Jumat, Maret 29, 2024

Meneladani Cara Bernegara Rasulullah SAW

Sarjoko Wahid
Sarjoko Wahid
Pegiat Islami Institute Yogyakarta

Dalam sebuah cuplikan video yang viral di media sosial, Eggi Sudjana mengatakan bahwa hanya agama Islam yang bisa diakomodir oleh Pancasila sila pertama (Ketuhanan yang Maha Esa)[1]. Ia bahkan menyebut selain Islam bertentangan dengan Pancasila dengan mengambil beberapa contoh konsep ketuhanan di beberapa agama lain. Ucapan pengacara ini membuat Indonesia mundur banyak langkah ke belakang dalam menyikapi keberagaman. 

Membicarakan Pancasila tak bisa lepas dari sejarah kemerdekaan bangsa ini. Sebelum kata ‘Ketuhanan yang Maha Esa’ disetujui, teks sila pertama piagam Jakarta yang merupakan cikal bakal Pancasila, berbunyi ‘Ketuhanan, dengan Kewajiban Menjalankan Syari’at Islam bagi Pemeluk-pemeluknya’. Teks ini kemudian diubah menjadi ‘Ketuhanan yang Maha Esa’ oleh para perumus dengan persetujuan ulama kharismatik KH Hasyim Asy’ari. Perubahan ini konon disebabkan adanya desakan dari kawasan Indonesia bagian timur (yang mayoritas bukan beragama Islam) yang keberatan dengan teks sebelumnya.

Penghapusan tujuh kata dalam sila pertama Piagam Jakarta adalah sebuah langkah besar dalam menjembatani berbagai perbedaan di Indonesia. Dalam soal keyakinan, masyarakat Indonesia menganut agama dan kepercayaan yang beragam sehingga perlu satu rumusan yang bisa mengakomodir seluruhnya. Sila pertama Pancasila inilah yang menjadi kunci keberhasilan para perumus membuat Indonesia menjadi Negara yang satu.

Akan tetapi, jembatan yang sudah sekian puluh tahun dibangun itu kini kembali diusik. Kata ‘esa’, oleh sebagian orang, diartikan sebagai ‘satu’ dan ditafsirkan berdasar satu sudut pandang agama tertentu. Andai saja para perumus berpikiran sempit seperti itu, bisa jadi eksistensi kita sebagai sebuah bangsa tidak pernah ada.

Rumusan ‘Yang Maha Esa’ bukanlah sebuah rumusan yang memiliki tafsir tunggal. Ia bisa ditafsirkan dengan berbagai sudut pandang berbagai macam agama dan keyakinan. Sebab esensi dari sila pertama itu adalah mempercayai adanya Tuhan, tanpa sedikit pun mengintervensi konsep dan caranya. Hal ini sesuai dengan pidato yang disampaikan oleh Bung Karno: Prinsip Ketuhanan! Bukan saja bangsa Indonesia bertuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya bertuhan Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa al Masih, yang Islam bertuhan menurut petunjuk Nabi Muhammad SAW, orang Buddha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi marilah kita semuanya bertuhan. Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa[2]. 

Begitulah cara Pancasila mengakomodir masing-masing keyakinan. Apakah para perumus yang kebanyakan beragama Islam tidak mengerti ajaran agama Islam? Tentu sangat mengerti. Para perumus yang beragama Islam seperti KH Wahid Hasyim (Nahdlatul Ulama) dan Ki Bagus Hadikusumo (Muhammadiyah) tentu banyak belajar dari Rasulullah SAW dalam mengelola Negara. 

Karya monumental Muhammad SAW sebagai kepala Negara adalah rumusan Piagam Madinah yang merupakan konstitusi tertulis pertama di dunia. Piagam Madinah dirumuskan oleh Nabi Muhammad SAW bersama penduduk Madinah yang plural sebagai landasan konstitusi yang disepakati dan berlaku di Negara Madinah. Ketika sebagian perumus keberatan dengan kata ‘Muhammad Rasulullah’, karena di agama Yahudi dan Nasrani Muhammad bukanlah seorang Rasul yang harus diimani, Rasulullah tidak keberatan untuk menggantinya dengan kata Muhammad ibn Abdillah. 

Sebagai utusan Tuhan, Muhammad SAW memiliki misi dakwah untuk mengajak manusia mempercayainya sebagai seorang rasul dan mengikuti ajaran-ajarannya. Namun sebagai seorang kepala pemerintahan, Muhammad SAW mesti bersikap adil kepada masyarakatnya, termasuk dalam soal keyakinan. Sikap proporsional seperti ini sangat dibutuhkan dalam menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara agar keribukan soal ‘Yang Maha Esa’ tidak lagi terulang di masa mendatang. 

Sementara jika kita tidak bisa menempatkan urusan agama dan negara secara proporsional, yang terjadi hanyalah kegaduhan-kegaduhan. Apalagi jika yang dikemukakan adalah pendapat yang disandarkan pada satu sudut pandang dan memaksakan kepada yang lain. Sikap seperti itu seharusnya dihindari demi mendorong kehidupan bernegara dan berbangsa yang harmonis dan toleran. 

Tak perlu banyak dalil untuk mengatakan bahwa pernyataan ES berbenturan dengan banyak hal, termasuk hukum. Apalagi contoh-contoh konsep ketuhanan  yang dikomentarinya adalah bagian dari agama-agama yang diakui di Indonesia berdasar Penjelasan Penetapan Presiden No 1 Tahun 1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama pasal 1, yang berbunyi: “Agama-agama yang dipeluk oleh penduduk di Indonesia ialah Islam, Kristen (Protestan), Katolik, Hindu, Budha dan Khong Hu Cu (Confusius)“.

Bagaimana pun, pernyataan ES telah membuka mata kita semua bahwa impian tentang kehidupan bernegara yang harmonis dan saling menghargai sebagaimana dicita-citakan Sukarno dan para pendiri bangsa masih memiliki banyak tantangan. Seorang aktivis dan tokoh sekaliber ES saja masih memiliki pandangan seperti itu, lalu bagaimana dengan yang nasib pendidikan dan aktivitasnya tidak semujur beliau?

 

[1] https://www.youtube.com/watch?v=X2MX3HU0jHg

[2] https://news.detik.com/berita/3222960/ini-pidato-bung-karno-1-juni-1945-yang-jadi-cikal-bakal-lahirnya-pancasila

Sarjoko Wahid
Sarjoko Wahid
Pegiat Islami Institute Yogyakarta
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.