Apa yang membuat manusia saling membenci? Sakit hati? Ketidaktahuan? Ataukah disfungsi empati? Overdosis prasangka? Malpraktik bias kognitif? Atau hanya ketidaksamaan selera?
Barangkali serangkum poin tersebut memancing kita untuk menelusuri lebih jauh tentang kenapa manusia bisa membenci. Terlebih di masa sekarang, ada saja hal-hal kecil yang mampu membuat homo sapiens saling bertengkar.
Di kolom komentar medsos ada yang berantem hanya karena perbedaan pandangan mengenai tingkah laku seorang artis di sebuah konten. Lebih dari lima ratus orang beradu jempol untuk mengetik kecaman mereka di dunia maya tentang kebijakan politik menteri tertentu. Sementara di luar semua itu, terdapat juga anak muda yang mendadak sangat membenci seseorang–bernama “mantan”–yang padahal dulunya begitu ia cintai setengah mampus.
Untuk membaca beberapa peristiwa sosial sekaligus psikologis itu, agaknya penting bagi kita untuk sejenak melipir, berhenti, lantas membaca bagaimana kebencian itu bermula dan anasir apa saja yang dapat menyemai dan menumbuhkannya.
Di bidang psikologi, saya pernah mempelajari ulasan menarik dari Robert J. Sternberg mengenai kebencian. Tokoh satu ini terkenal dengan salah satu teori unggulannya bertajuk “The Psychology of Love“–yang melibatkan segitiga cinta berisi: intimacy-passion-commitment. Nah, bagi Sternberg ini (terutama dalam bukunya The Nature of Hate dan The Psychology of Hate), kebencian merupakan kebalikan (negasi) dari ketiga unsur tersebut. Ia juga merumuskan beberapa poin penting yang turut berkontribusi untu membuat seseorang membenci.
Pertama, prejudice (prasangka). Bahwa melalui prasangka seseorang dapat terjerumus ke dalam kebencian. Contoh sederhananya, saat kita bertemu dengan orang asing, kita sama sekali belum mengantongi informasi mengenainya sehingga hal tersebut menimbulkan sejumlah asumsi awal yang mungkin tergesa-gesa dan tidak berdasar.
Prasangka ini bisa muncul ketika kita menemui, misalnya, orang bertato yang kemudian kita duga sebagai sosok yang jahat. Prasangka ini dapat membengkak hingga menyebabkan kesalahpahaman dan kekeliruan memutuskan sikap. Inilah yang akan mudah membuat orang terpeleset membenci sesuatu yang padahal tidak/belum dia ketahui.
Kedua, overgeneralization (generalisasi yang berlebihan). Masih berkaitan dengan poin pertama, overgeneralisasi ini membuat seseorang memandang satu atau sebagian kasus kemudian dipukul rata seolah itu berlaku umum dan menyeluruh. Dalam istilah bahasa Jawa, istilah yang mendekati adalah “gebyah uyah“.
Seseorang yang memelihara janggut dan celana cingkrang, misalnya, identik dengan kaum ekstremis dan karena itu, semua orang yang berjanggut dan bercelana cingkrang kita overgeneralisir sebagai kaum ekstremis dan patut untuk dimusuhi. Padahal tidak begitu.
Overgeneralisasi semacam ini tentu dapat mewujud ke banyak hal, seperti di urusan politik partai, kesukuan, kelompok agama, sampai antarpedagang di pasar. Poin ini dapat secara ironis mengantarkan seseorang menjadi pembenci tanpa sempat berpikir jernih dan menelaah persoalan secara akurat.
Ketiga, automatic thought (pikiran otomatis) dan read the thought (berlagak bisa membaca pikiran orang lain). Pada poin ini masih berhubungan erat dengan prasangka tadi. Pikiran otomatis membuat seseorang menarik kesimpulan secara terburu-buru, sementara “berlagak tahu akan pikiran orang lain” mampu menjerumuskan manusia untuk keliru menilai seseorang.
Sebagai contoh, pikiran otomatis yang keluar di benak kita saat bertemu orang bertato dan perokok, akan rawan membuat sikap kita menjadi antipati, atau bahkan mengucilkan dan memandang sebelah mata. Sedangkan berlagak bisa membaca pikiran seseorang, membuat kita potensial berlaku senewen dan tidak tepat. Keduanya berkontribusi dalam menyemai sekaligus menyebarkan kebencian di ruang publik. Apalagi keduanya ini sangat rentan menguat jika dipertemukan dengan stigma dan stereotype.
Keempat, minimization-maximization. Ringkasnya, mengecil-kecilkan suatu persoalan atau melebih-lebihkannya. Kedua sikap ini tentu berefek pada bagaimana cara kita merespon sesuatu. Jika berhadapan dengan sebuah masalah dan kita enggan menyikapinya dengan tepat, otomatis hasil yang dicapai pun akan melenceng.
Saat bertemu suatu peristiwa kecelakaan, contohnya, ada sebagian orang yang bersikap mengecilkan perkara dan ada sebagian lagi yang membesar-besarkannya. Yang meremehkan tentu akan menuai konsekuensinya, begitupun yang membesar-besarkannya. Lazimnya yang terbiasa membesar-besarkan masalah adalah pikiran yang dipenuhi dengan narasi konspirasi. Sementara yang menyepelekannya, terkadang isi kepalanya kebak simplifikasi yang tidak akurat. Masing-masing memiliki andil dalam menumbuhkan kebencian pada diri seseorang.
Kelima, catastrophic thinking. Sederhananya poin ini masih berhubungan dekat dengan maximization atau secara populer bisa dikatakan “parno” alias paranoid. Mungkin pernah suatu kali anda menjumpai seseorang–sebut saja Karjo–yang pikirannya begitu kebak dengan praduga negatif.
Saat Karjo duduk di suatu majelis taklim, mendadak di sampingnya ada seseorang berjanggut, memakai jubah, dan menggendong tas hitam. Karjo yang paranoid ini berpikiran, “waduh, jangan-jangan orang ini bawa bom, nanti masjid ini hancur, aku mati, dan tidak ada satupun yang mengenali jasadku. Duh, bisa gawat ini.” Begitulah kira-kira catastrophic thinking bekerja. Ia juga mampu melahirkan benih-benih kebencian dalam diri seseorang.
Kesemua poin-poin mengenai kebencian di atas tentu belum semuanya. Masih terdapat banyak unsur dan garis hubung partikular ke sejumlah kasus, seperti faktor dendam, pengalaman ketidakadilan, penindasan, kemiskinan struktural, dan aneka penyebab lain. Meski demikian, sejumlah poin tersebut patut untuk diwaspadai agar kita tidak mudah termakan isu dan terjebak ke lubang kebencian tanpa dasar. Apalagi mengingat kesemua anasir di atas akan mampu mengantarkan seseorang menjadi pelaku kekejaman bahkan genosida.
Atas ihwal tersebut, berdasarkan kelima poin di atas, setidaknya ada beberapa rekomendasi penting yang berguna untuk kita agar terperosok menjadi pembenci. Pertama, berpikir kritis, karena ini penting untuk mengambil sudut pandang yang lebih komprehensif dan rinci agar tidak terjebak pada kesimpulan yang salah. Kedua, pause-habit atau kesediaan memberi jeda sebelum menarik kesimpulan atas peristiwa, watak seseorang, atau apa saja. Ketiga, berempati pada siapa pun, karena empati adalah unsur kunci dalam membangun masyarakat yang solid dan peduli satu sama lain.
Keempat, memandang sesuatu sebagaimana adanya ia. Ini juga berarti berani dan legowo menerima seseorang menjadi seseorang–analoginya: menerima ayam menjadi ayam, tanpa memaksanya untuk memburung-burungkan diri.
Kelima, rajin bersilaturrahim atau mengenal satu sama lain agar mampu menepis bias dan prasangka. Ini krusial, sebab dalam kehidupan bermasyarakat, terkadang kita saling membenci hanya karena belum saling mengenali. Coba, deh, sesekali ajak dia ngobrol sambil ngopi. Nanti malah akrab dan jebul bisa guyon tertawa bersama.