Rabu, April 24, 2024

Menengahi Konflik UIN

Moh. Rofqil Bazikh
Moh. Rofqil Bazikh
Moh. Rofqil Bazikh tercatat sebagai mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga. Menulis di berbagai media cetak dan daring. Sekarang berdomisili di Sleman, Yogyakarta.

Selain kasus yang menimpa rektor Universitas Negeri Lampung, belakangan rektor UIN Sunan Kalijaga juga banyak mendapat sorotan. Kronologi singkatnya, Al-Makin—selaku rektor UIN—membubarkan ospek(dalam istilah yang dipakai UIN adalah PBAK) di hari ketiga.

Sejatinya, hal tersebut merupakan imbas dari fenomena di hari pertama di mana banyak spanduk di tengah-tengah pergelaran ospek. Spanduk yang berisi aspirasi, kritikan, bahkan gugatan terkait uang kuliah tunggal (UKT) itu menjadi titik sentral di dalam konflik ini. Poin lain yang menjadi sorotan di dalam kasus tersebut adalah argumentasi religius dari Al-Makin terkait keputusan pembubaran. Ia dengan gagah menyatakan bahwa itu berlandaskan hasil salat istikharah.

Sebagai rektor Universitas Islam Negeri dan menggunakan legitimiasi ritus untuk pembenaran tindakannya, tentu ini cukup menarik ditilik. Seminimnya hal tersebut adalah sebuah prototipe di mana agama ditunggangi untuk membenarkan kepentingan pribadi. Itu tidak jauh beda dengan kelompok yang pada pergelaran Pilgub DKI menghantam Ahok dengan dalil Al-Maidah:51.

Kata kunci fundamental yang harus dipegang adalah agama dan muatan kepentingan. Dengan kata lain, penggunaan agama dan atas nama agama untuk membenarkan hal-hal yang senyatanya tidak ideal. Kendati dapat dibuktikan bahwa memang jajaran pejabat kampus telah menerima ilham lewat perantara istikharah itu, rasa-rasanya tetap kurang presisi sebagai landasan argumentatif dari seorang akademisi. Artinya, landasan pembuktian yang dikemukakan oleh Al-Makin cacat, baik secara etis maupun filosofis.

Juga tidak menarik jika memandang kasus ini dari perspektif seorang mahasiswa yang menggunakan medium demonstrasi. Perlu penggunaan tesmak lain untuk melihat kasus ini dengan sedikit objektif. Manakala kacamata yang digunakan dalam hal ini adalah kacamata seorang rektor, tentulah dengan jujur dapat dikatakan bahwa kritik yang dilayangkan itu kurang tepat, bahkan tidak etis. Dalam artian, tidak pada tempat dan waktu yang semestinya.

Sebaliknya, jika menggunakan tesmak seorang mahasiswa dengan uang kuliah tunggal(UKT) yang tinggi, tentu hal tersebut diklaim sebagai aspirasi—untuk tidak menggunakan kata kemarahan—mahasiswa. Untuk itulah butuh perspektif penyeimbang yang mencoba menengahi keduanya, dengan tidak hanya meminjam satu kacamata saja.

Penting dicatat bahwa persoalan uang kuliah tunggal adalah persoalan musiman. Problem yang tiap menjelang pembayarannya selalu mengundang aksi-aksi demonstrasi. Tidak terhitung berapa kali gugatan yang kerap dilayangkan oleh mahasiwa setiap menjelang batas akhir pembayaran. Mulai dari aksi di dunia nyata hingga maya.

Biasanya, itu disebabkan limit awal dan akhir pembayaran yang dinilai terlalu sempit. Kampus, dengan solusinya yang instan, hanya memberikan tambahan waktu (extra time) sebagai usaha untuk meringankan. Padahal di saat yang bersamaan, mahasiswa banyak mengeluh ihwal tagihan yang di banyak kasus tidak sesuai dengan penghasilan orang tua mereka.

Langkah autokritik

Seandainya petinggi kampus mampu menyiasati aspirasi itu dengan baik. Maksudnya, bisa mendengar dan merasakan apa yang dirasakan oleh mahasiswa, tentu tidak akan ada yang namanya spanduk berisi gugatan pada hari pertama ospek. Hanya saja, selama ini solusi yang diberikan kampus selalu jangka pendek dan lagi-lagi (dalam kacamata mahasiswa) dianggap tidak menguntungkan. Untuk itulah mahasiswa baru, entah murni suara mahasiswa baru atau justru ada kawalan dari mahasiswa lama, membentangkan tulisan kritis. Pada prinsipnya, kedua belah pihak harus mawas diri (autokritik). Aspirasi tidak boleh dibungkam dan mahasiwa harus paham cara-cara elegan untuk mengemukakan keresahan.

Langkah tersebut juga dimaksudkan agar tidak terjatuh ke dalam liang ceroboh, yang dalam friksi ini kedua belah pihak sama cerobohnya. Pihak yang satu menggebu-gebu menyuarakan keresahan hati dan pikirannya. Sementara pihak lainnya atas nama marwah kampus, barangkali, berusaha membatasi kritik tajam yang menghunjam. Konklusinya, semua butuh siasat serta kematangan pikiran dan kedua pihak dituntut untuk menemukan siasat yang elegan. Lagi pula, bukankah keduanya sama-sama berada di bawah satu panji untuk selalu teguh pada kematangan pikiran yang kritis dan etis?

Moh. Rofqil Bazikh
Moh. Rofqil Bazikh
Moh. Rofqil Bazikh tercatat sebagai mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga. Menulis di berbagai media cetak dan daring. Sekarang berdomisili di Sleman, Yogyakarta.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.