Abad ke-14 dunia Islam mengalami kelesuan, akan tetapi dari Tunisia lahirlah seorang pemikir besar yaitu Ibn Khaldun (Abdurrahman ibn Khaldun, w. 808 H/1406 M) ke pentas dunia. Kelesuan yang dimaksudkan di sini yaitu dalam dunia Islam tidak banyak melahirkan pemikir-pemikir besar seperti abad-abad sebelumnya. Akan tetapi, dunia Islam selalu melahirkan tokoh-tokoh yang cemerlang.
Ibn Khaldun adalah salah satu tokoh besar Islam yang lahir pada abad ketika dunia Islam sedang lesu. Dia dikenal tidak menyukai filsafat sama seperti Al-Ghazali pendahulunya yang tidak menyukai filsafat secara fundamental.
Dengan latar belakang yang demikian, arah pemikirannya tentu banyak dipengaruh Al-Ghazali. Petikan dari opus magnum Ibn Khaldun, al-Muqaddimah, di mana ia membuat catatan tentang persepsinya mengenai pembagian ilmu pengetahuan dan tentang bagaimana secara fundamental mengkritik filsafat.
“Ibn Khaldun menyanggah kebenaran kosmologi Neoplatonis karena, pembagian wujud yang berakhir kepada Akal Pertama itu adalah tanpa dasar dan bersifat sewenang-wenang. Sedangkan alam kenyataan ini jauh lebih bervariasi daripada yang dikira oleh para filsuf yang ia gambarkan sebagai berpandangan picik itu.
Tambahan lagi, Akal Pertama gagasan para filsuf itu telah meredusir Tuhan menjadi suatu kenyataan, yang meskipun dikatakan absolut dan wajib, namun juga bersifat bukan pribadi (impersonal). Ini tidak saja berlawanan dengan ajaran agama, tapi juga membuat paham ketuhanan menjadi kehilangan fungsinya sebagai sumber moralitas, baik individual maupun sosial. Karena itu filsafat tidak saja palsu, bahkan berbahaya untuk manusia”.
Dalam penerapannya untuk gejala alam, Ibn Khaldun berpendapat bahwa filsafat tidak dapat diandalkan untuk menjelaskan hakikat objek-objek material. Ibn Khaldun menampik klaim filsafat atas dasar postulat bahwa sesuatu yang benar secara filosofis seharusnya tidak saja memang benar, tapi juga dapat dibuktikan dalam alam kenyataan.
Perkembangan sains mungkin dapat menjadi salah satu penyebab pemikiran yang demikian. Akan tetapi, tak dapat dipungkiri cara berpikir seperti ini merupakan cara berpikir khas kaum positif yang menganggap filsafat tidak mampu menjelaskan hakikat objek-objek material. Filsafat tidak memiliki objek material yang memadai untuk menjelaskan sesuatu yang real. Filsafat hanya mengandalkan rasio dan logika untuk menjelaskan segala sesuatu. Dengan demikian, filsafat bagi Ibn Khaldun sulit diterima untuk menjelaskan sesuatu.
Sebagai seorang pemikir yang anti filsafat tentu Ibn Khaldun tidak berangkat dari ruang hampa. Maksudnya, Ibn Khaldun berani mengkritik filsafat karena dia sudah mempelajari filsafat sebelumnya. Sebagaimana disampaikan oleh Nurcholis Madjid, “….tetapi, sementara mengkritik habis filsafat, mereka mempelajarinya dengan penuh tanggung jawab dan, dengan caranya masing-masing masih menunjukkan penghargaan kepada segi-segi positif tertentu filsafat itu, terutama yang bersangkutan dengan disiplin berpikir teratur.” Dengan demikian, tidak fair jika kemudian kita menganggap Ibn Khaldun yang anti filsafat tidak mempelajari filsafat.
Pandangan Ibn Khaldun dan Al-Ghazali bertolak belakang dengan pandangan Ibn Rusyd yang menganggap filsafat memiliki faedah dalam pemikiran manusia. Mungkin tidak ada objek real yang dipelajari filsafat, tetapi melalui disiplin ilmu ini diperkenalkan logika dan keteraturan dalam berpikir.
Ibn Rusyd tetap setia bahwa filsafat pada dasarnya digunakan oleh semua orang dalam hidupnya. Lalu, menjadi pertanyaan adalah, “apakah sikap Ibn Rusyd ini lebih merupakan hasil dari kecenderungannya yang kuat pada filsafat yang mengorbankan doktrin-doktrin agama; dalam arti, apakah ia melihat kebenaran itu hanyalah kebenaran yang dibuktikan dengan argumen filsafat, sehingga persoalan penafsiran atas doktrin-doktrin agama serta kebenaran-kebenaran yang dikandung wahyu harus didasarkan pada argumen filsafat?
Atau, apakah sikapnya di antara kedua kutub ekstrim ini yakni agama dan filsafat justru sebaliknya, yaitu ia berupaya menerapkan metode filsafat pada agama yang harus diimani terlebih dahulu? Atau sikapnya ingin adanya penyelarasan atau harmonisasi antara agama dan filsafat yang tidak mungkin dipertentangkan karena keduanya adalah dua saudara yang saling melengkapi dan saling membutuhkan?”
Bagi Munawar Rachman, sikap filsuf Andalus ini ingin menyelaraskan kedua kutub tersebut yang sebenarnya masing-masing mengekspresikan hakikat kebenaran. Masing-masing mempunyai sifat dan karakteristiknya sendiri, dan tidak selayaknya terdapat pertentangan atau perbedaan. Maka, tidak mungkin terjadi pertentangan di antara tokoh-tokoh dari masing-masing kutub tersebut, meskipun perbedaan itu tampak di permukaan.
Setelah berakhir zaman Ibn Rusyd dan Al-Ghazali lahir tokoh besar lainnya yaitu al-Afghani. Riwayat hidupnya cukup rumit karena dia dikenal berasal dari Afganistan, tetapi dalam studi-studi selanjutnya dia dikatakan berasal dari Iran. Akan tetapi, bukan itu yang ingin disampaikan di sini, melainkan pokok pemikirannya.
Pandangan pokok al-Afghani ialah “untuk berhasil mengembalikan kejayaannya yang lalu dan sekaligus guna menghadapi Abad Modern, umat harus kembali menjadi pemeluk-pemeluk Islam yang lebih murni. Karena pemahaman serta pengamalan umat akan agamanya seperti yang ia saksikan terbukti membawa kekalahan terhadap bangsa-bangsa bukan Muslim.
Al-Afghani memastikan tentang adanya sesuatu yang salah dalam pemahaman dan pengamalan agama serta adanya suatu bentuk semangat keislaman yang lebih murni, yang kini hilang atau melemah. Al-Afghani berpendapat bahwa semangat itu terletak dalam apa yang menjadi salah satu tema pokok seruannya di atas, yaitu berpikir rasional dan bebas”.
Pandangan Al-Afghani ini berangkat dari kegalauannya melihat dunia Barat yang maju demikian pesat, sedangkan dunia Islam masih asyik dengan kegemilangan sejarahnya. Mereka lupa bahwa dunia Barat sudah jauh lebih maju dibanding beberapa abad sebelumnya. Oleh karena itu, Al-Afghani menyerukan untuk kebangkitan Islam.
Kebangkitan yang dimaksudkan adalah dunia Islam segera mengejar ketertinggalan dari dunia Barat. Hal paling nampak ketika Napoleon Bonaparte dengan mudah menaklukkan Mesir. Pengalaman ini tidak diharapkan oleh dunia Islam jika berkaca pada pengalaman beberapa abad sebelumnya pasukan Muslim begitu perkasa di hadapan pasukan Salib dari Eropa. Akan tetapi, Eropa Barat telah mengalami kebangkitan. Afghani menyerukan bagi semua umat Islam untuk membuka mata dan melihat dunia ‘nyata’ dan mulai belajar.