Ayo lah… ayo… ayo….Derap derukan langkahDan kibar geleparkan panji-panjiIkatan Mahasiswa MuhammadiyahSejarah umat telah menuntut buktiIngatlah… ingat… ingat…Niat telah diikrarkan Kitalah cendekiawan berpribadi Susila cakap takwa kepada TuhanPewaris tampuk pimpinan umat nantiIMMawan.. dan IMMawati…Siswa teladan, putra harapanPenyambung hidup generasiUmat Islam, seribu zamanPendukung cita-cita luhurNegri indah adil dan makmur.
Bait-bait iringan lagu mars Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) ini melambangkan identitas gerakannya yang dimaknai dari nilai Islam sebagaimana dasar dari ideologi IMM, dan mahasiswa sebagai kepribadian IMM. IMM sebagai Ortom (organisasi otonom) Muhammadiyah yang berafiliasi dengan organisasi mahasiswa memiliki paradigma yang dibangun atas pilar intelektual sebagai basis gerakan.
Kesadaran dalam melahirkan produk gagasan & ide keilmuan menjadi bangunan yang di prioritaskan untuk menyongsong masa depan gerakan mahasiswa Indonesia saat ini. Partai politik telah banyak menggiring rasionalitas mahasiswa pada aksi-aksi politik pragmatis. IMM sebagai satu dari sekian elemen gerakan mahasiswa yang berkhidmat dalam ranah intelektual dan kaderisasi mencoba mengimbangi gerakan-gerakan mahasiswa yang berorientasi pada agenda-agenda politis.
Dalam ruang geraknya, IMM mencoba memberikan satu opsi berkenaan perkaderan dan keilmuan. Darul Arqam Dasar (DAD) merupakan instrumen pertama bagi para calon kader IMM dalam menempa kepribadiannya. IMM mencoba memberikan nilai pengejawantahan diri yang terinternalisasi lewat tiga kompetensi utama atau yang dikenal dengan Tri Kompetensi Dasar (TKD) IMM.
Tri-kompetensi ini terdiri dari Religiusitas, Intelektualitas, dan Humanitas. Artinya, peran IMM sebagai cendekiawan berpribadi melalui Tri Kompetensi Dasar harus diaksikan secara komitmen, dan menggembirakan di tengah situasi keumatan.
Pertama, berkenaan dengan nilai religiusitas, sebagaimana peran IMM sebagai Ortom Muhammadiyah tentu memiliki landasan gerak yang sama dengan Muhammadiyah yaitu Islam, sehingga kepribadian IMM adalah kepribadian yang dicontohkan lewat moralitas profetis berdasar pada landasan normatif ketuhanan (teologis). Istilah akhlaq menjadi kesatuan dari moralitas dan landasan normatif tubuh tadi.
Lebih lanjut, meningkatkan kompetensi religiusitas yang menjadi tonggak arah kader IMM untuk menjalani semua hal tersebut. Tanpa religiusitas seperti, “burung tanpa sayap, yang tidak akan dapat terbang, hilang arah, lebih jauh tidak dapat hidup.” Dalam hal ini, seperti “tubuh manusia, yang memiliki semua organ.
Jika satu sel jaringan saraf mati, maka akan berdampak pada keseimbangan diri.” Begitulah nilai religiusitas kita, dalam hal ini berIslam harus terus kita tingkatkan, baik dengan meningkatkan ketaqwaan kita dengan selalu berupaya membaca, memahami, dan mengamalkan Al Qur’an dan Sunnah dalam kehidupan, meningkatkan kapasitas diri-kolektif dengan mengikuti kajian-kajian mengenai Al Islam, Kemuhammadiyahan, dan sebagainya.
Kedua, merawat dan menjaga nafas intelektualitas. Kalau kata Haedar Nashir, “IMM itu garapan utamanya adalah di wilayah pengembangan wacana. Idealnya, gudang intelektualisme Muhammadiyah ya IMM. Oleh karena itu, 70 % gerakan IMM di wilayah itu saja.” Hal ini bukan tanpa sebab Ketua Umum PP Muhammadiyah memberikan masukan-masukan kepada IMM.
Pernyataan diatas tidak lepas dari tujuan dan orientasi gerakan IMM yang memiliki pilar intelektualitas. IMM didirikan bertujuan menciptakan akademisi Islam yang berakhlak mulia.
Akademisi identik dengan wilayah intelektualisme. Intelektualisme yang dimaksud adalah bagaimana sebagai mahasiswa yang memiliki predikat “intelektualisme” ini mampu memberikan pikiran-pikirannya dengan tajam, responsif, aktif, membangun ruang dialektika dengan berbagai wacana, misalnya diskusi wacana integrasi keilmuan, mampu membaca, diskusi, dan menulis. Kemudian, mengaksikan wacana-konsep tadi untuk transformasi sosial.
Kader IMM sebagai lumbungnya intelektualisme, harus mampu dan peka memahami disiplin-disiplin ilmu sains, humaniora, filsafat, dan sebagainya. Selain itu, memaksimalkan peran kemanusiaan dalam ranah regional, nasional, bahkan global. Intelektual sebagai pedoman ciri dari seorang cendekiawan.
Maka, keilmuannya IMM merupakan keilmuan yang berdasarkan pada kompetensi disiplin ilmu kader dari akademik yang ia emban di masa perkuliahannya, lalu melalui pembelajaran dan proses dari yang sudah dibangun di IMM, maupun dari pelatihan, kajian, dan lain sebagainya. Lebih lanjut, kader IMM harus memperdalam dengan wawasan-wawasan Keislaman dan Kemuhammadiyahan, sehingga bidang profesional yang di emban bermuatan nilai-nilai Keislaman dan Kemuhammadiyahan.
Ketiga, humanitas sebagai wujud dari kepribadian yang sosialis, dan hidup dengan perangai yang pantas di tengah-tengah masyarakat. Maka, tegas dikatakan Kuntowijoyo bahwa, tugas intelektual di masyarakat itu “untuk meminjamkan pisau analisisnya.” Artinya, sebagai kader sudah harus secara otomatis, mau berperan secara aktif, dengan modal keilmuan yang diperoleh adalah alat atau sebagai pisau bedah dalam memberikan pemecahan masalah di tengah masyarakat yang ada.
Namun keilmuan itu hanya akan mengawang-awang di tataran ideal ketika tidak di singgungkan dengan peran kita ditengah masyarakat.
Maka kepribadian humanis adalah mereka yang bisa bercengkrama dengan masyarakat, dan senantiasa terlibat dalam agenda-agenda sosial kemanusiaan dengan cara yang mencerahkan dan menggembirakan, sehingga dalam menelisik cendekiawan berpribadi adalah wujud kongkrit dari tujuan IMM yaitu terciptanya akademisi Islam (cendekiawan Islam) yang berakhlak mulia (berlandas nilai-nilai profetis) dalam rangka mewujudkan tujuan Muhammadiyah.
Maka, dalam implementasi ini-lah terjemah cendekiawan berpribadi menurut hemat penulis adalah wujud dari Tri Kompetensi Dasar yang terinternalisasi dan terlembagakan pada kepribadian dalam aspek psikopsikal–istilah Gordon Allport—atau berkenaan aktifitas fisik dan psikis dalam hidup bermasyarakat. Wallahu a’lam bishawab.