Pada 23 Juni 2016, Inggris memutuskan untuk menarik keanggotannya dari Uni Eropa dengan didukung oleh keputusan mayoritas sebesar 52% dalam proses referendum. Ini kemudian disebut sebagai Brexit atau British Exit. Padahal apabila ditelusuri kembali, Inggris merupakan salah satu negara pendiri Uni Eropa. Inggris juga telah memeroleh kedudukan yang istimewa dalam Uni Eropa. Hal ini dikarenakan negara tersebut memutuskan untuk tidak bergabung ke dalam eurozone, sehingga Inggris tetap menggunakan poundsterling sebagai mata uang nasionalnya.
Brexit merupakan sebuah peristiwa yang menjadi sorotan utama dalam dunia internasional. Dalam konteks ini, banyak akademisi yang memandang bahwa Uni Eropa membutuhkan Inggris lebih dari Inggris membutuhkan Uni Eropa. Inggris bahkan merasa dirugikan dengan adanya beberapa peraturan yang diterapkan oleh Uni Eropa. Meskipun leave campaign seringkali berfokus pada argumen emosional mengenai imigrasi, namun kenyataannya terdapat beberapa alasan lain yang mendorong Inggris untuk mengajukan referendum.
Uni Eropa Mengancam Kedaulatan Inggris
Kedaulatan merupakan salah satu argumen utama di antara masyarakat intelektual Inggris yang dinyatakan oleh para pejabat dari Partai Konservatif, seperti mantan walikota London Boris Johnson dan Menteri Peradilan Michael Gove. Selama beberapa dekade, serangkaian perjanjian Uni Eropa telah menyebabkan transisi kekuatan dari negara anggota menuju birokrat Uni Eropa di Brussels.
Uni Eropa kemudian mendapatkan beberapa kewenangan yang cenderung mengesampingkan hukum nasional, seperti kebijakan persaingan, agrikultur, serta hukum paten dan hak cipta. Oleh karena itu, konsepsi Inggris terhadap kedaulatan tidak hanya inti dari leave campaign, tetapi juga menekankan pada ‘taking back control of our own laws’ yang disuarakan oleh Theresa May.
Dalam pidatonya di Lancaster House pada tahun 2017, May memang menekankan pentingnya kedaulatan bagi Inggris, sehingga ia berusaha untuk menghilangkan yurisdiksi European Court of Justice (ECJ) guna membentuk hukum nasional secara mandiri. Tak hanya itu, May juga menekankan bahwa Inggris harus menegaskan kembali posisinya sebagai negara yang mampu mengontrol teritorinya, merepresentasikan masyarakatnya dalam panggung dunia, dan membentuk hukum nasional dalam kedaulatan parlemen.
Semenjak berdirinya Uni Eropa, kedaulatan nasional dan negara-bangsa telah dianggap usang karena kekuatan nasional telah tergantikan oleh kekuatan regional yang bersifat supranasional. Boris Johnson bahkan pernah menyatakan bahwa Inggris tidak dapat menegaskan kedaulatan atas parlemennya karena telah menerima European Communities Act tahun 1972.
Uni Eropa Membatasi Pergerakan Inggris dengan Menerapkan Berbagai Regulasi
Proposisi bahwa perpolitikkan dan perumusan kebijakan Inggris telah menjadi ‘Europeanized’, merupakan sebuah fenomena yang aksiomatis. Beberapa kebijakan publik—seperti agrikultur, lingkungan, perdagangan, dan perlindungan pekerja—merupakan tanggung jawab Uni Eropa, sehingga Inggris harus mengadopsinya dalam sejumlah kebijakan yang dirumuskan. Page (1998, 803) lantas memandang bahwa penerapan kebijakan tersebut telah menjadi ‘hollowing out’ bagi Inggris, yang mana kewenangan seolah berpindah dari tingkat negara menuju regional atau supranasional.
Salah satu kritik datang dari Boris Johnson yang menyatakan bahwa peraturan Uni Eropa sangatlah menggelikan. Hal ini dapat dilihat dari kebijakan mengenai biaya yang harus dibayar oleh Inggris terhadap Uni Eropa sejumlah £600 miliar setiap minggunya, atau setara dengan $880 miliar. Sejumlah peraturan Uni Eropa pun terkadang menjadi hambatan tersendiri bagi aktivitas pemerintah nasional dalam beberapa aspek yang dikuasainya, seperti agrikultur, perikanan, dan perlindungan lingkungan.
Uni Eropa Berorientasi pada Kepentingan Elit
Dalam konteks ini, terdapat banyak kaum konservatif Inggris yang memandang Uni Eropa sebagai pengganggu dari sayap kiri dan kebijakan pemerintah superior. Sementara itu, beberapa golongan kiri menganggap Uni Eropa sebagai struktur yang bersifat anti-demokratis, sebab hanya memberikan kekuatan pada kaum elit dan mencegah dirinya untuk mendapatkan keuntungan yang signifikan.
Enrico Tortolono—direktur kampanye untuk Trade Unions—bahkan secara terbuka menyatakan bahwa Uni Eropa merupakan organisasi anti-demokratis dan telah melewati batas. Di sisi lain, Uni Eropa justru menciptakan ekosistem yang ramah terhadap aksi monopoli perusahaan, para elit yang berusaha menghindari pajak, dan kelompok kriminal terorganisasi. Kritik semacam ini merupakan bagian dari kritik yang meluas atas institusi elit dalam sistem internasional, terutama World Trade Organization (WTO), International Monetary Fund (IMF), dan World Bank.
Uni Eropa Memperbolehkan Banyak Imigran untuk Memasuki Teritori Inggris
Dalam referendum Uni Eropa, salah satu fokus utama terletak pada tingginya tingkat imigrasi di wilayah Inggris. Pada tahun 2010, Theresa May lantas berupaya untuk mereduksi jumlah imigran sebesar ‘sepuluh dari seribu’ tiap tahunnya. Namun memasuki tahun 2015, jumlah imigran justru mencapai puncaknya pada angka 336.000, dan hanya menurun menjadi 320.000 setelah Inggris mengajukan referendum kepada Uni Eropa (Abrams dan Travaglino 2018, 2).
Masyarakat Inggris tentunya merasa terancam oleh kedatangan imigran yang cenderung masif, sebab mereka percaya bahwa imigran mendatangkan dampak negatif dalam berbagai aspek kehidupan, seperti prospek pekerjaan (ekonomi), peluang dan kesehatan (materi), serta gaya hidup dan kebudayaan (ancaman simbolis).
Tingkat imigrasi menuju Inggris memang telah mengalami peningkatan secara signifikan sepanjang 20 tahun lamanya, sehingga menjadi penggerak utama dalam keputusan Inggris untuk menarik keanggotannya dari Uni Eropa. Hal ini tentunya tidak dapat dilepaskan dari posisi Inggris sebagai negara prominen di Uni Eropa yang memiliki tingkat perekonomian dan pendidikan yang cenderung lebih maju dibandingkan negara Eropa lainnya.
Grafik 1. Jumlah Masyarakat Eropa di Inggris
Oleh karena itu, dapat ditarik kesimpulan bahwa meskipun Inggris adalah salah satu negara yang sangat prominen di Uni Eropa, tetapi Inggris merasa dirugikan oleh sejumlah kebijakan yang dikeluarkan organisasi tersebut. Sejumlah kebijakan ini dianggap telah mengancam kedaulatan dan membatasi pergerakan Inggris sebagai negara. Uni Eropa juga dianggap cenderung berorientasi pada kepentingan elit, sehingga menyalahi prinsip demokrasi.
Inggris kemudian semakin dirugikan dengan masuknya banyak imigran dari negara-negara Eropa lainnya. Sejumlah faktor tersebut telah memicu kekhawatiran tersendiri bagi Inggris, hingga akhirnya Inggris memutuskan untuk menarik keanggotaannya dari Uni Eropa.
Referensi:
Abrams, Dominic dan Giovanni A. Travaglino, 2018. “Immigration, political trust, and Brexit – Testing an aversion amplification hypothesis”, British Journal of Social Psychology, 1: 1-17.
Page, Edward C., 1998. “The Impact of European Legislation on British Public Policy Making: A Research Note”, Public Administration, 76: 803-809.