Sabtu, April 27, 2024

Mengapa para Filsuf Suka Saling Membantah?

Eng Vikda
Eng Vikda
Bernama lengkap Engelbertus Viktor Daki. Eng Vikda adalah nama pena. Nama lain yang sering dipakai untuk menulis di beberapa media adalah Viktor D Engelbert. Saat ini sedang belajar filsafat di STF Driyarkara, Jakarta

Judul ini provokatif. Tapi saya jamin jika anda membacanya, anda tidak akan ribut untuk mencari mana yang paling benar antara argumen A dan B. Mengapa? Karena itulah dialektika. Berdialektika bukan untuk meributkan mana yang lebih benar, melainkan untuk membuka peluang terciptanya pengetahuan yang lebih luas dan kaya.

Salah satu babon filsafat Jerman adalah Hegel. Ia filsuf besar melalui dialektikanya. Menurut Hegel (Suseno, 2022, xii), dalam dialektika, setiap pendapat merangsang penyangkalannya lagi. Yang khas bagi dialektika seperti dianalisis Hegel adalah bahwa suatu penyangkalan itu bukannya menyingkirkan atau menghapus pendapat yang disangkal, melainkan dengan menunjukan pada kepincangan atau kemiringannya, justru mengangkat kebenaran yang termuat di dalamnya.

Magnis Suseno menulis, dalam, filsafat, pendapat yang dikritik, bahkan yang ditolak, lantas tidak dihapus dan bisa dilupakan, melainkan justru diselamatkan. Ini berbeda dengan ilmu-ilmu alam; kalau sudah pasti bahwa bumi itu datar, maka anggapan bahwa pandangan bahwa bumi itu bulat misalnya atau sebaliknya otomatis akan dilupakan. Filsafat tidak demikian.

Filsafat itu mencari kebenaran, tapi bukan kebenaran dogmatis yang kebal kritik. Filsafat mencari kebenaran dialektis. Artinya, kebenaran dicapai dalam kemajuan pemikiran kritis. Karenanya, pemikiran Karl Marx, yang hampir segala unsur kandungannya sudah dikritik habis-habisan, selalu masih akan dipakai kembali. Para filsuf pun masih terus kembali ke pemikiran Plato yang hidup 2.500 tahun lalu atau David Hume ketika membahas topik atau tema yang serupa dengan para filsuf tadi.

Mengapa? Filsafat tidak jatuh dari ruang kosong. Kemajuan saat ini berpijak pada penemuan sebelumnya. Maka perlu kembali untuk menjernihkan posisi dan klaim-klaim yang sudah ada.

Tidak Baperan

Bedanya dengan debat kusir, debat liar, dan sebagainya, dalam dialektika orang tidak baperan. Yang sungguh diperhatikan dan dikritik adalah argumentasinya, bukan siapakah pribadinya, atau moralitasnya.

Dengan demikian, tidak ada istilah baper-baperan dalam berdialektika. Mengapa? Tujuannya adalah menemukan kebenaran dialektis, yakni kebenaran yang terus berkembang seturut bertambah dan menguatnya sebuah argumentasi.

Dalam berdialektika, orang tidak bisa asal berargumen. Argumennya harus rasional, dapat dipahami, dan punya bobot ilmiah. Metode pengujiannya adalah metode berpikir logis-kritis.

Lebih lanjut, dalam berdialektika orang tidak perlu baper, karena di bawah kolong langit ini tidak ada argumen yang sempurna atau kebal kritik. Mengapa? Karena setiap argumen hanya benar dan bisa diterima dalam batas-batas tertentu saja, dalam konteks persoalan tertentu.

Oleh karena itu, orang yang mau berdialektika perlu dewasa secara intelektual dan emosional. Jangan sampai dikit-dikit baper, lalu saling menjelekkan. Bukan itu. Jika demikian, apa bedanya dengan anak kecil yang saling ejek-ejekan atau berkelahi karena berbeda pendapat dan sebagainya?

Dengan kata lain, dialektika hanya untuk orang-orang yang secara emosional siap. Lah, jika demikian, yang bisa berdialektika hanya orang-orang tertentu saja, seolah-olah kebenaran itu hanya ada pada pribadi-pribadi tertentu saja?

Bukan itu! Setiap orang bisa berdialektika. Perlu diketahui, orang mulai berfilsafat itu ketika dia mulai bertanya. Pertanyaan adalah permulaan filsafat, orang mengekspresikan rasa ingin tahunya. Bagaimanapun juga harus kita akui bahwa semua perkembangan yang ada di dunia ini, apapun bentuknya, bermula dari rasa ingin tahu.

Setiap kita, diundang untuk berdialektika. Tidak perlu tahu segalanya, asalnya punya keutamaan untuk mau mendengarkan, bertanya, dan lebih penting lagi, tidak baper, bila argumennya tidak kuat atau kemudian dibantah. Tak perlu putus asa jika salah, karena toh para filsuf besar, sebelum menghasilkan argumen yang mantap pun, perlu melalui pengalaman gagal.

Salah, atau gagal itu wajar. Toh namanya manusia. Jangan salah mengidentifikasi diri. Kita bukan Tuhan maha segalanya dan tanpa cacat. Kita manusia, jadi berpikirlah dan bertindaklah layaknya manusia. Intinya terus belajar, berdialektika dari hal-hal remeh, tapi tetap berbobot dan santai. Niscaya hidup akan bermakna! Gak percaya, coba dulu deh! Para filsuf begitu, mereka suka saling membantah dan mengkritik. Dari sanalah lahir pandangan-pandangan yang kita pakai dan temui sekarang. Mari berdialektika!

Eng Vikda
Eng Vikda
Bernama lengkap Engelbertus Viktor Daki. Eng Vikda adalah nama pena. Nama lain yang sering dipakai untuk menulis di beberapa media adalah Viktor D Engelbert. Saat ini sedang belajar filsafat di STF Driyarkara, Jakarta
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.