Beberapa waktu yang lalu saya membaca tulisan Dahlan Iskan di blognya “Di’s Way” yang berjudul Terpanjang Baru. Ia mengulas terkait rekor terbaru yaitu, rute kereta api terpanjang di dunia, sejauh 13.000 km yang menghubungkan Kota Yiwu di Tiongkok dengan Madrid, Spanyol dengan keberangkatan seminggu sekali.
Sebelumnya jalur kereta api terpanjang dimiliki Siberian Railway dengan kereta api Trans-Siberia-nya yang menghubungkan Eropa dan Asia dengan panjang 9.289 km, melintasi 8 zona waktu, melintasi dua benua. Jalur kereta ini dibangun sejak tahun 1947. Pada awalnya jalur ini diperuntukkan oleh para pedagang dari Cina untuk membawa teh dan barang perdagangan lainnya ke Rusia dan Eropa, dulu membutuhkan waktu berbulan-bulan untuk sampai Rusia, tetapi berkat Kereta Trans Siberia ini hanya membutuhkan waktu 7 Hari (Rute Terpanjangnya Vladivostok di ujung paling timur menuju Belarus di ujung barat). Sudah kian banyak kota-kota di Eropa yang tersambung dengan kota di Asia tanpa melalui jalur laut, tanpa melewati Terusan Suez yang kemarin sempat heboh.
Kereta kini menjadi jalur sutra model baru. Tiongkok ingin mengulang kembali kejayaan jalur sutra ini, yang mampu menguasai perdagangan dunia, sekaligus untuk memotong waktu tempuh jika menggunakan jalur laut. Sebagai contoh, Kereta jurusan Shanghai-Hamburg kini dapat ditempuh 16 Hari, sedangkan dengan kapal laut membutuhkan waktu 40 hari.
Hal yang menarik dari tulisan ini, operasional kereta bukannya tanpa hambatan. Jalur kereta terpanjang ini mengalami kendala ketika harus melewati negara-negara Ex Uni Soviet. Ketika masuk Kazakhstan harus berhenti dan mengganti kereta, relnya masih tersambung tetapi ukurannya berbeda.
Uni Soviet memiliki standar ukuran lebar rel yang besar yaitu 1.520 mm sedangkan lebar rel di Tiongkok sama dengan Eropa yaitu 1.435 mm. maka selama melewati negara Ex Uni Soviet kereta ini dioperasikan oleh perusahaan kereta Rusia. Lalu ketika mencapai perbatasan Eropa—Perbatasan Rusia-Polandia—harus berganti kereta lagi.
Baru saya sadari selepas membaca tulisan ini, impian untuk mengelilingi dunia dengan menggunakan kereta api seperti pada serial Netflix yaitu Snowpiercer sulit untuk diwujudkan. Fakta bahwa ukuran rel kereta di dunia berbeda-beda, masih membuat semua dari kita terkotak-kotak berdasarkan negara dan kebijakan perkeretaapiannya.
Lebar rel atau lebar jalur kereta atau lebar trek atau lebar sepur di dunia hampir 60%-nya menggunakan trek sebesar 1.435 mm, digunakan di negara Eropa, Amerika Utara, Tionkok, Australia, dan Timur Tengah. Ukuran rel ini sering disebut sebagai standar gauge atau trek standar. Sehingga lebar rel yang kurang dari ini disebut narrow gauge / trek sempit dan jika lebih lebar disebut board gauge /trek lebar.
Lebar rel yang sering digunakan lainnya adalah berukuran 1.067 mm, disebut rel sempit. Negara-negara Afrika Selatan, Jepang, Taiwan, Filipina, New Zealand dan Indonesia mayoritas jalur keretanya menggunakan ukuran ini. Sedangkan rel yang paling lebar berukuran 1.676 mm yang digunakan di India, Pakistan dan sebagian Amerika Selatan.
Mungkin fakta yang menarik dan perlu diketahui bahwa jalur rel pertama di Indonesia yang diresmikan 10 Agustus 1867 sepanjang 225 km yang menghubungkan Semarang dengan Desa Atanggung menggunakan trek standar (1435 mm). Rel trek sempit (1.067 mm) digunakan pertama di Indonesia pada jalur yang menghubungkan Jakarta – Bogor yang dibangun 1871-1873. Pernah pula Indonesia memiliki lebar rel yang lebih sempit lagi, yaitu 750 mm dan 600 mm yang digunakan di perkebunan tebu di Pulau Jawa dan dalam perang melawan pejuang Aceh.
Perbedaan antara lebar rel ini ternyata dialami pula di Indonesia, rel trek sempit digunakan di kereta api konvensional Jawa dan Sumatera. Untuk menghubungkan seluruh Sumatera melalui jalur kereta sepertinya menjadi pekerjaan yang berat hal ini karena Aceh menggunakan lebar rel standar (1.435 mm). Sehingga untuk menyambungkan Trans Sumatera dengan wilayah Aceh, Pemerintah perlu membangun trase baru atau merubah lebar rel.
Standar gauge saat ini mulai digunakan pada beberapa kereta di Indonesia, seperti Kereta Cepat Jakarta Bandung, LRT Jabodetabek dan kereta konvensional Sulawesi Selatan. Sedangkan narrow gauge digunakan pada kereta api konvensional Jawa dan Sumatera (kecuali Aceh), MRT Jakarta, dan LRT Palembang.
Pemilihan narrow gauge pada kereta Jawa dan Sumatera mungkin dikarenakan rel terbangun pada masa lalu mayoritas menggunakan lebar rel ini, sehingga untuk meningkatkan pelayanan kereta akan jauh lebih mudah untuk melanjutkan pembangunan rel menggunakan ukuran lebar rel sempit. Sedangkan untuk kasus kereta baru yang terbangun menggunakan jalur privat, menurut pemikiran saya seperti MRT Jakarta karena mitra pembangunan berasal dari Jepang sehingga menggunakan spesifikasi negara mereka, sedangkan untuk Kereta Cepat Jakarta Bandung yang mitra pembangunannya berasal dari Tiongkok maka menggunakan standar yang digunakan oleh negara tersebut yaitu standar gauge.
Secara umum, narrow gauge memiliki kelebihan pada biaya konstruksi yang lebih murah dan daya cengkram roda yang lebih kuat sehingga banyak digunakan di daerah pegunungan. Sedangkan standar gauge mampu memberikan kestabilan yang lebih baik sehingga kecepatan kereta dapat lebih tinggi dan mengurangi potensi terjadinya insiden seperi kereta anjlok atau tergelincir keluar rel
Penggunaan standar gauge maupun narrow gauge tentunya memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Baik dari sisi stabilitas, keselamatan, kecepatan, anggaran dan waktu pengerjaan.
Jadi masih mungkinkan kita semua mampu mengelilingi dunia dengan menggunakan kereta melalui Benua Asia, Eropa, dan Afrika, bersafari melihat keindahan dunia pada jendela kecil yang membatasi kita dengan dunia indah di luar sana? Ini adalah hal yang berat terlebih ketidak seragaman lebar rel negara-negara di dunia saat ini, tapi bukan hal yang mustahil untuk bisa terwujud.