Minggu, November 24, 2024

Mengamati Kultur Revolusioner Skena Dangdut dari Kampung Kota

Afkar Aristoteles Mukhaer
Afkar Aristoteles Mukhaer
Jurnalis kebudayaan dan lingkungan di National Geographic Indonesia. Bisa dihubungi via Instagram @tropicalboi_
- Advertisement -

Nek Yus adalah tante dari ibunda saya. Sejak kecil, saya beberapa kali datang ke rumahnya yang berada di Kebayoran Lama. Lokasinya berada di perkampungan urban yang dilalui gang sempit muat satu motor dekat Gandaria City Mall. Rumah Nek Yus sederhana, walau sempit punya dua lantai. Sehemat saya, di perkampungan urban ini dihuni orang Jawa, Batak, Madura, Melayu, Minangkabau dan hanya sedikit orang Betawi.

Padatnya kampung kota tempat Nek Yus, sampai-sampai musik dangdut dari pelbagai subgenre berdendang balapan dengan riuh kendaraan bermotor. Nek Yus lebih suka musik khas Minangkabau atau dangdut melayu lawas. Warga biasanya memutar musik tidak dengan layanan streaming seperti Spotify atau Apple Music, melainkan VCD, tape, atau komputer yang dicolok flashdisk berisi fail lagu unduhan bajakan dari YouTube. Pernah saya membantu mengunduh dangdut melayu atas permintaan paman saya, anak Nek Yus, Om Opik, supaya bisa diputar di ponselnya.

Batas antara lagu bajakan dan tidak pada dangdut sangat buram. Menurut Irfan R. Darajat dalam Irama Orang-orang (Menolak) Kalah (2023) menjelaskan rekaman digital bagai lagu bajakan ini adalah cara dangdut dipasarkan. Karya dangdut tidak selalu diproduksi dan terikat dengan label. Dangdut kebanyakan diproduksi dari rekaman dokumentasi di atas panggung, alih-alih di dalam studio seperti genre musik lainnya.

Pihak perekam—biasanya pihak orkes atau pemilik acara—bisa mendapatkan karya dan diperjual belikan melalui VCD, CD, atau unduhan video YouTube. Itu sebabnya, kita sering mendengar dangdut yang direkam berikut dengan suara riuh penonton. Biduan dan pihak orkes dangdut mendapat keuntungan dengan menjadi terkenal berkat penyebaran rekaman.

Bagi saya, skema produksi dangdut seperti hampir mirip dengan bagaimana musik indi yang independen. Produser tidak harus bertekuk lutut pada tuntutan industri rekaman besar. Terlebih, instrumen musik dangdut dan proses perekamannya cukup terjangkau.

Kemudian, penyebarannya dapat sangat luas berkat soft file yang bisa disebarluaskan tanpa membayar promosi. Pada akhirnya, dangdut merebut ruang kultur di berbagai tempat, termasuk di ruang masyarakat urban kota-kota besar. Dendangnya menggema dengan pendengar yang tidak terhitung jumlahnya.

Merebut Ruang Maya Kota

Ada kalanya dangdut dipentaskan di ruang sempit yang terlupakan dari tata kota yang megah. Kebiasaan ini tidak hanya terjadi di Jakarta yang merupakan kota megah, namun memiliki kawasan kampung kota yang cenderung kumuh. Tempat tinggal saya di BSD pun demikian. Dangdut terus berdendang di balik tembok pemisah antara pemukiman mewah swasta dan perkampungan yang sudah ada bergenerasi.

Terkadang, pementasan orkes dangdut bisa meriah di kampung-kampung ini. Pementasan dangdut yang bisa di mana saja menunjukkan sifatnya yang lebih cair. Ibarat air, dangdut bisa menyesuaikan ruang dan bisa dinikmati siapa saja. Berbeda halnya dengan pementasan musik genre lain yang memerlukan ruang besar, sponsor, event organizer, dan harga tiket yang bisa mencapai jutaan rupiah.

Sementara masyarakat dengan latar belakang apa pun secara gratis menikmati dangdut. Masyarakat memiliki biduan lokal favorit yang semakin dikenal dapat jadi populer di banyak kalangan pencinta dangdut. Singkatnya selama ada hajatan dan orkes, pementasan dangdut akan selalu hadir untuk masyarakat.

Fenomena ini persis dengan yang digambarkan film komedi Mendadak Dangdut (2006).Film itu menggambarkan bagaimana orkes dangdut Senandung Citayam yang dipimpin Rizal (diperankan Dwi Sasono) bersama biduan Iis (Titi Kamal) bisa pentas di pemukiman urban kota. Dalam pentasnya, mereka membawa lagu-lagu dangdut yang sudah ada dan karya sendiri.

- Advertisement -

Karena dapat diterima banyak orang, lambat laun dangdut (meledak) kembali pada 2017-2018 berkat “koplo invasion”. Saat itu, saya berkuliah di kampus swasta elite berUKT mahal, dengan mahasiswa yang lebih sering mendengarkan musik mapan kontemporer.

Pernah seorang teman, pada 2017, mengutarakan bahwa dirinya “suka semua musik kecuali dangdut”. Menurutnya, dangdut “enggak masuk akal karena temponya acak dan nadanya jomplang dengan lirik”. Namun, ketika Via Vallen lewat “Sayang”, Nella Kharisma dengan “Konco Mesra”, dan kembali populernya lagu-lagu Didi Kempot, segala macam jenis dangdut diputar di ruang elite sekalipun termasuk kampus saya.

Lalu, pelbagai festival kesenian musik besar dengan harga tiket yang mahal, memberikan lebih banyak panggung bagi orkes dangdut. Pendengarnya pun dari pelbagai kalangan. Bagi saya, kejayaan dangdut hari ini membuatnya terangkat bukan lagi sebagai musik rendahan yang hanya didengar masyarakat kampung kota atau desa.

Dangdut mendorong ekskalasi massa ketika Si Raja Dangdut menjadi juru kampanye dan berhasil menggenjot suara Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang menjadi oposisi pemerintah dalam Pemilu 1977 dan 1982.

Selain Rhoma, masih ada lagi beberapa lagu dangdut yang memiliki syair yang syarat pesan kesadaran masyarakat. Di antaranya, pertama, OM PMR lewat “Banjir” yangmengisahkan kondisi kampung kota yang rentan menghadapi banjir. Aku lirik dalam lagu ini bahkan merebut ruang privat mewah (hotel) yang pulangnya “tunggu orang sepi”.

Berikutnya, “Ngamen” karangan anonim yang mengangkat isu perempuan dan masyarakat miskin. Kemudian Yeni Inka dengan “Rumangsamu Yo Penak” yang membahas isu tenaga kerja wanita di luar negeri sebagai tulang punggung keluarga.

Pada era kontemporer, ada ragam lagu dangdut karya Libertaria yang progresif, dan band indi Silampukau, yang bereksperimen dengan dangdut, lewat single “Dendang Sangsi” yang berisi kritik kepada penguasa. Dengan demikian, secara wacana, dangdut sudah punya kekuatan untuk membangun kesadaran masyarakat.

Ekosistem dangdut yang inklusif pun berpeluang membuka ruang kolektif. Masalahnya, pemantik dari kalangan yang sudah sadar isu masyarakat—sebutlah SJW—kurang hadir di tengah-tengah penikmat skena dangdut.

Memang, tidak semua orang berminat untuk berdiskusi tentang politik dan hanya menikmati dangdut, namun kesadaran itu bisa dimulai secara bertahap. Sayangnya, hanya sedikit gerakan aktivisme yang mau terjun langsung dengan pendekatan musik dangdut. Padahal, ekosistem gotong royong dan semangat kemandirian, dangdut cukup matang.

Andai progresivitas dangdut sudah berkembang pesat, bukan tidak mungkin kelak dangdut bisa dianggap genre sejenis punk versi kultur lokal. Bayangkan, berkat kultur yang matang, mungkin gerakan kebebasan sipil bukan lagi dari kalangan aktivis kampus atau NGO, melainkan dari masyarakat kampung, seperti tempat Nek Yus, yang doyan dengar lagu dangdut.

Afkar Aristoteles Mukhaer
Afkar Aristoteles Mukhaer
Jurnalis kebudayaan dan lingkungan di National Geographic Indonesia. Bisa dihubungi via Instagram @tropicalboi_
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.