Sekularisme menjadi tema unik sekaligus inspiratif. Pilihannya bukan sekularisme atau tidak sekularisme. Tapi ada wilayah tertentu di mana orang harus bersikap sekular, dan ada wilayah tertentu di mana orang harus rela urusan-urusan privatnya diatur negara.
Perkawinan sejatinya adalah urusan individu (privat), namun demikian kita tetap tidak bisa melepaskannya sama sekali dari intervensi negara. Bahkan, beberapa kawan mendorong agar pencatatan perkawinan yang merupakan hak negara, juga menjadi bagian dari salah satu syarat sahnya perkawinan.
Dalam kasus itu, secara tidak disadari sebenarnya ada upaya untuk menyatukan urusan individu dan negara. Sebaliknya mereka yang menolak cara berpikir sekular, justru menolak upaya penyatuan ini. Kelompok ini masih kerap membedakan antara perkawinan yang sah menurut agama dan yang sah menurut negara.
Sikap seperti itu sendiri sebenarnya adalah cerminan dari cara berpikir sekular, yang justru dilakukan atau diamini oleh orang yang menolak sekularisme. Pada kasus-kasus seperti itulah, kita tidak bisa berpikir hitam putih.
Masalah yang termasuk keyakinan keagamaan; jenis keyakinan apa yang boleh dan tidak boleh hidup di Indonesia, menurut saya memang harus disikapi secara sekular. Intervensi negara dalam wilayah itu harus betul-betul dibatasi. Ada wilayah-wilayah di mana orang harus mengkompromikan antara kepentingan individu dan kepentingan negara, termasuk masalah keagamaan.
Contoh lain adalah masalah zakat dan pajak. Kalangan agamawan kita masih berpikir bahwa pajak merupakan kewajiban terhadap negara sementara zakat adalah kewajiban terhadap agama. Pemisahan demikian adalah sesuatu yang khas sekular, yang dalam kasus ini malah banyak didukung oleh kalangan agamawan. Padahal kalangan terakhir ini memiliki kecenderungan anti sekular. Artinya, sekularisme ternyata malah dipraktikkan dalam kehidupan keagamaan oleh orang yang menolak sekularisme itu sendiri.
Kita yakin bahwa sebuah agama bukan hanya menjadi urusan pribadi tapi juga harus mempunyai spirit. Ada proses internalisasi keagamaan individu. Tapi kalau hanya internalisasi atau sekadar untuk kepentingan dirinya, beragama menjadi tak berarti. Maka dalam kehidupan beragama harus ada proses eksternalisasi. Artinya, kalau saya meyakini korupsi itu adalah kejahatan, maka saya harus mengeksternalisasikan keyakinan keagamaan itu dalam bentuk aktivitas untuk memberantas korupsi.
Sejarah nasional kita menempatkan komunitas agama dan keyakinan keagamaan mempunyai peran penting sebagai spirit dalam melakukan perlawanan terhadap kolonialisme. Maka akan terasa tidak adil, kalau kemudian setelah Indonesia merdeka, mereka justru dibuang atau dijauhkan dari negara.
Saya kira kalau yang ditonjolkan (eksternalisasi) agama dalam wilayah publik bukan sesuatu yang bersifat simbolik, melainkan nilai-nilai esensial agama. Kalau selama ini umat beragama mendorong negara untuk menegakkan keadilan, itu tak lain dari bentuk spirit keagamaan, bukan semata-mata paham sekular.
Tapi, bagi sebagian besar umat beragama hal di atas dianggap tak lebih dari masalah sekular biasa, yang tidak ada hubungannya dengan agama. Agama, bagi mereka, baru terlihat kalau sudah ada simbol-simbolnya.
Itulah yang menurut saya keliru, jangan sampai ada dominasi salah satu agama pada wilyah negara, karena negara adalah milik bersama, milik publik. Adanya dominasi kelompok tertentu hanya akan menimbulkan kelas-kelas tertentu dalam negara. Akan ada kelompok kelas satu, kelas dua, kelas tiga dan seterusnya.
Perbedaan tersebut pada gilirannya menimbulkan rasa terpinggirkan yang diidap oleh kelompok kelas bawah. Kelompok ini akan selalu merasa tidak bisa menjalani peran yang sama dengan kelompok lain. Situasi seperti inilah yang menurut saya berbahaya dan, akibat terparahnya, akan berpotensi melahirkan diskriminasi, separatisme dan sebagainya.
Dominasi peran negara
Negara kita ini sudah cacat sejak lahir. Meski dalam sejarah bangsa kita sempat terjadi pertarungan antara kelompok Islamis dan sekular, kenyataannya hingga kini Indonesia tidak jelas menjadi negara sekular atau negara agama. Sebenarnya, konstitusi yang kita miliki sendiri dapat mendorong negara ini ke arah sekularisme.
Artinya, konstitusi kita dapat dijadikan alat untuk melakukan sekularisasi, meski juga bisa dijadikan alat untuk menegakkan Islamisme. Buktinya, orang-orang yang mendorong regulasi bernuansa Islam itu juga mendasarkan perjuangannya pada konstitusi. Kenapa ini bisa terjadi, itu karena cacat hukum bawaan yang kita miliki.
Kalau kita baca segala jenis undang-undang, termasuk RUU Perbankan Syariah, UU Zakat, Haji, dan lainnya, semuanya mengklaim berdasarkan konstitusi. Kini, suka atau tidak suka, kelompok-kelompok yang menjadikan konstitusi sebagai jargon dan payung untuk mendorong Islamisme menjadi begitu dominan. Tak aneh kalau kemudian muncul berbagai UU yang cenderung khas Islam.
Jika mungkin, negara tidak seharusnya membuat UU yang ekslusif. Jangan sekali-kali membuat UU yang hanya diperuntukkan bagi kalangan tertentu saja. Konstitusi kita menjamin agar semua warga negara diposisikan setara di depan hukum.
Secara teoritik memang benar bahwa tugas negara adalah membuat regulasi yang melindungi hal-hal yang menjadi ancaman terhadap kebebasan warga negara. Misalnya, kalau beragama menjadi hak sipil setiap orang, maka negara harus membuat regulasi yang memungkinkan kebebasan itu bisa terjamin, sehingga tidak ada lagi orang yang bisa memaksakan satu keyakinan terhadap orang lain.
Tapi coba kita mengikuti cara berpikir orang-orang lain; misalnya anda bisa melakukan apa saja termasuk melakukan pornografi, karena itu hak anda, tapi kan saya juga punya hak untuk tidak terinfiltrasi oleh nilai-nilai buruk yang anda bawa. Di situ jelas akan terdapat benturan jika negara hanya berpihak pada satu kelompok.
Yang paling memungkinkan, dalam konteks ini, adalah melakukan regulasi yang bisa mengamankan. Di satu sisi bagaimana supaya hak orang untuk berekspresi tidak dilanggar, tapi di sisi lain hak orang supaya tidak terinfiltrasi nilai-nilai buruk juga terlindungi. Kalau kita mengikuti perdebatan tentang RUU Anti-Pornografi dan Pornoaksi (APP), kira-kira di situlah pusaran konfliknya.
Tapi satu hal yang menurut saya harus menjadi keyakinan bersama adalah bahwa apa yang kita perjuangkan, seperti menciptakan tatanan masyarakat yang adil, dalam arti sebenarnya, dan menciptakan tata kehidupan yang saling menghargai, hingga kini tetap menjadi bagian dari spirit keagamaan yang paling dalam.
Pada titik ini, sikap mengutamakan menang kalah dalam beragama atau mempolitisasi agama sungguh bertentangan dengan spirit keagamaan itu sendiri. Makanya, kalau ke depan komposisi kekuatan politik mengalami perubahan, dengan munculnya tokoh yang memiliki pemahaman keagamaan baik, tercerahkan, menguasai hukum HAM dan sebagainya, kemungkinan perubahan ke arah kehidupan yang lebih baik menjadi sesuatu yang bukan sekedar impian.
Sebaliknya, kalau ternyata yang lebih berkuasa dan mewarnai panggung politik di masa mendatang adalah kelompok fundamentalis, kondisinya, menurut saya, malah akan bisa lebih buruk dari sekarang.
Sekularisme memang barang langka setelah keran reformasi bergulir. Satu saat, sekularisme menampakkan wajah muram, karena banyak penolakan membabi buta. Tapi saat lain secara tidak sadar sekularisme telah menjadi spirit untuk tidak peduli sama peran negara dalam kehidupan.