Manusia memiliki sejarah dan kenangan masing-masing. Lewat kenangan, mereka menceritakan pengalaman kepada anak dan cucu. Dalam membantu merekosntruksi bayangan dari cerita tersebut, fotografi menjadi semacam “memori travel” yang dapat membawa manusia seakan kembali kepada masa dimana foto tersebut diabadikan.
Ya, diabadikan, karena melalui foto, kita dapat melihat ayah dan ibu kita saat menikah. Padahal kita belum ada saat foto itu diambil, dan bahkan cucu kita kelakpun bisa saja melihat foto tersebut.
Di era milenial sekarang ini, industri fotografi berkembang. Banyak masyarakat yang menyukai foto, dan menginginkan momen-momen bersejarahnya diabadikan dengan ciamik melalui foto. Namun jumlahnya tidak sebanding dengan fotografer yang menguasai betul teknik fotografi.
Hal itu membuat para fotografer banyak menerima permintaan untuk melayani foto wisuda, pernikahan, prewedding, ulang tahun, dan sebagainya. Dengan adanya aplikasi untuk menshare foto semacam Instagram, menciptakan budaya “pamer” di Indonesia. Masyarakat berlomba-lomba membagikan foto momen-momen penting dalam hidupnya
Dalam hal ini yang diuntungkan adalah si fotografer. Semakin banyak masyarakat yang mengenalnya, maka perimintaan untuk mendokumentasikan momen-momen penting tersebut semakin tinggi.
Sebut saja Rio motret yang cukup kondang dan sering diminta mendokumentasikan pernikahan para artis. Lalu, bagaimana dengan kebanyakan fotografer yang memiliki hobi dan ketertarikan dibidang fotografi namun belum memiliki nama besar apalagi studio foto sendiri?.
Sebetulnya tidak ada masalah dengan nama besar fotografer asalkan mereka memiliki strategi. Yang paling efektif adalah memainkan tarif, jika masih terhitung fotografer baru, lebih baik menekan tarif dan lebih mencari portofolio. Semakin banyak pengalaman yang didapat, fotografer berhak menaikan tarif.
Yang perlu diingat ketika mulai menjajaki dunia fotografi komersial adalah segmentasi yang ditargetkan. Dan segmentasi yang paling mudah didapat adalah segmen menengah kebawah. Hal ini berkorelasi dengan tarif yang terhitung murah ketika baru mulai menjadi fotografer.
Jika fotografer sudah memiliki pengalaman dan porto folio yang cukup. Perlu media untuk menunjukan karya dan instagram menjadi jawaban bagi para fotografer pemula. Membuat akun baru, dan mengemas tampilan yang menarik dalam akun tersebut juga membantu menaikan pamor sang fotografer.
Hal tersebut sangat mudah dilakukan oleh fotografer pemula hingga fotografer professional sekalipun. Dengan mengatur tampilan atau yang pupuler disebut feed akan memanjakan calon klien untuk melihat hasil karya yang pernah diambil si juru foto.
Dan jangan sekalipun berpikiran untuk membeli followers, karena warganet sudah cukup pintar dalam menganalisi korelasi antara jumlah followers dan jumlah like yang didapat. Jika dirasa tidak masuk akal, warganet tidak akan sekalipun melirik kembali.
Perlombaan dalam mencari eksistensi bagi fotografer memang sangat ketat. Semakin banyak orang yang tertarik menekuni bidang fotografi. Belajar foto tidak harus melalui lembaga, karena kita bisa menemukan ilmu tersebut dimana saja.
Namun sejujurnya, fotografi komersial adalah tentang perang strategi. Siapa yang bisa melihat peluang, dia yang akan eksis dan berkembang.