Taingyintha saat ini sangat populer di Myanmar. Kata ini menjadi acuan rejim yang sedang berkuasa di Myanmar untuk merujuk penolakan hak-hak sipil dan politik warga Rohingnya. Dengan sedikit pemicu, kerusuhan pun pecah sebagai alasan pemembersihan wilayahnya dari warga yang bukan Taingyintha.
Lalu kemana term Burmannese yang kita kenal selama ini?
Sangat menyakitkan bagi kita yang berjarak kurang lebih 3500 km dari ibukota Naypyitaw itu menyaksikan dan merasakan jeritan ratusan ribu orang yang lari dari kampung halamannya, sementara ratusan lainnya tak sempat menyelamatkan jiwanya bulan September lalu. Semua hanya karena persoalan kekuasaan!
Melihat konflik yang panjang dan tak berkesudahan di Myanmar, bangsa Indonesia, seharusnya lebih waspada terhadap berkembangnya virus-virus perpecahan yang mulai merebak di sebagian penduduk republik ini. Apabila kita, yang sekarang masih mengakui NKRI sebagai Negara kesepakatan bersama, hendaknya waspada pada tindakan, ucapan, dan perbuatan yang dapat memicu konflik baru yang tak perlu.
Baru-baru ini, tak bisa dipungkiri bahwa turbulensi politik yang terjadi di Provinsi DKI Jakarta, hanya untuk memperebutkan kursi DKI-1, telah menyebar luas ke wilayah-wilayah lain dalam rangka pilkada 2018 hingga Pemilu 2019 mendatang.
Klaim ini tidaklah prematur, karena seperti himbauan Menkopolhukam Wiranto untuk mewaspadai manuver kelompok radikal sejak dini. Manuver-manuver seperti itu akan terlihat pada pola yang digunakan seperti teknik-teknik mobilisasi massa, pengkondisian masyarakat, jargon-jargon yang digunakan, alat serta modal yang digelontorkan. Hal ini dapat tercium melalui pola isu-isu yang dilontarkan dalam pemenangan DKI-1 terutama di media sosial dan media percakapan daring lainnya.
Konsep politik identitas yang dibungkus rapi dengan daftar hasutan yang panjang dan terukur, telah menjadi racikan gurih ditangan politisi-politisi oportunis dan tak bertanggungjawab.
Mereka dengan teratur menyebarkan isu yang “digoreng”, dengan menggunakan orang-orang yang “mendadak tokoh”, atau akun-akun medsos yang diternak, kepada kelas masyarakat tertentu. Yaitu kelas masyarakat yang jamak dengan beratnya beban hidup, rapuhnya pegagan karena keringnya nurani agama dan rendahnya pemahaman berdemokrasi.
Mereka tidak hanya memetakan target market mereka secara horizontal, secara vertikal pun mereka dapat masuk dengan menggunakan relasi-relasi yang dapat langsung menggedor pintu hati dengan memakai jargon-jargon yang tak disadari masyarakat merupakan benih dari intoleran dan lebih jauh lagi dapat mengarah pada radikalisme.
Pemerintahpun cepat tanggap terhadap imbas dari turbulensi yang terjadi pada pilkada DKI lalu. Secara khusus Presiden Joko Widodo meminta para ulama, pemuka agama lainnya, dan penggiat sosial untuk membantu republik ini jauh dari kegiatan, tindakan, dan ujaran kebencian yang jauh dari karakter asli masyarakat Indonesia. Di sisi lain, pemerintah berusaha menertibkan ormas-ormas yang tak sepaham dengan konsep NKRI dengan menerbitkan Perpu Nomor 2 Tahun 2017.
Lalu apa yang dapat kita pelajari dari situasi masa lalu ini?
Menggiring masa demi satu tujuan tertentu semua orang boleh dan dapat melakukannya, tapi menggunakan politik identitas apalagi yang mengarah pada bifurcated racialized politics sangatlah tercela hanya untuk kekuasaan sesaat. Benih-benih perpecahan sudah terlihat di beberap tempat, saling adu dan tuntut atas ujaran kebencian dan fitnah sebagai imbas dari pilihan politik seseorang atau sekelompok orang sudah acap terjadi di republik ini. Rasa marah yang terpendam, sifat egaliter dan sektarian yang berlebihan kini masih terpendam dalam diri dan kelompok masyarakat. Dan hal ini sangat rentan untuk dipicu menjadi konflik horizontal yang menakutkan. Kita tentu tidak ingin seperti Myanmar atau jazirah Arab yang perang tak henti-henti hanya karena hasutan dan
Indonesian=NKRI
Pemerintahan saat ini dengan penuh semangat membangun, terutama infrastruktur, sebagai landasan Bangsa Indonesia di masa mendatang. Pemerintah terus melakukan perbaikan layanan dan fokos pada perbaikan fondasi pendidikan, kesehatan, dan ekonomi.
Semua usaha itu hanya dapat dilakukan secara bersama-sama, tanpa peduli apa warna kulit, agama, apalagi afiliasi politik warga republik ini. Bangsa ini belum dewasa hampir dalam segala hal, dan kita kekurangan politisi yang negarawan. Jadi, giringlah pikiran, ucapan, dan tindakan hanya pada kemajuan bersama, kesejahteraan yang berkeadilan, dan baik kepada bumi tempat kita tinggal ini, seperti kata ibu peri (kepada) bumi.(Efrizan)