Sebagai bangsa yang menjunjung tinggi nilai-nilai keragaman, mewujudkan kehidupan berbangsa dan bernegara secara harmonis merupakan hal yang esensial. Kehidupan yang inklusif atau keberdampingan para anggota masyarakatnya merupakan momentum-momentum yang dicitakan. Keteraturan-keteraturan tersebut secara teori mungkin dapat dikonstruksikan sedemikian rupa, salah satunya adalah dengan membentuk norma hukum.
Norma hukum pada prinsipnya merupakan pengejawantahan kehendak dari rakyat itu sendiri. Dalam bingkai negara yang menganut prinsip-prinsip demokrasi, pembentukan norma hukum positif tidak lahir dari hal-hal yang bersifat absolutisme seperti kekuasaan penguasa melainkan dari aktualisasi nilai-nilai yang hidup dan tumbuh berkembang di masyarakat serta disinergikan dengan kehendak dan kebutuhan dari rakyat. Bahkan hingga dewasa ini di era reformasi, norma hukum tersebut dibentuk oleh lembaga kekuasaan yang pengisian jabatannya dilakukan oleh rakyat sebagai pemegang kedaulatan.
Namun meskipun demikian, pembentukan norma hukum di Indonesia terlebih dewasa ini tidaklah secara rigid dapat dinyatakan sebagaimana yang dinyatakan dalam teori-teori mengenai pembentukan norma hukum. Hal ini ditandai dengan lahirnya berbagai peraturan perundang-undangan yang tidak secara aktual dan komprehensif menjawab tuntutan dan kebutuhan publik. Bahkan tidak dapat dipungkiri bahwa terdapat substansi peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan kehendak rakyat secara luas.
Mengutip The Oxford Handbook of Political Science (2011), dalam menormakan substansi dari cabang-cabang ilmu hukum tidak hanya mengenai studi doktrinalnya semata melainkan juga harus dikukuhkan dengan pendekatan mendalam terhadap kehidupan masyarakat yang terikat olehnya. Sehingga gelombang penolakan seperti demonstrasi ataupun perdebatan di mimbar akademis atau non akademis terhadap sebuah norma hukum adalah suatu kelumrahan. Tetapi memberlakukan norma hukum yang sarat penolakan publik tidak menjadi keputusan yang bijaksana untuk dilakukan oleh pengampu kepentingan terlebih di masa pandemi.
Mengklasterisasi Politik Hukum dan Kebijakan
Setidaknya terdapat dua klasterisasi yang sarat dengan perdebatan tersebut yaitu klaster norma hukum yang telah diundangkan dan klaster gagasan norma hukum. Pada klaster norma hukum yang telah diundangkan yaitu peraturan perundang-undangan yang membahas perubahan substansi norma hukum yang berkenaan dengan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) dan Mahkamah Konstitusi (MK).
Berkenaan dengan pengundangan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pembertantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK), gelombang penolakan terjadi secara merata dimana selain terjadi perdebatan gagasan di mimbar akademis melainkan hingga ke ruang-ruang publik.
Norma hukum ini sejak semula dipersepsikan sebagai langkah mendegradasi independensi KPK secara perlahan dengan menghadirkan sistem pengawasan melalui Dewan Pengawas yang secara tidak langsung akan membawa konsepsi pengawasan secara birokratisasi dibandingkan pengawasan publik. Selain itu mengubah status kepegawaian komisi anti rasuah tersebut menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) pun tidak menjadi hal yang prinsip untuk dilakukan.
Padahal ketika ditelaah secara mendalam terlebih apabila mengenai substansi kelembagaan, substansi yang seharusnya perlu diatur adalah mengenai pola rekrutmen, pengisian jabatan di lingkungan KPK yang terstandardisasi, akuntabilitas, transparansi, dan tidak boleh mengandung unsur konflik kepentingan. Namun justru hal-hal tersebut belum diatur secara lebih lanjut secara normatif.
Selain mengenai UU KPK, dewasa ini kekuasaan legislatif kembali mengesahkan norma hukum yang merupakan norma hukum yang mengatur mengenai perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Hal serupa yang terjadi di dalam perumusan substansi UU KPK kembali terulang yaitu tidak diaturnya hal-hal yang bersifat prinsipil dan esensial kepada institusi kelembagaan.
Dimana pengaturan usia 60 tahun sebagai usia minimal seorang Hakim Konstitusi justru menjadi sebuah hal yang diatur di dalam substansi norma hukum tersebut dibandingkan dengan melakukan kajian terhadap praktik hukum acara Mahkamah Konstitusi yang meliputi pengujian yang dilakukan secara materil ataupun formil hingga pengaturan mengenai kedudukan dan peranan Dewan Etik di lingkungan Mahkamah Konstitusi dalam sebuah Undang-Undang.
Sedangkan pada klaster gagasan norma hukum, rancangan undang-undang tentang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) justru dikeluarkan dalam Prolegnas Tahun 2020. Padahal apabila hendak disandingkan dengan kedua norma hukum yang diundangkan diatas, substansi RUU PKS jauh lebih bersifat substantif dan memiliki urgensi meskipun tidak dipungkiri bahwa RUU PKS menuai polemik di sebagian kalangan masyarakat karena substansi RUU PKS merupakan hal yang tabu untuk dibahas terlebih untuk diundangkan dalam sebuah Undang-Undang. Namun hal ini semakin terang menunjukan bahwa terdapat disparitas tindakan dalam pengambilan keputusan untuk merumuskan hingga mengundangkan sebuah norma hukum dewasa ini.
Dimana pengambilan keputusan dalam praktik pembentukan norma hukum belum berjalan secara maksimal untuk memenuhi kepentingan dan kebutuhan rakyat secara berimbang. Seorang sosiolog Inggris bernama T.H. Marshall (1965) dalam artikel ilmiahnya bertajuk The Right to Welfare menerangkan bahwa perwujudan sejahteranya sebuah negara adalah dimana rakyatnya berada pada bentangan poros kutub kekayaan dan kutub kebahagiaan. Sehingga menilik apa yang terjadi dewasa ini, praktik pembentukan norma hukum di Indonesia belumlah dapat disebut dalam bentangan mewujudkan sejahteranya negara.
Sebuah sinergi yang nyata merupakan tantangan dalam pembentukan norma hukum Indonesia dewasa ini. Dimana apabila belum dapat menciptakan lapangan kekayaan untuk rakyat, kebahagiaan rakyat yang termanifestasi dari pemenuhan kepentingan dan kebutuhan atas sebuah norma hukum adalah tanggung jawab mutlak suatu pemerintahan yang menjunjung konsepsi negara yang demokratis.