Sabtu, April 20, 2024

Mengapa Tiongkok Mengincar Natuna?

Hanafi Wibowo
Hanafi Wibowo
Pakar Sejarah Eropa. Editor dan Content Writer di Neo Historia. Co-Founder komunitas 'Aliansi Percinaan'

Akhir-akhir ini Indonesia dibuat resah oleh kapal-kapal nelayan Tiongkok yang hilir mudik di perairan Natuna yang masih termasuk Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia.

Kehadiran kapal-kapal tersebut, memproteksi kapal nelayan mereka yang gemar menjarah ikan berbekal klaim bahwa Laut Tiongkok Selatan adalah “Traditional Fishing Zone” (Zhongguo Chuantong Yuchang) mereka.

Selama ini, Tiongkok memang kerap membuat ulah di Laut Tiongkok Selatan yang membuat dunia internasional mengalami kristalisasi kegeraman. Tiongkok sendiri mengklaim Natuna karena wilayah tersebut adalah ZEE dari konsep klaim teritorial yang mereka sebut sebagai Nine Dash Line atau Sembilan Garis Putus-putus.

Namun, mengapa Republik Rakyat Tiongkok harus jauh-jauh ke Natuna guna menjadi hegemon baru di Asia Pasifik? Apakah karena deposit gas dan minyak bumi yang melimpah disana? Atau karena wilayah ini sangat strategis di mana arus perdagangan dapat mencapai US$5 triliun per tahun? Ataukah demi membangkitkan kejayaan maritim Tiongkok seperti di era Dinasti Ming?

Sebelumnya, kita harus ingat bahwa Republik Rakyat Tiongkok (RRT) bukan pihak pertama yang mengklaim gugusan pulau maupun perairan di Laut Tiongkok Selatan. Justru counterpart RRT yakni Republik Tiongkok, yang kini memiliki basis di Pulau Taiwan menjadi pihak yang lebih awal menancapkan kukunya di wilayah ini.

Sebagai sucessor state Dinasti Qing, Republik Tiongkok merasa sudah sewajarnya apabila mereka memiliki keabsahan legal atas Kepulauan Spratly dan Paracel yang diperoleh Dinasti Qing lewat Konvensi Penentuan Batas Teritorial dengan Protektorat Prancis di Indochina pada tahun 1887.

Namun, sebelum Republik Tiongkok yang baru berusia seumur jagung itu mengeksplorasi wilayah ini, Kekaisaran Jepang sudah lebih dulu bermain ditikungan dengan menginvasi Daratan Tiongkok dan menjadikan Laut Tiongkok Selatan sebagai jalur pribadi bagi kapal-kapal perang mereka yang hendak menghantam basis-basis Sekutu di Singapura, Semenanjung Malaya dan Kalimantan Utara.

Karena hal tersebutlah, baru pasca Perang Dunia II, dimana Jepang melepaskan kontrolnya atas Laut Tiongkok Selatan lewat Perjanjian San Fransisco, Republik Tiongkok kembali memagari Laut Tiongkok Selatan dengan batas-batas imajiner yang disebut dengan “Sebelas Garis Putus-Putus” (Eleven Dash Line).

Sayangnya, Chiang Kai Shek sebagai pemimpin Partai Kuomintang sekaligus Presiden Republik Tiongkok (Zhōnghuá Mínguó Zǒngtǒng) gagal membendung Ancaman Merah (Red Manace) dari Partai Komunis Tiongkok yang semakin agresif sehingga ia terpaksa mengevakuasi pemerintahannya ke Pulau Taiwan.

Baru pada pada pemerintahan Presiden Lee Teng Hui, yang terkenal sangat getol menggelorakan kebijakan Taiwanisasi (Táiwān Běntǔhuà Yùndòng), Kepulauan Spratly dan Paracel dinyatakan sebagai bagian integral dari wilayah historis Republik Tiongkok, tepatnya pada tahun 1991.

Hal itu bisa dengan mudah kita pahami, karena Republik Tiongkok alias Taiwan telah tereduksi pengaruhnya dalam percaturan politik dunia akibat kehilangan kursi sebagai Anggota Tetap Dewan Keamanan PBB yang diestafetkan kepada Republik Rakyat Tiongkok selaku penguasa Cina Daratan sesuai amanat Resolusi Majelis Umum PBB no.2758. Konsekuensinya, negara-negara di dunia yang menganut “One China Policy” (Yīgè Zhōngguó Zhèngcè), hanya mengakui kedaulatan pemerintahan Tiongkok di Bejing dan menganggap Taiwan hanyalah sebuah entitas ekonomi belaka.

Maka dari itulah, bagi negara sekecil Taiwan namun masih memiliki jiwa sebagai mantan penguasa Negeri Tirai Bambu yang luas, mana lagi tempat yang bisa dijadikan target untuk memperluas pengaruh selain Laut Tiongkok Selatan? Karena bagaimanapun, pasca perpindahan pusat kekuasaan ke Pulau Taiwan, pemerintah Taipei harus merubah visi pertahanan kontinental dan mindset agraris khas Peradaban Sungai Kuning yang telah mengendap dalam sanubari mereka sejak dulu, menjadi strategi kolonialism maritim,

Sebenarnya, wajar bagi bangsa-bangsa di dunia khususnya peradaban-peradaban besar untuk memperluas batas teritorialnya dengan melakukan ekspansi kesegala penjuru. Khususnya bagi Tiongkok Semua itu dilakukan semata-mata untuk mempertahankan perbatasan dengan cara menggandakan ukuran teritorialnya.

Dengan metode preemptive seperti itu, apabila suatu hari musuh benar benar menyerang maka akan terciptalah jarak yang cukup lebar antara agresor dan pusat pemerintahan. Selisih waktu yang tercipta dari jarak yang dihasilkan akan memberikan kesempatan untuk menyusun serangkaian strategi pertahanan guna mengeliminir dampak penetrasi yang dilakukan musuh ke dalam lingkup teritorial. Selain itu, wilayah territorial yang luas juga dapat menjadi elan vital yang mampu memberikan daya gentar (deterrence effect) pada musuh eksternal yang berniat mengancam kedaulatan negara.

Jika kita melihat kondisi geografis Tiongkok kuno dengan seksama, dapat kita simpulkan bahwa wilayah Tiongkok kuno cenderung terisolir dari dunia luar akibat keberadaan padang pasir serta pegunungan yang membentang di barat dan utara serta lautan yang luas di sebelah timur. Maka dari itu kebudayaan asli Tiongkok tetap murni dan terjaga tanpa tercemari pengaruh budaya asing.

Adapun wilayah Republik Rakyat Tiongkok sekarang, tidak lagi hanya mencakup wilayah “China Proper” (Zhonghua Bentu) yang mencakup hanya 18 provinsi melainkan sudah melipatgandakan diri seiring dengan ekspansi militer Dinasti Qing ke wilayah Manchuria, Tibet, Cekungan Tarim dan Mongolia Dalam.

Ditambah situasi kekinian, menjadikan ekspansi Tiongkok di Daratan Benua Asia sudah hampir tidak mungkin lagi dilakukan karena bisa bertabrakan dengan kepentingan Rusia dan India.

Tambah pula, dalam perspektif Tiongkok, ASEAN sebagai organisasi regional yang memayungi seluruh wilayah Asia Tenggara dan Laut Tiongkok Selatan di dalamnya bukanlah kekuatan yang sepenuhnya solid dan kohesif, tidak hanya karena absennya ikatan kultural yang homogen ataupun sikapnya yang cenderung inward looking namun juga karena terdapat lebih dari satu negara anggota ASEAN yang berkepentingan terhadap porsi kue di Kepulauan Spratly dan Paracel.

Lebih lagi, Masing-masing anggota ASEAN terkadang lebih mementingkan national interest dibanding kepentingan kawasan. Selain itu, suksesi kepemimpinan ASEAN dilakukan dengan sistem rotasi sehingga terkadang chairmanship ASEAN dipegang oleh negara yang kurang kuat secara politik maupun secara ekonomi.

Dari sinilah, kita bisa menilai, ekspansi Tiongkok ke Asia Tenggara sampai ke Natuna, bukan hanya semata-mata dilandasi motif ekonomi untuk memonopoli cadangan mineral di wilayah tersebut, ataupun karena dilandasi hasrat akan romantisme kejayaan maritim masa lampau. Namun yang terpenting adalah, hanya itulah satu-satunya rational choice yang bisa diambil oleh Beijing saat ini.

Hanafi Wibowo
Hanafi Wibowo
Pakar Sejarah Eropa. Editor dan Content Writer di Neo Historia. Co-Founder komunitas 'Aliansi Percinaan'
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.