Sabtu, April 20, 2024

Mengenali Motif Pelaku Mutilasi

Hascaryo Pramudibyanto
Hascaryo Pramudibyanto
Dosen Jurusan Ilmu Komunikasi pada FHISIP Universitas Terbuka

Masih tentang kabar mutilasi. Jari tangan kita yang terkena jarum suntik saja terasa perih, bagaimana dengan korban mutilasi? Seakan enggan memikirkan rasa perihnya, namun kenyataannya kita dicekoki oleh pemberitaan yang lebih menyakitkan dan biadab, yaitu mutilasi.

Oleh karena ada alasan etika penulisan wacana, mempertimbangkan norma lingkungan, dan aspek estetika sebuah tulisan, maka paparan ini tidak akan mengungkap secara vulgar mengenai perihnya menahan sakit eksekusi ini.

Kita bahas dari sisi pelakunya saja. Beberapa dokumen saya baca ulang, dan mencoba menemukan teori kriminalitas yang relevan dengan tindak kriminal ini. Hasilnya, saya menemukan beberapa teori perilaku manusia yang dekat sekali dengan munculnya hasrat untuk melakukan pembunuhan, dengan cara memutilasi korban.

Sumber pertama yang saya baca adalah pengalaman M Fadil Imran yang mengupas kekejian ini dalam karyanya bertajuk ‘Mutilasi di Indonesia: Modus, Tempus, Locus, Actus’. Ia mengkisahkan paparannya khusus dari sudut pandang tentang alasan terjadinya peristwa itu, dan bukan untuk membahas materi tentang cara atau teknik polisi dalam mengungkap identitas serpihan tubuh dan pelaku yang kelewat batas ini.

Meskipun begitu, Fadil memberikan pengakuan luar biasa atas kinerja kepolisian yang punya instink, kejelian, teknik, dan kemampuan dalam membaca modus, tempus, locus, dan actus. Modus terkait dengan cara dilakukannya sebuah kejahatan, locus merupakan tempat kejadian, tempus adalah waktu kejadian, dan actus adalah tindakiannya.

Semua hal tadi bisa terjadi dan benar-benar terwujud jika pelakunya punya motivasi. Tindak pidana mutilasi, biasanya diawali oleh tindak pembunuhan. Niat memutilasi acap kali disebabkan oleh adanya dorongan untuk menghilangkan jejak. Padahal, jejak potongan sekecil apapun yang tersisa, saat ini sudah dapat dengan mudah dikenali pemiliknya. Hanya dengan bulu tangan atau air liur pada batang rokok, pun bisa dikenali pemiliknya.

Pelaku mutilasi diyakini punya ketenangan hati yang bagus, sebab ia bekerja dalam situasi menegangkan tetapi dapat terselesaikan oleh ketenangan hati. Lain halnya jika pelakunya terburu-buru atau grusa-grusu, pasti menunjukkan hasil potongan yang tidak bagus.

Inilah poin awal kebiasan pelaku mutilasi, yaitu ia biasanya bukan orang yang grusa-grusu. Ia biasanya dikenal sebagai individu yang tenang, tidak banyak ulah, dan pendiam. Kalau pun ada pelaku mutilasi yang berlawanan dengan kebiasaan itu, biasanya ia merupakan pelaku yang ‘terpaksa’ melakukan tambahan tindak kriminal.

Artinya, setelah ia menghilangkan nyawa korban, ia masih menambahinya dengan tindak mutilasi dengan alasan sakit hati atau dendam.

Apakah ini artinya pelaku yang tidak grusa-grusu tadi bukan para pendendam? Jawabannya adalah kemungkinan itu tetap ada. Seseorang yang sangat mendendam terhadap targetnya, biasanya ingin memberikan ‘pelajaran tambahan’ bagi korban agar korban merasakan betapa sakit hatinya, sama dengan yang dialami oleh korban mutilasi itu.

Sakit hati menjadi penyebab utama berbagai tindak kriminal mutilasi. Sakit hati merupakan muara munculnya rasa cemburu, seks, cinta tak berbalas, tidak meratanya pembagian harta warisan, diberhentikannya seseorang dari pekerjaan yang selama ini jadi sumber nafkah satu-satunya, ucapan yang tidak menyenangkan, atau berbagai hal lain yang bisa berujung pada sakit hati.

Pelaku biasanya memikirkan cara menghentikan ucapan, lirikan, pandangan mata, atau tingkah yang menyebabkan dirinya jengkel terhadap calon korban. Sang korban – jika ia menyadari bahwa sedang menyakiti hati calon pelaku–justru terkadang sengaja melakukan itu. Ia ingin mendapatkan pengakuan bahwa dirinya pantas dihargai sebegini tinggi, dan lawannya– yaitu calon pelaku adalah orang yang tidak pantas dihargai.

Pernyataan terakhir saya ini merupakan asumsi, yang biasanya diucapkan oleh seseorang yang merasa dirinya lebih baik posisinya dan punya kemampuan finansial atau wajah rupawan.

Setelah merasa puas menyakiti hati calon pelaku, giliran pelaku menyarangkan aksinya. Ia pun berhak sakit hati, dan ia bisa menghentikan semua perilaku lawannya dengan sesuka hati. Begitu kira-kira yang ada di pikirannya.

Jika benar demikian yang dilakukan, maka fenomena ini sejalan dengan pemikiran Arnold Toynbee dalam teori Siklik-nya, yang menggambarkan manusia sebagai sebuah siklus melingkar tanpa ada awalan dan akhiran. Antara ujung satu dengan satunya tidak ketemu.

Dalam pandangan Toynbee, peradaban manusia muncul dari masyarakat primitif melalui sebuah proses perlawanan dan respons lingkungan atau masyarakat, yang merugikan mereka. Peradaban yang dimaksud di sini adalah adanya proses lahir, tumbuh, mandheg atau berhenti, dan kemudian terjadi disintegrasi karena adanya gesekan, pertempuran, atau perselisihan.

Pada tahap disintegrasi inilah, diduga memicu amarah pelaku mutilasi akibat ketidaksukaannya terhadap korban. Pelaku mutilasi saat sebelum dilakukannya eksekusi mutilasi ingin terhindar dari suasana hati yang tidak menyenangkan.

Jika benar asumsi Fadil adalah hal ini, maka munculnya suasana hati yang tidak menyenangkan tadi bisa dipastikan bahwa pada tahap sebelumnya mereka sudah saling mengenal. Tidak selalu terjalin dalam taraf hubungan baik atau intim, melainkan hubungan yang baru saja terlalin pun bisa menimbulkan konflik perdana dengan taruhan nyawa.

Asumsi berikutnya adalah adanya landasan berpikir sederhana pada diri tiap pelaku mutilasi. Mereka hanya memikirkan cara sederhana untuk menghilangkan nyawa sekaligus konstruk tubuh korbannya.

Dalam bayangannya, jika korban sudah meninggal namun masih berbentuk jasad, maka tindakannya ini belum dianggap usai. Ia merasa belum tuntas dalam melampiaskan dendamnya. Asumsi Fadil yang terakhir tentang hal ini adalah keputusan diambil pelaku mutilasi didasari oleh keterbatasan informasi atau keterbatasan individu dalam menelaah informasi yang ada.

Artinya, berbagai hal tentang niat, tindakan, dan efek tindak mutilasi tidak dipahami secara benar oleh pelaku. Apapun alasannya, tindak mutilasi adalah cara yang tidak benar, kecuali untuk alasan medis.

Seperti itulah gambaran mengenai motif individu pelaku mutilasi. Kita bisa merekam berbagai konflik yang terjadi di sekitar kita, dan meredamnya sebelum menjadi dendam tak beraturan semacam ini. Bagaimana pun juga, serpihan hasil mutilasi bukanlah sebuah misteri, sebab aparat kita makin ahli dalam urusan ini.

Hascaryo Pramudibyanto
Hascaryo Pramudibyanto
Dosen Jurusan Ilmu Komunikasi pada FHISIP Universitas Terbuka
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.