Jumat, Oktober 4, 2024

Mengapa Industri Film Indonesia Miskin Apresiasi?

dwiatikanurjanah
dwiatikanurjanah
Mahasiswa Jurnalistik-Ilmu Komunikasi UPN "Veteran" Yogyakarta dan volunteer publicist Jogja-NETPAC Asian Film Festival 13.

Apa yang salah dengan industri perfilman Indonesia saat ini? Apakah ini karena sejarah masa lampau? Jika menilik kembali, masyarakat Indonesia mulai mengenal film pada 5 Desember tahun 1900 yang mana surat kabar “Bintang Betawi” memuat iklan tentang Pertoenjoekan Besar jang Pertama di Hindia Belanda, menunjukkan bahwa saat itu film sudah mulai masuk.

Kehadiran film di Hindia Belanda menjadi hiburan baru di negeri jajahannya. Awalnya hanya menyasar masyarakat Eropa di Indonesia. Tetapi kaum pribumi juga ikut menyukainya. Tak lama setelah itu banyak film-film Amerika Serikat yang marambah di tanah air. Menawarkan alur cerita yang bervariasi. Pribumi semakin akrab dengan kebiasaan menonton film luar.

Masuknya film luar ke Indonesia sejak dulu, berdampak pada penghasilan film di zaman sekarang. Untuk film dalam negeri seperti Dilan 1991 yang mencapai penjualan tiket 5.028.000 hanya bisa meraup Rp186 miliar untuk pendapatan kotor atau pendapatan bersih sebesar Rp93 miliar. Berbanding terbalik dengan film luar seperti Avengers: Endgame yang baru saja tayang tetapi sudah menghasilkan pendapatan $ 5,1 juta (setara Rp 71,4 miliar) dan penghasilan itu masih bisa bertambah lagi.

Dilain sisi film lokal yang masih kalah di segi pendapatan, kenyataannya mengalami peningkatan jumlah penonton. Mengutip dari katadata.co.id, untuk saat ini film Indonesia memang sudah menguasai sekitar 40% film yang beredar di tanah air dengan peningkatan jumlah penonton 17% dibandingkan tahun sebelumnya. Ini mengindikasikan bahwa film karya anak bangsa mampu bersaing dengan film-film produksi Hollywood, tetapi tetap saja tidak bisa mengalahkan jumlah penonton film box office dari Amerika.

Walau mengalami peningkatan jumlah penonton, bagi saya tidak bisa dikatakan secara gamblang bahwa industri film Indonesia menjadi lebih baik. Masih sering terdengar, masyarakat yang suka membandingkan antara film luar dengan film dalam negeri. Baik dari segi mutu, cerita, genre, ataupun garapan sutradara mana. Stigma itu pun kian berkembang dari mulut ke mulut. Padahal faktanya banyak film Indonesia menembus industri film luar negeri, bahkan mendapatkan penghargaan serta apresiasi.

Apalagi film-film box office Amerika dikenal dengan kualitas sinematografi dan jalan cerita yang tak diragukan lagi. Sehingga kita, masyarakat Indonesia sudah terbiasa akan sajian seperti itu. Nyatanya banyak film lokal yang bisa bersanding dan malah lebih bagus dari film luar.

Contohnya saja film garapan sutradara Timo Tjahjanto The Night Comes For Us film Indonesia pertama yang masuk Netflix, media streaming digital berpusat di Los Gatos, California. Lalu Sekala Niskala (The Seen and Unseen) karya sutradara Kamila Andini yang berhasil memenangi penghargaan kategori Generation Kplus International Jury pada Festival Film Internasional Berlinale 2018 di Berlin, Jerman.

Hingga Garin Nugroho melalui film Kucumbu Tubuh Indahku (Memories of My Body) memenangkan penghargaan Cultural Diversity Award Under the Patronage of UNESCO pada perhelatan Asia Pasific Screen Awards ke-12 di Brisbane, Australia.

Tetapi mengapa film Indonesia masih saja kurang diminati oleh penonton lokal? Dari fenomena ini saya berpendapat bahwa ada beberapa faktor yang menyebabkan kurangnya minat masyarakat akan film lokal, yaitu kurangnya variasi genre film. Bisa kita lihat di bioskop tanah air. Bila ada satu film yang meledak di pasaran, maka akan banyak bermunculan film dengan genre dan cerita yang tidak jauh beda. Ada tiga genre yang paling sering ada di bioskop tanah air, yaitu drama, komedi, dan horor.

Selain itu gengsi. Memilih film luar negeri dirasa akan terlihat keren. Pasti diantara kita pernah mendengar orang-orang berbicara tentang “Film luar negeri itu lebih keren dan bagus dibanding film Indo.” Stigma yang selalu tertanam pada sebagian penonton lokal. Saya beranggapan, mereka yang selalu berbicara dan berpendapat seperti itu adalah kerumunan orang-orang “gengsi”, ingin dianggap keren karena lebih memilih film luar.

Memang sudah menjadi rahasia umum bahwa sebagian besar orang Indonesia selalu tertarik dengan hal-hal yang berbau luar negeri, mulai dari barang, gaya hidup, dan berbagai hal lainnya tak terkecuali film. Tidak ada salahnya memilih film luar negeri untuk referensi tontonan. Tetapi setidaknya lebih menghargai film lokal.

Tak hanya variasi genre dan gengsi penonton lokal tetapi kurangnya apresiasi kepada filmmaker menjadi faktor lain. Pengembangan industri perfilman masih kurang disoroti oleh pemerintah. Apalagi banyak filmmaker yang susah untuk bereksperimen karena terkait ruang dan modal yang minim serta dihadapkan dengan dua pilihan sulit. Antara mengikuti idealisnya tetapi tidak cocok dengan pasar atau film yang monoton dan tidak ada pengembangan tetapi laku dipasaran.

Apalagi akhir – akhir ini banyak terjadi persekusi atas kebebasan berekspresi dalam film. Misalnya saja film “Kucumbu Tubuh Indahku” karya Garin Nugroho. Baru tayang seminggu di layar bioskop karena penghakiman secara sepihak tanpa ada proses dialog terlebih dahulu. Bahkan yang membuat dan menandatangani petisi tersebut bisa dibilang tidak menonton dahulu. Asal memviralkan saja.

Tak hanya film karya sutradara Garin. Tetapi sederet sutradara lainnya pernah terkena kasus yang sama. Tak ada proses keadilan hanya melahirkan anarkisme massal di media sosial. Dalam akun instagram @ifdclub (Indonesian Film Directors Club) menyebutkan beberapa film yang turun dari layar karena penghakiman sepihak. Diantaranya film “Cinta Tapi Beda” karya Hanung Bramantyo dan Hestu Saputra, “Dilan 1991” karya Fajar Bustomi, dan masih banyak lagi.

Dukungan untuk mereka, para sineas adalah dengan mengapresiasi karyanya melalui menonton dan memberikan ulasan ataupun kritikan, bukan malah penghakiman massal tanpa ada proses dialog. Apalagi bila penghakiman yang ada didasari pada perspektif dangkal. Pemerintah seharusnya ikut andil dalam hal tersebut. Regulasi mesti diperjelas. Karena saya rasa film Indonesia saat ini sudah menunjukkan perkembangan ke arah yang lebih baik. Tetapi kurangnya kesadaran penonton lokal dan pemerintah membuat kemajuan itu rasanya hambar, biasa saja.

Banyak dari mereka kurang tertarik memasarkan filmnya di industri lokal, malah lebih banyak melempar karyanya ke festival film luar. Mungkin ini soal “rasa” dan tergantung filmmaker-nya, tapi saya melihat ini dari sisi independen nan idealis. Mereka lebih suka membuat karya dengan “rasa” mereka daripada hidup monoton dengan pasar yang begitu saja. Ditambah dengan kasus perse

Padahal bila kita, para penonton lokal bisa sedikit lebih menghargai dan mengapresiasi film dalam negeri. Pasti akan banyak film bermutu yang muncul kepermukaan. Tidak hanya bisa dinikmati di festival, tapi bioskop tanah air pula. Apresiasi itu bisa dilakukan dengan cara apapun, paling kecil adalah dengan menonton, dan bisa pula dengan mengulas film – film tersebut. Jadi ini tergantung lagi kepada kita untuk lebih aware pada industri film lokal, atau tetap menjadi penikmat film luar?

dwiatikanurjanah
dwiatikanurjanah
Mahasiswa Jurnalistik-Ilmu Komunikasi UPN "Veteran" Yogyakarta dan volunteer publicist Jogja-NETPAC Asian Film Festival 13.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.