Saya tengah meluncur di linimasa Twitter ketika mata saya menangkap sebuah gambar yang menarik. Seseorang membagikan screenshot artikel pertunangan Meghan Markle dan Pangeran Harry yang memang sedang hangat dibicarakan itu.
Uniknya, artikel dari situs JOE ini menggunakan judul Artis Sukses Meghan Markle Akan Menikahi Mantan Tentara. Wow, di tengah sindrom click bait yang tengah menjangkiti kebanyakan media saat ini, keputusan JOE untuk tidak meletakkan nama Harry di judul sangat luar biasa. Mengingat dia adalah magnet pembaca yang jauh lebih menarik daripada Markle –dengan statusnya sebagai pangeran Inggris yang sejak kecil sudah menjadi konsumsi media.
Tak hanya itu, artikelnya pun menitikberatkan pada prestasi Markle –seorang bintang serial Suits dan pegiat proyek kemanusiaan. Sungguh hal yang luar biasa, apalagi setelah mengetahui JOE mengklaim situsnya ‘ditujukan untuk pria.’
Saya lantas mencuit ulang gambar tersebut. Tak berapa lama seseorang mengirimkan balasan berupa screenshot berita topik serupa dari satu media di Indonesia.
Bertolak belakang dengan JOE, media ini memilih judul Pangeran Harry Tunangan dengan Janda Amerika dan saya pun melongo. Yap, media ini menganggap status janda Markle lebih menarik ketimbang prestasinya sebagai artis. Setelah googling, saya menemukan artikel di media lain dengan judul yang lebih parah, Meghan Markle, Janda Cantik Calon Istri Pangeran Harry.
Bagi penulis dan editor kedua artikel di atas, prestasi Markle seolah nihil dan tak akan membangkitkan minat pembaca untuk mengklik. Statusnya sebagai ‘janda’ dan ‘cantik’ dianggap lebih menarik khalayak umum.
Hingga saat ini, media di Indonesia memang masih cenderung lebih memperhatikan identitas ketimbang capaian dari seorang perempuan. Saya yakin, kalian semua pasti akrab dengan judul berita soal perempuan yang ditambah embel-embel cantik.
Masih ingat Nara Masista, Diplomat Muda Indonesia yang sempat viral karena memberikan pernyataan tegas kepada enam pemmpin negara Kepulauan Pasifik di Sidang Umum PBB tahun lalu? Media entah kenapa merasa perlu membubuhkan kata ‘cantik’ setelah ‘diplomat’ untuk memberitakan soal ini. Selanjutnya, beberapa media pun berlomba-lomba mencari akun media sosialnya untuk menulis artikel terkait gaya busana.
Apakah salah? Tidak sepenuhnya, hal itu lumrah ditemukan di artikel-artikel gaya hidup dan hiburan.
Tetapi apakah Nara berjuang keras meniti karier hingga menjadi Diplomat Muda dan berkesempatan bicara di depan para pemimpin dunia hanya untuk dipuji kecantikan atau gaya busananya? Bukankah ia bisa berada di sana karena kemampuannya berdiplomasi?
Saya kira ia berhak dapat apresiasi lebih dari sekedar tampilan fisiknya.
Demikian juga dengan para polwan. Kebanyakan berita terkait mereka pasti ditambahi embel-embel cantik, seolah kalau tidak berpenampilan menarik, kinerja mereka tidak layak mendapat sorotan media.
Frederickson dan Roberts pernah mengungkapkan objectification theory yang mengatakan “…that women exist in a culture which their bodies are ‘looked at, evaluated, and always potentially objectified.” Dalam hal pemberitaan media, perempuan tidak dipandang sebagai subyek yang mempunyai suara, martabat, prestasi, dan pemikiran seperti layaknya manusia biasa. Mereka dijadikan sekedar objek untuk mendongkrak jumlah pembaca.
Pemilihan kata ‘cantik’ atau ‘seksi’ sebenarnya tidak relevan dengan pemberitaan, namun tetap dicantumkan untuk menarik pembaca lelaki; tanpa mempertimbangkan perasaan si perempuan yang diobjektifikasi. Apakah dia ingin diberitakan karena kecantikannya, atau prestasinya? Mana yang sebenarnya ingin ia tonjolkan pada dunia?
Lebih jauh, sematan objektifikasi perempuan seperti ‘cantik’ atau ‘seksi’ dalam pemberitaan juga akan semakin memperburuk posisi perempuan di mata masyarakat. Secara tidak langsung, label identitas seperti ini memberikan stigma kalau perempuan harus cantik supaya mendapat apresiasi atas usahanya. Sekedar berprestasi saja tidak cukup.
Namun, kita juga tidak bisa sepenuhnya menyalahkan media, karena mereka hanya memenuhi tuntutan pasar. Saya yakin, judul berita yang memuat kata-kata yang mengobjektifikasi perempuan pasti masih mendulang klik lebih banyak daripada yang tidak. Masyarakat Indonesia yang mayoritas masih menempatkan tubuh perempuan sebagai objek tentu sulit menghargai dari prestasi semata, tanpa pancingan seksis.
Tetapi saya kira media yang baik adalah yang mengedukasi masyarakat dengan menawarkan cara pandang baru. Bila mereka berhenti menulis artikel dengan judul seksis dan lebih menonjolkan prestasi, maka pola pikir masyarakat pun akan mulai bergeser.
Melihat seorang perempuan dari prestasinya, bukan status pernikahan atau penampilan fisiknya.