Rabu, Oktober 9, 2024

Menggerakkan Literasi Pilkada melalui Perpustakaan 5.0

Habibah Auni
Habibah Auni
Mahasiswa biasa yang mencintai dunia kepenulisan. Topik yang disukai seputar politik, sosial, dan energi.

Pilkada 2020 sarat akan kecurangan, begitu ungkap peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Egi Primayogha. Menurutnya, praktik-praktik kecurangan seperti politik uang kemungkinan besar akan semakin marak di tengah kondisi pandemi. Di samping Egi, Pak Ma’ruf Amin secara tidak langsung juga mengungkapkan hal yang sama. Maka menjadi hal yang lumrah, ketika sejumlah oknum kandidat yang kurang bertanggung jawab, akan memanfaatkan momentum masa sulit ini untuk melancarkan praktik vote buying.

Ibrahim Z. Fahmy Badoh dan Abdullah Dahlan (2010:19) mendefinisikan politik uang sebagai praktik dalam setiap tahapan pemilu yang dapat dipengaruhi oleh uang sehingga berakibat diuntungkannya salah satu kandidat politik. Penyebab adanya praktik politik uang – menurut Sjafrina dalam artikel ilmiahnya yang berjudul Dampak Politik Uang Terhadap Mahalnya Biaya Pemenangan Pemilu dan Korupsi Politik (2019) – adalah keinginan memperkaya diri.

Di sinilah kemudian dinasti politik mengambil peran; menguatkan sumber daya ekonomi yang dimilikinya agar kepentingan modal keluarganya tidak beralih ke pihak ataupun kelompok lain. Dinasti politik akan terus merebak, lantaran adanya modal finansial yang kuat (dimana berkemungkinan untuk melancarkan politik uang secara terus-menerus), kekuatan jaringan, dan posisi dalam partai.

Akibatnya, sebagaimana pendapat Putnam (1976), dinasti politik mempersulit terwujudnya pemerataan kesejahteraan antar lapisan masyarakat. Melampaui itu, dinasti politik akan melahirkan tirani dalam bentuk baru, sebagaimana Hidayati (2014) menyebutkan, “Politik dinasti tidak hanya merugikan secara politik, tapi juga secara ekonomi yang dapat merusak persaingan yang sehat…”

Kembali kepada pembahasan awal – Pilkada 2020 sangat berpotensi besar memicu terjadinya politik uang – yang mana menyebabkan terjadinya fenomena dinasti politik. Serupa dengan alur berpikir tulisan hingga ini, Ketua PP Muhammadiyah Busyro Muqoddas menilai Pilkada 2020 memunculkan fenomena dinasti politik yang memiliki episentrum di lingkaran Istana Kepresidenan. Pilkada 2020 dapat dipastikan, membawa dampak buruk untuk masyarakat dalam jangka pendek, jangka menengah, maupun jangka panjang.

Tentu untuk menyelesaikan permasalahan dinasti politik dalam Pilkada, langkah utama yang diperlukan adalah penanggulangan di hulu (penyebab utama). Sebab jika penyelesaian hanya berkutat di hilir seperti penangkapan aktor dinasti politik, pemberantasan praktik politik uang, dll, fenomena dinasti politik tidak akan sepenuhnya bisa terselesaikan. Seharusnya penyelesaian dimulai dari menjawab pertanyaan “mengapa bisa terjadi dinasti politik dalam pilkada?”

Jika merujuk pada pendapat Suharto dkk dalam artikel ilmiahnya Pilkada, Politik Dinasti, dan Korupsi (2017), salah satu pendorong terjadinya dinasti politik adalah, cara pandang masyarakat terhadap kandidat dinasti politik. Kelompok pertama adalah masyarakat tradisional – yang umumnya masih menerima dinasti politik. Kelompok masyarakat ini menganut paham tradisional; cenderung memilih kandidat politik dinasti dengan figur karismatik.

Kelompok kedua adalah masyarakat yang berpikir pragmatis – yang turut memperparah dinasti politik. Kelompok masyarakat ini hanya peduli dengan kepentingan jangka pendek berupa mendapatkan imbalan dari politik uang. Dalam konteks polemik Pilkada 2020, kemungkinan besar jumlah anggota kelompok masyarakat pragmatis akan meningkat, mengingat sulitnya ekonomi rumah tangga.

Apabila merujuk Putri (2017), kelompok masyarakat tersebut bisa diklasifikasikan sebagai irisan dari golongan apatis (masa bodoh dengan Pilkada) dan golongan spectator (ikut Pilkada). Sebagai akibatnya – kedua kelompok masyarakat yang dapat dikatakan mewakili populasi penduduk Indonesia – memiliki : (1) kebutuhan terhadap informasi politik yang rendah (terutama tentang kandidat politik yang terafiliasi dinasti politik), (2) kurangnya minat dalam menginvestigasi terhadap seluruh proses Pilkada, dan (3) kurang kritis dalam mengevaluasi produk akhir dari Pilkada.

Dengan kata lain, penyebab utama terjadinya dinasti politik adalah, subyektivitas pemilih yang disebabkan minat literasi yang rendah. Oleh karena itu – menurut Presiden Lembaga Swadaya Masyarakat Lumbung Informasi Rakyat (LSM LIRA), HM. Jusuf Rizal – untuk menanggulangi dinasti politik, poin penting yang perlu dilakukan adalah meningkatkan literasi politik masyarakat agar memilih kandidat politik yang berkompeten, bukan sekedar populer karena nama besar keluarga. Adapun literasi politik dapat diwujudkan pelaksanaannya oleh perpustakaan – selaku institusi penyelenggara proses pembelajaran politik bagi semua lapisan masyarakat — secara terus-menerus.

Sebelumnya, perpustakaan adalah institusi yang bertujuan untuk memberikan kemudahan bagi proses mengedukasi masyarakat, sehingga tumbuh budaya literasi pada masyarakat dan pustakawan (Tunardi, 2018). Dengan demikian, kehadiran perpustakaan di tengah masyarakat bukan sekedar institusi formal; melainkan suatu wadah/organisasi yang memiliki tanggung jawab dan andil dalam membawa perubahan sosial.

Hal ini setali tiga uang dengan Schramm (960:55), yang menyatakan bahwa perpustakaan memiliki dua fungsi dalam perubahan sosial – yang berkaitan dengan Pilkada, yaitu memberitahu masyarakat tentang proses politik dan membantu masyarakat dalam proses pembuatan keputusan politik.

Di sinilah peran knowledge management atau manajemen pengetahuan perpustakaan hadir, sebagai langkah-langkah sistematis dalam mengelola aset intelektual/pengetahuan dan berbagai informasi dari individu/perorangan. Maka perpustakan dalam konteks Pilkada – harus bisa mengelola berbagai informasi Pilkada dari berbagai individu, guna menyajikan informasi Pilkada yang akurat, komprehensif, dan mencerdaskan melalui satu pintu. Harapannya, masyarakat bisa memperoleh segala informasi Pilkada yang akurat, sehingga memunculkan perubahan kehidupan sosial masyarakat yang konkret (Karim, 2018).

Mengingat manajemen pengetahuan memiliki tiga unsur – yang salah satunya adalah teknologi – maka dengan mengaitkan argumentasi sebelumnya, teknologi berperan besar dalam mengelola aset pengetahuan dan informasi seputar Pilkada. Oleh karena itu, diperlukan pengaplikasian media sosial (medsos) sebagai manajemen pengetahuan Pilkada.

Perpustakaan medsos ini nantinya menggunakan aplikasi Instagram sebagai poros knowledge sharing, di mana terintegrasi dengan platform-platform medsos lainnya sebagai bentuk nyata manajemen pengetahuan Pilkada yang lebih rapih. Perpustakaan ini akan membagikan berbagai informasi seputar politik dan Pilkada dalam bentuk content writing dan copy writing, namun tidak melupakan kualitas substansi dari tulisan.

Tidak lupa juga ada buku e-pilkada, yaitu buku pedoman pilkada yang dibuat dalam 10 slides di satu postingan Instagram. Kontennya seputar informasi kandidat pilkada dan pilkada itu sendiri, di mana dibuat oleh pustakawan, pakar politik, dan institusi formal lainnya.

Habibah Auni
Habibah Auni
Mahasiswa biasa yang mencintai dunia kepenulisan. Topik yang disukai seputar politik, sosial, dan energi.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.