Walau banyak petinggi NU (Nahdhlatul Ulama) mengatakan siap memenangkan Joko Widodo & KH. Ma’ruf Amin (selanjutnya disingkat KMA), namun keadaan di tataran bawah tidak demikian. Anomali tersebut memang biasa terjadi. Jangankan NU, di tubuh Partai Gerindra atau PDIP pun pasti terdapat ketidak paduan suara dukungan.
Tulisan ini berusaha untuk menganalisis, kalau bukan melihat, faktor-faktor apa saja yang membuat “orang NU” tidak mengikuti elitenya untuk mendukung Jokowi dan KMA. Data sebagai analisis diambil dengan wawancara mendalam dengan beberapa masyarakat yang mengklaim dirinya sebagai “orang NU”.
Faktor utama yang membuat banyak elite NU mendukung Joko Widodo adalah digaetnya KMA sebagai wakilnya. KMA merupakan Rais Aam PBNU (Pengurus Besar NU), Rais Aam dapat dikatakan sebagai orang nomor wahid di NU. Dalam hal ini, Jokowi berharap dapat memaksimalkan suaranya di tubuh NU, toh yang digaet jadi wakilnya bukan orang sembarangan di NU. Perlu dicatat, dukungan yang diberikan NU bukan secara kelembagaan, dukungan berasal dari persona saja.
Ini bukan pertama kalinya kader NU maju ke dalam kontestrasi Pilpres. Sebelumnya ada Gus Dur (Abdurrahman Wahid) yang pernah menjadi Ketua Umum NU dan menjadi Presiden RI pada tahun 1999–2001. Fenomena majunya elite NU di dalam kontestasi Pilpres bukan hal yang baru, walau secara kelambagaan NU tidak berpolitik praktis, namun hal ini tidak menjadi soal bagi kader NU yang ingin berkontestasi.
Mengapa Massa NU Tidak Semua Mendukung Joko Widodo
Saya melakukan wawancara dengan dua “orang NU” yang merantau ke Jakarta. Keduanya, saya sebut A dan B, berasal dari Jawa Tengah. Mereka dua menyatakan berasosiasi dengan NU secara kultural. Walaupun tidak ada kartu anggota yang dapat membuktikan, namun mereka mengaku sedari kecil dibesarkan dengan Islam khas NU, yang tidak terlalu kaku dan ramah terhadap budaya Jawa.
A misalnya, ia mengaku sedari kecil biasa dengan upacara-upacara keagamaan yang “khas NU”, seperti tahlilan, upacara pernikahan yang lekat dengan budaya Jawa. B pun demikian, ia mendefinisikan NU sebagai Islam yang tidak kaku secara Aqidah, dan lebih cair dalam pelaksanaannya. Atau mudahnya, tidak asal “mem-bid’ah-bid’ahkan” perilaku muslim lainnya. Keduanya pun mengaku pernah belajar di pesantren sewaktu di kampung halaman.
A sebagai “orang NU” pada awalnya mengaku senang ketika KH. Ma’ruf Amin maju sebagai wakil presiden mendampingi Joko Widodo. Pada dasarnya ia memang menyukai tokoh agama yang maju ke dalam kontestasi politik. Namun, belakangan ia mulai ragu dan kecewa terhadap perilaku KMA dan para elite NU yang mendukungnya.
Kekecewaan pertama terjadi ketika KMA mengucapkan natal, padahal 2012 silam ia mengeluarkan fatwa larangan mengucapkan natal. Kedua ketika ia mengatakan menyesal telah memenjarakan BTP karena ikut menjadi saksi dalam kasus tersebut. A melihat bahwa sikap KMA tidak ideal sebagai seorang ulama. Bagi A, tindakan tersebut bukan dari hati nurani KMA, ia menduga bahwa itu dilakukan atas dasar politik. Ia juga kecewa terhadap ulama-ulama lainnya yang melakukan hal serupa untuk meraih suara untuk Joko Widodo. Sebagai “orang NU” ia akan “menyelamatkan NU” dari sikap pragmatisnya dengan tidak memilih KMA dan berharap KMA kembali kepada sikapnya seperti dulu.
Sedang B mempunyai pertimbangan lain terhadap sikapnya kepada KMA. Sedari awal ia memang tidak mendukung KMA maju sebagai tandem Jokowi. Menurutnya sebagai seorang Ulama, KMA seharusnya jangan mau dimajukan oleh partai yang mendukung penista agama; merujuk kepada BTP. Kejadian BTP (Basuki Tjahaja Purnama) yang ia anggap menodai agama Islam beberapa tahun silam masih membekas di dalam pikirannya.
Hal ini yang menjadi dasar B bertindak dalam menentukan pilihannya. B juga menyesali ulama NU yang membela dan mendukung BTP. Baginya, ulama-ulama yang mendukung BTP bukan merupakan ulama yang sebenarnya. Ulama tidak mendukung penista serta mendekati pemerintah dan menyatakan dukungannya secara terus menerus, ulama ialah mereka yang didekati pemerintah dan tetap bersikap netral.
Mereka, baik A atau B, mempunyai frame yang sama dalam memandang sikap NU yang “mendekat” ke Jokowi. Mereka sepaham bahwa ulama-ulama yang mendekat kepada pemerintah adalah ulama su’, yakni ulama yang jahat. Mereka yang tetap konsisten baik ucapan maupun tindakan serta tetap menyerukan nahi munkar adalah ulama madani, atau ulama baik. Dikotomi ulama tersebut menjadi dasar mereka dalam menjustifikasi elite NU. Elite NU dianggap tidak konsisten dan bersikap pragmatis dalam meraih dukungan.
Saya berusaha menganalisis dikotomi ulama tersebut dan mencocokkan dengan sumber informasi yang digunakan oleh A dan B. Baik A dan B banyak memanfaatkan video online Ustaz Digital sebagai pengetahuannya, karena dinilai praktis, menarik, dan Ustaznya kompeten. Bila mencari termin “ulama su”, maka banyak sekali artikel yang menjelaskannya. Tapi toh informan saya pun jarang sekali membaca artikel, jadi rasanya kecil kemungkinan mereka membaca ini.
Namun, bila kita mencari “ulama su” di YouTube, maka akan banyak sekali video yang menjelaskan hal itu. Dan bila dilihat, video-video tersebut hampir semuanya dikeluarkan pada tahun 2017 atau bisa dikatakan ketika BTP ramai diperbincangkan, dan banyak pihak memperdebatkannya. Saya sedikit banyak membaca kolom komentar dan banyak sekali, kalau bukan hampir semua, pihak yang menyimpulkan bahwa ulama su’ adalah elite NU yang membela BTP sebagai penista. Nama-namanya pun mengerucut pada KH. Aqil Siradj dan Nusron Wahid. Mereka dinilai mendukung BTP dalam perkaranya yang menodai umat Islam.
Kesimpulan
Tuduhan Jokowi sebagai orang yang anti-Islam berusaha ditutupi dengan sikapnya yang menggandeng KMA sebagia cawapresnya. Menariknya, ketika Jokowi menggaet KMA, tidak semua publik bersimpati terhadap mereka dan melepas stigma anti-Islam terhadap Jokowi. Interprestasinya pun kemudian diubah dengan memberikan label bahwa ulama yang digandeng Jokowi adalah ulama su’, atau ulama jahat.
Pelabelan tersebut bukan tanpa alasan. Sikap elite NU yang dinilai sangat aktif dan dekat dengan Jokowi menjadi soal. Tidak sampai di situ, catatan masa lalu elite NU yang membela BTP dalam perkaranya menjadi beban masa lalu. Kemudian di tambah sikap KMA yang tidak konsisten terhadap tindakannya di masa lalu menjadi dasar legitimasi masyarakat untuk memberi label ulama su’.
Dikotomi ulama su’ dan madani yang baru populer tahun 2017 silam menjadi basis frame masyarakat dalam menilai tindakan elite NU. Narasi yang disebarkan oleh para Ustaz Kondang di YouTube efeknya sangat besar, karena ditonton dan disebarkan secara masif dan cepat. Masyarakat yang kebingungan dalam memandang fenomena tersebut disuguhkan dalam sudut pandang yang dikotom, mereka yang bersifat pragmatis ingin dekat dengan pemerintah plus mendukung BTP adalah ulama su’, dan mereka yang tidak adalah ulama madani. Dan apa yang terjadi sekarang adalah seri lanjutan dari apa yang terjadi di masa silam.
NU harus melawan narasi tersebut dengan menyebar interpretasinya. Tanpa memandang rendah perihal dukungan personal elite NU, saya kira persoalan menyebarkan narasi moderat ditengah-tengah dikotomi ulama su’ dan ulama madani tidak kalah pentingnya.