gejolak konflik yang menyeret Pemerintah Pusat. Salah satunya adalah adanya tuntutan dari Papua untuk memisahkan diri dari Indonesia agar mereka menguasai sumber daya seutuhnya.
Miskin di tengah Kekayaannya
Kalau diperhatikan dari realitas dan data sejak Papua menjadi bagian dari NKRI yakni tepatnya tahun 1969, telah ada banyak perubahan dan transformasi Papua ke arah yang lebih baik. Apalagi dengan dikeluarkannya regulasi tentang otonomi khusus bagi Papua yakni UU No 21 tahun 2001.
Melalui regulasi itu Papua menjadi salah satu penerima kewenangan desentralisasi asimetris Indonesia dengan alasan resolusi-integratif. Kondisi tersebut menjadi jembatan emas bagi Papua di mana kucuran dana dari Pemerintah Pusat dalam kerangka membangun kesejahteraan di Papua terus di Perhatikan.
Adanya dana otonomi khusus, dana tambahan infrastruktur, belum lagi skema perimbangan keuangan pusat dan daerah yang memungkinkan Papua menerima sumber pendanaan dari dana bagi hasil SDA (DBH SDH). Pada konteks ini cukup jelas bagaimana kas-kas daerah bukan lagi kering keuangan, damun kucuran dana puluhan triliun telah membuat Papua menjadi region yang secara anggaran sangat melimpah.
Secara rasionalitas dengan pemasukan keuangan yang sangat besar tentu juga harus beriringan dengan pembangunan kesejahteraan yang ada di Papua. Namun ironisnya dengan sumber keuangan yang besar tidak secara signifikan memberikan perbaikan bagi kesejahteraan yang ada di Papua. Bahkan berbagai studi politik SDA melabeli Papua sebagai region yang sarat akan paradox of plenty. Istilah itu menggambarkan bagaimana wilayah-wilayah kaya sumber daya alam namun menghambat dan cenderung memiskina wilayah yang bersangkutan.
Papua dalam Catatan Statistik
Data BPS per September 2020 menunjukkan Papua memiliki presentase tingkat kemiskinan tertinggi nasional sebesar 26,8% dan disusul oleh Papua Barat sebesar 21,7%. Menariknya Papua Barat ini mekar dari induknya yakni Papua tahun 2003.
Sementara itu data BPS juga mengonfirmasi Papua dan Papua Barat juga dalam kurun 2019, 2020, dan 2021 memiliki indeks pembangunan manusia terendah secara nasional dengan HDI Papua berturut-turut 60,84, 60,44, dan 60,62. Sementara untuk Papua Barat yakni 64,70, 65,09, dan 65,26.
Berdasarkan rentetan data-data statistik tersebut maka persoalan Papua sampai hari ini belum selesai. Berbagai kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemerintah secara signifikan belum mampu memacu pembangunan kesejahteraan yang ada di Papua.
Oleh karena itu sebagai konsekuensi logis dan pertimbangan Papua yang secara resmi telah menjadi bagian dari NKRI, maka negara didorong hadir untuk secara serius merespon berbagai persoalan yang ada di Papua.
Desain pengaturan asimetris Papua melalaui otonomi khusus yang diharapkan mampu mengurai soluasi yang ada di Papua nampaknya tidak mengubah Papua secara masif. Oleh karenanya peninjauan kembali serta monitoring evaluasi secara ketat menjadi penting untuk dilakukan sebagai pemastian bahwa kucuran dana itu harus benar-benar dirasakan masyarakat akar rumput.