“Lahirnya Pancasila”, secara jamak kata tersebut terlontar pertama kali lewat mantan Ketua BPUPK Dr. Radjiman Wedyodiningrat dalam kata pengantar buku yang berisi pidato Sukarno semasa sidang pertama BPUKPKI tepatnya 1 Juni 1945.
Kala itu sidang yang digelar di Gedung Chuo Sangi In di Jalan Pejambon 6 Jakarta menyimpan agenda pembahasan dasar negara. Sidang berlangsung alot dari 29 Mei-1 Juni. Tokoh-tokoh silih berganti menyampaikan usulannya menyoal dasar negara.
Adalah Mr. Mohammad Yamin, Mr. Supomo, dan The Founding Fathers secara asik bergantian menyampaikan usulan-usulannya. Tinggal giliran Sukarno, usulannya diterima secara aklamasi oleh seberinda anggota Dokuritsu Junbi Cosakai. Usulan tersebut nantinya menjadi bahan baku untuk dimasak dan berproduk menjadi alat pemersatu bangsa “Pancasila” hingga saat ini.
Dari sepenggal rapat BPUPKI pertama, menghasilkan sebuah konsensus bersama dari golongan kebangsaan dan golongan Islam dimana harus ada dasar pembangunan sebuah negara.
Namun hampir sewaktu berlalu, sebentuk rumusan dasar negara sukar terwujud. Tindak lanjut dari permasalahan ini, BPUPKI pada tanggal 22 Juni 1945 membentuk Panitia Sembilan. Panitia ini sempat direvisi oleh Sukarno atas dasar untuk menyeimbangkan kandungan dalam Panitia yang antar golongan kebangsaan dan golongan Islam dinilai tidak sebabat.
Tujuan utama dari Panitia Sembilan ini tak jauh dari dasar negara. Yaitu menggelar musyawarah guna menyusun tujuan dan maksud dari sebuah Negara Indonesia merdeka,utamanya bertemali untuk menindak-lanjuti konsensus pada sidang pertama yang dinilai masih menggantung mau dibawa kemana.
Sebentar berproses, panitia ini sukses menelurkan Jakarta Charter atau bangsa kita lanyah menyebutnya dengan Piagam Jakarta. Piagam Jakarta adalah hasil kucuran peluh keringat sewaktu rembugan antara golongan nasionalis dengan golongan Islam.Fakta ini termaktub dalam buku karya Endang Saifuddin Anshari (1997) yang menuliskan Piagam Jakarta ini, menurut Ir. Soekarno, Ketua Panitia Sembilan,merupakan hasil kompromi yang dicapai dengan susah payah antara golongan nasionalis dan golongan Islam.
Lahirnya Piagam Jakarta ini tidak serta merta disambut oleh riuh kebanggaan dari semesta raya bangsa Indonesia. Sedulur kita dari Indonesia Timur menyodorkan sebentuk penolakan keras menyoal Piagam Jakarta.
Musababnya tak lain karena mereka tak senada dengan apa yang tertuang pada poin pertama.” Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”dinilai kurang karib dengan bangunan kebudayaan masyarakat Indonesia Timur yang dihuni mayoritas agama non-Islam.
Mengutip pernyataan Bung Hatta yang termuat dalam karya Affandi Ridhwan (2000),bahwa “Inilah perubahan yang maha penting yang akan menyatukan seluruh rakyat Indonesia”. Dilanjutkannya, seorang opsir muda Kaigun (Angkatan Laut Jepang) yang Bung Hatta sendiri lupa akan nama opsir muda tersebut.
Namun sejengkap pesan disampaikannya kepada Bung Hatta, yakni menyoal keberatan para pemeluk agama Protestan dan Katholik di wilayah Timur Indonesia terhadap beberapa unsur Islami dari Piagam Jakarta adalah pada poin pertama. Ditambahkannya lagi,para pemeluk agama Protestan dan Katholik mengancam akan membentuk negara sendiri.
Pernyataan senada mendarat lewat tulisan Bahtiar Effendy (1998), yang menyibak sebuah fakta bahwa bertemali dengan desakan perubahan oleh Bung Hatta tersebut, empat tokoh golongan Islam meliputi, Ki Bagus Hadikusumo, Wahid Hasjim, Kasman Singodimejo, dan Teuku Muhammad Hasan turut putus kata dengan pengahapusan butir-butir Islam pada sila pertama Piagam Jakarta tersebut.
Perubahan akhir Piagam Jakarta menelurkan Sila pertama yaitu “Ketuhanan Yang Maha Esa” yang bercokol sebagai sila pembuka Pancasila hingga detik ini. Naskah resmi Pancasila ini baru disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945, satu hari setelah Indonesia merdeka melalui rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), bersamaan dengan disahkannya UUD 1945 sebagai undang-undang dasar negara.
Realitas ini memamerkan suatu perwujudan toleransi yang amat cakap.Penyusunan Piagam Jakarta yang notabene bukan perkara sepele, justru diwarnai dengan rembugan panjang antara golongan kebangsaan dengan golongan Islam, harus dikorbankan demi perbedaan yang menyodok datang dari sedulur Indonesia Timur.
Kepentingan kebangsaan jelas tergambar. Bagaimana jika tetap dipaksakan Piagam Jakarta menjadi dasar negara kita hingga saat ini,benih-benih perpecahan akan merebak subur di tanah pertiwi. Dari kacamata kebangsaan Bung Hatta, orang-orang timur tetaplah kawan-karib yang akan memberi predikat persatuan-kesatuan kepada Indonesia.
Ya, torehan spirit keberagaman pada masa itu bak hilang digerus ego individualis bangsa kita. Peringatan hari lahir Pancasila boleh saja bercokol sebagai agenda yang meramaikan awal Juni.Namun esensi dari peringatan ini sendiri perlu diketarani ben cetha.
Seringkali peringatan semacam ini hanya sebagai formalitas saja di lembaga-lembaga negara, pendidikan maupun instansi lain. Formalitas ditunjukkan lewat gelar Upacara Bendera. Bentuk formalitas kental peringatan hari-hari besar yang menyangkut paut sejarah bangsa Indonesia ini lebih masyur jika dilakoni disamping rasa tepa selira kita untuk menjalankan semangat dikandung badan semesta NKRI.
Spirit Pancasila selaku alat pemersatu bangsa adalah generator penggerak nasionalisme. Sejenak mari bertukar sudut pandang dengan Bung Hatta yang tekak mendesak perubahan Piagam Jakarta.
Refleksi dari apa yang beliau rasakan, korbankan, dan daya juang pikiran untuk tetap bertubuh satu Indonesia sukar kita jumpai lagi masa ini. Semangat ini hilang, doa Indonesia semoga spirit diversity dalam Pancasila tetap panjang umur.