Kamis, April 25, 2024

Menemukan Jejak Filsafat Pendidikan Islam

Muhammad Ridha Basri
Muhammad Ridha Basri
Wartawan Suara Muhammadiyah, Pegiat Komunitas Masa Kini Yogyakarta, Alumni Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga

Sistem pendidikan nasional kita masih centang perenang. Haidar Bagir melalui buku Memulihkan Sekolah, Memulihkan Manusia (2019) menunjukkan adanya kerancuan hakikat, sistem, dan tujuan pendidikan kita. Yudi Latif dalam Kompas, 17 Desember 2019, menulis artikel “Pertaruhan Pendidikan” yang mewanti-wanti supaya pendidikan kita tidak kehilangan pijakan dan jati diri keindonesiaan. Beberapa kalangan mencoba mengajukan konsep alternatif. Mendikbud Nadiem Makarim mencanangkan program merdeka belajar.

Kritik serupa juga ditujukan pada sistem pendidikan Islam. Abdul Munir Mulkhan menyebut bahwa belum ada suatu institusi pendidikan agama di Indonesia yang sudah menerapkan dan mengembangkan sistem filsafat pendidikan Islam secara komprehensif, sistematis, dan terlembaga. Kritikan ini coba dijawab Majelis Diktilitbang PP Muhammadiyah dengan menyusun Jejak-Jejak Filsafat Pendidikan Islam (2019).

Buku ini mengkritik filsafat pendidikan Barat modern yang menghasilkan manusia yang kering spiritual dan menjauh dari nafas ketuhanan. Dominasi epistemologi positivistik, sekularisme, dan nalar instrumental dianggap menyisakan masalah baru. Melahirkan “nestapa manusia modern”.

Rasionalisme-empirisme parsial telah menutup kemungkinan memperoleh pengetahuan dari sumber lain. Padahal, di luar akal, ada hati, yang bekerja di luar nalar empiris-rasional. Hati berfungsi merasa, termasuk merasakan keberadaan dimensi yang bersifat suprarasional dan supraempiris. Hasil kerja hati berupa pengalaman eksistensial. Ilmu tanpa hati nurani, melahirkan manusia yang jumawa dengan ilmunya dan bahkan merendahkan hakikat kemanusiaan.

Katni dalam artikel “Epistemologi Pendidikan Islam Ibnu Sina” menyatakan bahwa realitas dalam Islam tidak terbatas pada yang lahiriah, namun juga menyangkut realitas alam ghaib. Tuhan sebagai realitas ghaib, menjadi hal paling mendasar dalam pendidikan Islam (hlm 129).

Sayyed Hossein Nasr mengkritik modernitas yang mengesampingkan paradigma spiritual, mitologis, dan metafisika. Sains modern yang menegasikan aspek nonmateri tersebut menjadi cikal krisis atau bencana pada alam, manusia, dan kemanusiaan (hlm 345). Metode ilmiah yang menganut pola berpikir rasional-empirik, membawa kemajuan di satu sisi, namun juga melahirkan sains yang disharmoni antara manusia dengan alam, manusia dengan manusia, dan manusia dengan Tuhan (hlm 21).

Dalam filsafat pendidikan Islam, mencari pengetahuan merupakan wujud kepasrahan pada Tuhan. Jika pengetahuan dibagi menjadi pengetahuan tentang fakta dan tentang sebab adanya fakta, sebagaimana dikatakan Al-Farabi, maka pengetahuan yang sempurna adalah pengetahuan yang tidak hanya menunjukkan sebab langsung, namun juga sampai pada sebab akhir: Allah. Mulla Sadra menyatakan bahwa Tuhan  adalah wujud murni, sebagai cahaya (Qs An Nur: 35) yang diartikan sebagai “pengada” alam semesta. Sementara manusia merupakan wujud yang tidak independen, bergantung pada wujud Tuhan.

Keberadaan manusia di muka bumi, antara lain sebagai pelaksanaan amanah menjadi khalifah, co-creator bersama Tuhan. Tuhan menciptakan jagat raya, manusia dengan ilmunya berperan mengelola titipan-Nya. Dengan akal dan pemikiran yang melahirkan ilmu pengetahuan dan teknologi, manusia harus mengabdi dan menebar rahmat-Nya bagi alam raya. Dengan pengabdian yang tulus, manusia mencapai tujuan hidup dan meraih keridhaan ilahi (hlm 447). Hidup adalah sebuah pengembaraan. Supaya manusia bisa kembali pada wujud murni dengan selamat, maka ia harus berilmu. Tujuan akhir ilmu adalah mengantarkan manusia kembali pada Tuhan (Qs Al-Isra: 110).

Pendidikan harus bisa mengintegrasikan antara akal atau logika dengan agama atau moralitas yang mewujud dalam kepribadian insan kamil. Dia tidak hanya sekadar mengetahui, namun juga memahami, yang mendorong pada kesadaran untuk mengaplikasikan pengetahuan yang telah diperolehnya. Ilmu dianggap bermanfaat ketika berdampak pada kebaikan hidup umat manusia dan alam semesta. Pendidikan yang berpadu antara kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotorik, pada akhirnya berupaya mengantarkan peserta didik menjadi manusia seutuhnya, yang berbudi luhur.

Pandangan eksistensi manusia Mulla Sadra dapat diturunkan menjadi landasan etis pendidikan Islam, bahwa kurikulumnya harus memanusiakan manusia. Murid dipandang sebagai subjek, guru sebagai fasilitator bagi pemberdayaan potensi murid. Dalam kerangka epistemologi Al-Farabi, pendidik merupakan sumber belajar yang berperan dalam proses transmisi ilmu kepada peserta didik, sebagai keharusan eksistensial proses transmisi dari generasi ke generasi.

Dalam kerangka emanasi, sumber utama ilmu adalah Allah, kemudian malaikat, dan terakhir manusia. Hierarki keilmuan agen-agen emanasi selain Allah bergantung pada jarak mereka dengan sumber ilmu. Pendidik berada di level lebih atas dari peserta didik dan di saat yang sama berada di level lebih rendah dari manusia cerdas lainnya, karena selain mentransmisikan ilmu, pendidik juga menerima transmisi ilmu. Implikasinya, peserta didik dan pendidik harus menjadi pembelajar sepanjang hayat (hlm 90-92).

Peserta didik merupakan pewaris ilmu yang harus mendayagunakan semua potensinya untuk mewadahi ilmu dan menyerap daya emanatifnya. Pendidikan sebagai proses mengembangkan pribadi insan kamil. Al-Farabi menyebut bahwa manusia diberi tiga jenis potensi jiwa: jiwa tumbuhan, jiwa hewan, dan jiwa manusia (rasional).

Jika tumbuhan dengan daya nutrisi, daya pertumbuhan, dan daya generatif, diharapkan memahami pengetahuan fisikal dan habitual. Jiwa hewan dengan daya penggerak dan daya persepsi, diharapkan menemukan kebenaran melalui ketajaman indra dan imajinasi, mendorongnya melakukan penelitian. Jiwa manusia dengan akal praktis dan akal teoritis, harus menemukan pengetahuan melalui ilham dan inspirasi.

Jejak khazanah filsafat Islam yang ditawarkan buku ini telah memberi rumusan prinsip dan konsepsi mendasar tentang pendidikan Islam. Namun terkait teknis kurikulum dan penerapan pembelajaran di lapangan, menjadi bidang yang harus dikaji oleh ilmu pendidikan, seraya bertegur sapa dengan cabang ilmu lainnya.

Judul               : Jejak-Jejak Filsafat Pendidikan Islam

Penulis             : Maesaroh Lubis & Nani Widiawati, Katni, Kusen, Kholid Al-Walid, Wiwit Kurniawan & Andi Wahyono, Muhammad Al-Amin & Diesyana Ajeng Pramesthi

Editor              : Abdul Munir Mulkhan & Robby Habiba Abror

Penerbit           : Majelis Diktilitbang PP Muhammadiyah

Cetakan           : 1, Oktober 2019

Ukuran, tebal  : xii + 586 hlm, 15 x 23 cm

ISBN               : 978-602-74900-5-5

Muhammad Ridha Basri
Muhammad Ridha Basri
Wartawan Suara Muhammadiyah, Pegiat Komunitas Masa Kini Yogyakarta, Alumni Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.