“Pangeran Diponegoro mengobarkan perang yang merepotkan penjajah Belanda!” suara seorang guru di salah satu SMA di saat menerangkan pelajaran sejarah di hadapan murid-muridnya, disusul suara-suara kantuk siswa yang mengindikasikan kebosanan untuk menyerap pelajaran pada hari itu.
Realita itu sering terjadi di kalangan siswa sekolah dasar maupun menengah ketika mempelajari sejarah di bangku kelas. Pelajaran sejarah di Indonesia terlalu membosankan, bukan hanya cara pengajaran, namun juga apa yang dikonstruksi negara dalam pengajaran pelajaran sejarah untuk para siswa.
Saya kemudian mengingat sebuah ungkapan John Bowman yang terkenal bahwa, every generation writes its own history atau apa yang Carl Becker dalam essaynya What are Historical Fact sebagai, “we build our conception of history partly of our present needs and purposes,”.
Namun faktanya, setelah negara ini berdiri selama 73 tahun lamanya, konstruksi pendidikan sejarah Indonesia hampir tidak pernah keluar dari konstruksi sejarah politik dan semakin jauh dari realitas kekinian. Di mana dalam konstruksi sejarah politik, sejarah dilekatkan pada upaya pelaku-pelakunya untuk merebut kekuasaan, termasuk dengan cara-cara yang berbau kekerasan dan perang berdarah.
Di satu sisi konstruksi (mitos) politik dalam sejarah Indonesia, terutama tentang narasi kejayaan maritim dan mitos kerajaan nasional seperti Sriwijaya dan Majapahit yang ditulis saat bangsa Indonesia sedang menyusun identitas nasionalismenya, sebagai bentuk perlawanan terhadap narasi sejarah Neerlando-sentris yang menempatkan orang-orang Indonesia sebagai tokoh pinggiran.
Namun konstruksi sejarah seperti itu tetap dilestarikan hingga saat ini. Hal itu kemudian terlihat dari periodisasi sejarah Indonesia yang diajarkan di sekolah-sekolah menengah, yang terbentang dari periode prasejarah, kerajaan-kerajaan Hindu-Budha, munculnya kerajaan-kerajaan Islam, awal kolonialisme barat, era kebangkitan nasional, penjajahan Jepang dan kemerdekaan Indonesia, orde lama, dan orde baru (struktur kronologi menurut buku Sejarah Nasional Indonesia jilid I-VI/ Kuntowijoyo 2008 : 22), dan reformasi.
Maka dapat ditarik sebuah penilaian bahwa pengajaran sejarah dengan pendekatan politik secara tak langsung berperan untuk melestarikan upaya-upaya kekerasan, penyalahgunaan kekuasaan, dan pelanggaran hak asasi manusia yang marak di Indonesia selama ini.
Oleh karena itu, konstruksi sejarah nasional oleh negara secara tidak langsung digunakan sebagai alat pembenaran atas tindakan-tindakan intoleransi berbasis SARA, pelanggaran HAM oleh negara, dan segala bentuk penyalahgunaan kekuasaan (ex : korupsi dan otoritarianisme).
Maka sejarah baru harus ditulis, sesuai apa yang dibutuhkan oleh generasi mudanya yang telah mengalami perubahan yang amat signifikan. Sejarah harus diajarkan sesuai dengan isu-isu yang saat ini sedang berkembang di Indonesia, terutama isu lingkungan dan hak asasi manusia. Oleh karena itu, pengajaran sejarah berdasarkan perspektif lingkungan dan hak asasi manusia diharapkan dapat mendekatkan manusia sehari-hari.
Memang sejarah lingkungan terhitung masih baru dalam kajian sejarah, namun keberadaannya penting untuk melihat bagaimana peran manusia dalam lingkungan serta bagaimana interaksi yang terjadi di antara keduanya, sebagai entitas yang saling membutuhkan.
Dengan melihat sejarah sebagai upaya manusia untuk mengelola lingkungan, maka sejarah akan menjadi relevan dengan masalah-masalah generasi kekinian. Dalam pengajaran sejarah berdasarkan perspektif lingkungan, kita dapat mengkaji motif para aktivis lingkungan, pemilik tanah (baik tanah adat maupun pribadi), maupun pengusaha dalam konteks pemenuhan atas kebutuhan manusia.
Hal lain yang relevan dengan pengajaran sejarah baru ini dapat kita lihat dari proses hubungan manusia dengan makhluk hidup yang lain, misal harimau atau pohon beringin.
Dalam konteks ini, sejarah dapat diajarkan pula dengan memadukan perspektif lingkungan dengan budaya, misal di Jawa, pohon beringin selalu dikeramatkan dan dinamai sama seperti orang biasa, karena orang-orang Jawa tahu bahwa pohon beringin merupakan penyedia cadangan air yang sangat besar, sehingga mereka bakal menjaganya dengan menciptakan mitos-mitos tertentu.
Di sini pentingnya ahli sejarah, baik guru maupun dosen-dosen sejarah di Indonesia untuk semakin mendekatkan sejarah dengan realitas kekinian, serta masalah-masalah generasi milennial di era global yang semakin kompleks. Oleh karena itu, dapat saya simpulkan secara singkat bahwa pengajaran sejarah di satuan pendidikan dasar dan menengah perlu ditinjau ulang, sudah sesuaikah dengan kebutuhan generasi kekinian atau masih belum menyentuh akarnya sama sekali?