Senin, November 4, 2024

Mengajak Negara (dan Kita) Berdamai dengan Sejarah Tragedi 1965

Eliesta Handitya
Eliesta Handitya
Penulis adalah mahasiswa S1 Antropologi Budaya Universitas Gadjah Mada.
- Advertisement -

Topik mengenai tragedi tahun 1965 agaknya masih cukup sensitif untuk dibahas. Kisah-kisah “sejarah” mengenai G30S/PKI versi Orde Baru, hingga kini masih tidak bisa dilepaskan dari konstelasi kehidupan masyarakat Indonesia sehari-hari. Dalam lingkup tongkrongan aktivis, hantu PKI dan mitos “komunis” mungkin banyak yang sudah kabur, diusir oleh ayat-ayat kajian akademis yang sedemikian banyak telah mengupas tragedi tahun 1965 secara mendalam.

Karya besar Marx, Engels, dsb— sudah barang tentu sering dijadikan pisau analisis dalam berbagai diskusi tentang dinamika sosial politik dan budaya di Indonesia. Kajian akademis seperti dilakukan oleh Max Lane, Keith Foulcher, Adrian Vickers, buku-buku dan artikel-artikel “kiri” progresif lainnya, arsip, karya seni, atau artikel daring macam yang tersebar di media digital— mungkin sudah menjadi santapan sehari-hari akademisi kritis.

Membahas tragedi 1965 dalam berbagai rupa bentuk perdebatan, diskusi, kajian, seminar, dan simposium di kalangan akademisi memang jelas memberikan kontribusi besar bagi pelurusan sejarah, penajaman nalar dan akal sehat, membuka ruang berpikir kritis, dan menguak tabir luka sejarah yang telah lama tertutup jelaga.

Namun, sayangnya, ruang-ruang semacam ini seringkali masih hanya berputar putar di satu lingkaran saja. Pemahaman kritis demikian tidak pernah dibangun dari kesadaran kolektif masyarakat Indonesia secara utuh, secara general pun tidak.

Perdebatan mengenai PKI dan “komunis” memang selalu problematis. Tragedi 1965 seolah punya sumbu yang cepat sekali panas— baik bagi mereka yang “nalarnya sudah terbuka”— maupun bagi mereka yang masih mengamini manipulasi negara terhadap narasi sejarah tragedi 1965.

Masyarakat Indonesia sebagian besar masih menganggap Komunisme, PKI, apalagi fenomena “G30S/1965/PKI” sebagai cerita horror paling mengerikan sepanjang sejarah bangsa Indonesia dengan meletakkan entitas PKI sebagai aktor utama terror tersebut. Narasi historis terkait pembunuhan PKI telah seluruhnya dikesampingkan dalam penulisan sejarah. Buku-buku sejarah resmi dimanipulasi demi kepentingan Rezim Orde Baru. Negara membungkam fakta, yang kemudian turut membuat kredibilitas penulisan sejarah menjadi rusak. (Nordholt, 2002).

Jadi, masyarakat bukannya tidak tahu, tapi jelas-jelas memang tidak pernah diberitahu. Kajian kritis yang banyak membongkar narasi sejarah tragedi 1965 tidak pernah digunakan sebagai pisau untuk membedah narasi timpang yang telah terlanjur mengakar. Negara, dalam hal ini malah menjadi agen paling penting dalam melanggengkan ketakutan kolektif ini.

Melalui cerita-cerita bohong tentang pengkhianatan PKI, negara turut melanggengkan berbagai propaganda, indoktrinasi, fitnah, penipuan sejarah, pembodohan, dan terror terkait dengan PKI dan Komunisme. (Heryanto, 2012). Ironisnya, negara (dan antek-anteknya) malah semakin bangga melanggengkan kebohongan publik melalui narasi warisan Orde Baru yang sudah melekat iniContohnya dengan terus memutarkan film Pengkhianatan G30S/1965/PKI secara berkala di akhir September setiap tahunnya.

Negara dan Hoaks Lintas Generasi 

Salah satu ingatan yang masih segar, adalah soal bagaimana Presiden Jokowi, 5 Oktober 2018 lalu menyatakan tentang betapa bahayanya Komunisme dan Warisan PKI (Partai Komunis Indonesia) sehingga mesti diberantas sampai ke akarnya. Padahal, PKI jelas telah diberangus bahkan sebelum tragedi 1965 terjadi.

Pernyataan Jokowi sungguh jauh dari intensi beliau yang di awal pemerintahannya justru ingin menyelesaikan tragedi 1965 ini. Yang lainnya, adalah pernyataan Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto pada akhir september lalu. Ia menyarankan seluruh generasi muda untuk menonton film G30S/PKI sebagai bagian dari memahami sejarah bangsa Indonesia. Hantu-hantu PKI dan “komunis” terus direproduksi sebagai narasi harian yang masih diserap utuh oleh masyarakat Indonesia kebanyakan.

- Advertisement -

Narasi sejarah yang ironisnya telah dipelintir habis-habisan atas nama kepentingan mengamankan kepentingan elit politik. Dengan demikian, hoaks publik lintas generasi ini akan semakin sulit diselesaikan sebab negara sendiri menjadi sponsor terbesar dari upaya pelanggengan narasi palsu soal tragedi 1965. Elit kuasa yang seharusnya bisa menjadi representasi masyarakat seutuhnya— seadil-adilnya, secara sadar malah memilih menutup mata terhadap kebenaran. Seperti yang dikatakan Ariel Heryanto (2018), negara menggunakan wacana anti-komunisme sebagai propaganda demi mengejar sebuah ambisi politik. Ironis bukan?

Sejarah yang dibungkam

Pembungkaman sejarah tragedi 1965 tidak bisa dilepaskan dari peran militer, hoaks lintas generasi ini faktanya tidak hanya dilanggengkan oleh aktor-aktor dari mereka para pemegang kuasa, elit politik, dan militer saja.  Ada peran-peran masyarakat sipil yang merupakan perpanjangan tangan pelebaran diskursus tentang bahaya laten PKI dan komunis.

Salah satunya adalah masyarakat sipil yang dikoordinasi oleh militer (terutama angkatan darat) melalui keberadaan instansi Koramil. Koramil, dalam wilayah kerja operasionalnya, pun memiliki mitra yang berasal dari masyarakat sipil untuk menjaga keamanan wilayah setempat— termasuk ancaman “komunisme”. (Nordholt, 2002). Makanya, tidak perlu heran jika melihat diskusi, pemutaran film, atau pembahasan soal tragedi 1965 seringkali dibubarkan paksa— atau minimal menjadi sorotan dan dianggap “berbahaya”. Pewacanaan fakta tragedi 1965 dibungkam habis-habisan.

Melalui tangan negara, mitos komunisme terus mengalami reproduksi makna. Mitos, sesungguhnya memang wajar (atau bisa diwajarkan), apalagi jika kisah tentangnya telah mendarah daging dalam kehidupan masyarakat sekian lama. Komunisme, tetap, masih, dan akan selalu menjadi “momok” jika mitos tentangnya terus direkonstruksi dan direproduksi oleh sistem kuasa.

Yang paling kentara, misalnya adalah bagaimana secara formal, hingga hari ini pun, kaki tangan militer masih menjadikan “komunisme” sebagai musuh bersama selain radikalisme dan narkoba. (Kusworo, 2014). Komunisme terus menjadi momok yang paling mengerikan bagi sejarah nasional Indonesia— meskipun sebenarnya masyarakat (dan negara) sendiri seringkali kelimpungan ketika ditanyai : apa sih yang ngeri dari membahas komunisme?

Lalu, kembali ke kegelisahan awal, adalah pertanyaan soal : bagaimana agar PKI, komunisme, dan wacana tragedi 1965 bisa mulai dibicarakan, dikritisi secara tajam di Indonesia dalam lingkup yang lebih luas— di tataran institusi akademis (SD, SMP, SMA), perdebatan sehari-hari, dan institusi negara misalnya? Hoaks lintas generasi ini akan sangat sulit diruntuhkan jika institusi itu sendiri (baca : negara)— enggan menurunkan egoisme kepentingan politisnya dan merunduk, mengakui borok-boroknya demi terobatinya luka sejarah bangsa ini.

Referensi :

  • Kusworo, Ahmad. Pursuing Livelihoods, Imagining Development: Smallholders in Highland Lampung, Indonesia. ANU Press, 2014.
  • Lane, M. (2017). Indonesia Tidak Hadir di Bumi Manusia. Djaman Baroe.
  • Nordholt, H. S. (2002). Kriminalitas, Modernitas, dan Identitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
  • Vickers, Adrian. 2005. A History Of Modern Indonesia. Cambridge University Press
  • https://arielheryanto.files.wordpress.com
Eliesta Handitya
Eliesta Handitya
Penulis adalah mahasiswa S1 Antropologi Budaya Universitas Gadjah Mada.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.