Bencana dan potensi bencana di berbagai daerah sungguh menyadarkan kita akan kebutuhan untuk saling berbenah diri. Berbenah dari kerakusan ekologis, segera memperbaiki sistem, dan mengatasi ketidakadilan. Terlebih lagi, situasi ini menuntut kita kembali berhasrat untuk saling percaya.
Saya teringat pernyataan Virginia Held dalam bukunya berjudul Rights and Goods: Justifying Social Actions (1984) yang menyatakan demikian: ‘kerja sama antar-orang dapat bertahan hanya jika terdapat rasa percaya timbal-balik. Pada tingkat masyarakat, harus terdapat kemungkinan terpeliharanya rasa percaya sosial; dan pada individu harus terdapat kemungkinan terpeliharanya rasa percaya pribadi.’
Percaya merupakan tindakan menyandarkan atau bergantung pada pihak lain. Masalahnya, rasa percaya tidak kenal siapa yang layak dipercaya, yang oleh karenanya kita perlu memutuskan untuk percaya. Dari rasa percaya, timbul sikap kooperatif, kerja sama, dan tidak saling bersaing. Jargon Warga bantu warga, korban bantu korban, dan semangat crowd funding adalah manifestasinya.
Di sisi lain, kepercayaan merupakan watak yang perlu didewasakan. Rasa percaya yang suka rela lahir dari pikiran yang dewasa, mandiri, empatik, dan mampu memutuskan apa yang bermanfaat bagi orang lain dalam ketidakpastian, terutama ketika terjadi bencana. Dengan kata lain, kita perlu mempercayai dan dipercayai.
Kepentingan terselubung
Kemalangan luar biasa dari saudara kita di pusat bencana patut mendapat perhatian penuh. Ratusan ribu masyarakat mengungsi dengan wajah yang memilukan. Para warga terpaksa menggunakan air tak laik minum. Kelaparan merajalela. Anak-anak terpaksa hidup dalam tekanan psikologis dan lingkungan ekstrem. Tindakan menjarah dan kriminalitas sangat tinggi. Bencana merenggut sanak-saudaranya, pun masih berharap agar selamat. Jika bukan fakta selamat, paling tidak jasadnya dapat ditemukan.
Salah satu tulisan Victor Turner (2007) mengungkap situasi antropologis, yakni kondisi antara yang harus dihadapi masyarakat terdampak bencana. Para pengungsi mengalami fase kehidupan yang sangat rapuh, runtuh ditelan bencana. Batas-batas antara ruang publik dan privat menjadi kabur. Kehidupan di pengungsian amat menguras fisik dan mental.
Status bencana nasional tampaknya masih belum menjadi pilihan pemerintah yang lebih memilih untuk fokus memberi bantuan. Namun, proses mitigasi dan proses adaptasi nyatanya belum menyeluruh di daerah terdampak. Belum lagi lambannya distribusi bantuan di beberapa lokasi bencana.
Kehadiran para pejabat publik di tempat bencana lebih menunjukkan lakon teatrikal daripada gerakan sistematis penuh empati. Mengandaikan semua baik-baik saja tentu tidak menyelesaikan masalah utama. Apalagi, beberapa oknum memanfaatkan bencana untuk berkampanye atau mengendorse pihak tertentu.
Lagi-lagi, rasa percaya masyarakat terhadap pemerintah terus diuji. Apakah pemerintah layak dipercaya? Kembali pembaca yang memutuskannya.
Terlepas dari polemik status bencana nasional, keputusan yang berpihak pada masyarakat tidak hanya berfungsi sebagai semiotika politis, melainkan juga berkaitan dengan sikap tanggap dan narasi. Sikap tanggap bahwa pemerintah benar-benar meninjau masyarakat terdampak dan mengawasi distribusi bantuan, juga narasi bahwa kejadian penyebab bencana—deforestasi, kerusakan ekologi, tata kelola lingkungan yang buruk, dan minimnya infrastruktur—segera diatasi.
Cermin kapital sosial
Rasa saling percaya dan kerja sama antar warga bukanlah sekadar altruisme atau ikut-ikutan. Di dalam konteks bencana antropogenik (anthropogenic hazard), masyarakat rentan (risk society) terus-menerus terancam oleh kesalahan governansi (governance failure), seperti aktivitas tambang dan industri, kriminalitas, dan korupsi (Riyadi, et al., 2020; Balasubramanian, 2025; Beck, 1992; Magdoff & Foster, 2011).
Ironisnya, negara yang seharusnya melindungi justru memantik bencana yang secara fundamental merusak kepercayaan masyarakat. Maka, resiliensi atau ketangguhan perlu didefinisikan ulang sebagai kesinambungan budaya dan sosial dalam menghadapi modernisasi dan ancaman berkepanjangan, alih-alih sekadar pemulihan fisik dari bencana (Haraway, 2016).
Maka peran kapital sosial begitu penting. Kapital sosial adalah koneksi sosial (social networks) dalam bentuk sosiabilitas (norma sosial, persaudaraan, kepercayaan, dan pengetahuan) maupun mutualisme ekonomi (sumber, profit, dan investasi) (Putnam, 2020; Bourdieu, 1980; Coleman, 1988).
Selain itu, kapital sosial dalam kebencanaan berperan sebagai mekanisme dasar yang memungkinkan tindakan kolektif dalam merespons dan memulihkan komunitas dengan cepat.
Kekuatan internal di antara komunitas terdampak bencana berlabuh pada praktik budaya yang dinamis, seperti rasa memiliki, gotong-royong, dan rasa sepenanggungan. Praktik-praktik tersebut berfungsi sebagai mekanisme sosial untuk memperkuat solidaritas antargenerasi dan identitas bersama.
Mengembalikan kepercayaan
Bencana di Sumatra, juga daerah-daerah lain, memantik sisi krisis kita tentang kepercayaan. Ketika masyarakat terdampak menjalankan fungsi ketahanan dari bawah (bottom-up) untuk memperbaiki area-area kegagalan pemerintah dengan mandiri, maka yang terjadi adalah: pertama, masyarakat membangun jaringan sosial yang beragam untuk bantuan eksternal selama bencana maupun setelah bencana (post-disaster). Kedua, kapital sosial menuntut transparansi dan negosiasi kembali hubungan disfungsional dengan kekuasaan.
Transformasi kapital sosial juga menuntut penghapusan budaya diam (silent culture) dan tuntutan transparansi terkait pengambilan keputusan, perencanaan, dan upaya mitigasi dari berbagai lembaga dan pemerintah (Doherty, Matthews, Khan, & van de Fliert, 2024).
Sebagai warga negara, hal tersebut merupakan kebanggaan sekaligus seruan kritis. Merespons kompleksitas bencana tidak dapat diurai sesederhana hitam atau putih. Pemerintah harus mengembalikan rasa percaya masyarakat. Bukan dengan gimmick atau sugar coating semata, melainkan kehadiran konkret, baik dalam tindakan maupun perkataan.
Kiranya rasa percaya itu dapat benar-benar timbal balik; masyarakat percaya kepada negara, begitupun negara kepada masyarakat. Kenyataan pahit dari setiap bencana menjadi proses untuk saling memahami dan berupaya sebaik-baiknya bagi kepentingan bersama.
Sebab kepercayaan, sekali hilang, tak mudah ditebus kembali.
