Sektor pertanian merupakan tulang punggung ketahanan pangan sekaligus sumber mata pencaharian bagi puluhan juta rakyat Indonesia. Hampir 30% penduduk Indonesia bekerja di bidang pertanian, namun kontribusinya terhadap ekonomi relative kecil, hanya sekitar 12,5% dari total PDB pada 2023. Angka ini menunjukkan rendahnya produktivitas pertanian kita, padahal potensi pertanian Indonesia sangatlah besar. Dengan luas lahan dan jumlah petani yang ada, penggunaan teknologi dapat meningkatkan skala ekonomi dengan menghasilkan lebih banyak panen dengan menggunakan input yang tetap.
Berdasarkan catatan peristiwa pada tanggal 5 Juni 2025, kunjungan kerja Presiden Prabowo ke Kalimantan Barat, beliau menyampaikan bahwa inovasi benih unggul dan pupuk efektif terbukti mampu melipatgandakan hasil panen, demonstrasi pertanian jagung di Kalimantan Barat menunjukkan produktivitas melonjak dari 4 ton menjadi 6-8 ton per hektare, produksi triwulan I naik hampir 50% dari 6 juta menjadi 9 juta ton. Hal ini membuktikan bahwa dengan inovasi teknologi, keterbatasan lahan dan tenaga kerja dapat diatasi melalui peningkatan hasil per hektare.
Pemerintah menyadari urgensi transformasi pada sektor pertanian. Hal tersebut dibuktikan oleh Presiden Prabowo Subianto dengan menjadikan peningkatan produktivitas pertanian sebagai salah satu janjinya. Beliau menekankan pentingnya swasembada pangan dan bahkan berambisi menjadikan Indonesia sebagai lumbung pangan dunia di masa depan. Komitmen ini tercermin dalam kebijakan untuk menaikkan produksi strategis seperti target stop impor jagung tahun 2026.
Namun, mewujudkan janji tersebut bukan tanpa kendala. Pemerintah dihadapkan dengan berbagai tantangan seperti rendahnya adopsi teknologi di kalangan petani, SDM petani yang didominasi oleh generasi orang tua, serta kesejahteraan petani yang masih perlu ditingkatkan. Rata-rata umur petani Indonesia kini di atas 50 tahun, sehingga jika generasi muda enggan terjun bertani, dikhawatirkan siapa yang akan memproduksi pangan kita di masa depan.
Selain itu, banyak petani kecil masih berjuang dengan modal terbatas dan harga jual hasil panen yang sering kali tidak sebanding dengan biaya produksi. Nilai Tukar Petani (NTP) yakni indikator yang mengukur rasio harga hasil pertanian terhadap harga input yang dibeli petani, meskipun belakangan menunjukkan tren kenaikan, tetap harus terus didorong agar petani memperoleh pendapatan layak. Presiden Prabowo sendiri menegaskan bahwa nilai tukar petani dan nelayan harus naik agar produsen pangan bisa hidup sejahtera dan produktivitas pertanian meningkat. Untuk mengatasi kendala-kendala tersebut, diperlukan solusi terpadu.
Impor Teknologi, Bioekonomi, dan Digitalisasi Pertanian
Langkah pertama adalah adopsi teknologi modern secara masif, baik melalui inovasi domestik maupun impor teknologi dari luar negeri. Mekanisasi dan peralatan canggih (misalnya traktor otomatis, drone penyemprot, hingga sensor IoT) bisa meningkatkan efisiensi budidaya. Jika perlu, Indonesia dapat mengimpor teknologi pertanian dan menyesuaikannya dengan kondisi lokal. Selain itu, pengembangan bioekonomi perlu digencarkan, contohnya adalah penggunaan varietas bibit unggul hasil rekayasa genetik, pupuk hayati, serta pemanfaatan produk samping pertanian menjadi bioenergi atau material industri. Pendekatan bioekonomi ini tidak hanya meningkatkan hasil panen, tapi juga menambah nilai tambah komoditas pertanian.
Selain itu, otomatisasi dan digitalisasi Internet of Things (IoT) juga merevolusi pertanian. Teknologi IoT memungkinkan petani memantau lahan secara real-time dan melakukan tindakan cepat berbasis data. Contohnya, sensor tanah dan cuaca dapat mengatur irigasi cerdas sehingga penggunaan air lebih hemat, atau mendeteksi potensi serangan hama sejak dini. Dengan smart farming seperti ini, petani bisa menekan biaya sekaligus mengerek produktivitas. Studi menunjukkan bahwa penerapan IoT tidak hanya meningkatkan produktivitas, tetapi juga mendukung keberlanjutan pertanian yang lebih baik. Artinya, hasil panen bisa naik tanpa mengorbankan kelestarian lingkungan, efisiensi pupuk dan air meningkat, penggunaan pestisida berlebih dapat dicegah, dan jejak karbon pertanian berkurang.
Integrasi teknologi ini tentu membutuhkan investasi dan keterampilan. Di sinilah peran pemerintah sangat vital, yaitu sebagai pihak yang memfasilitasi teknologi (misalnya kemitraan dengan negara maju atau mendatangkan ahli), memberikan insentif bagi petani yang mengadopsi inovasi (subsidi alat, kredit murah untuk membeli mesin pertanian), serta membangun infrastruktur pendukung seperti jaringan internet di desa. Dengan modal teknologi dan digitalisasi, pertanian Indonesia dapat mengalami lompatan produktivitas yang signifikan meski lahan dan tenaga kerja tetap sama.
Pemberdayaan SDM Petani dan Peningkatan Nilai Tukar Petani
Pemberdayaan sumber daya manusia (SDM) di sektor pertanian adalah langkah krusial yang harus diambil. Pertama, petani yang ada saat ini wajib dibekali pengetahuan dan keterampilan modern. Kualitas dan jangkauan program pelatihan seperti workshop sederhana mengenai teknik budidaya terbaru, penggunaan alat mesin, hingga manajemen usaha tani perlu diperluas. Untuk mewujudkannya, pemerintah bisa berkolaborasi dengan perguruan tinggi dan komunitas untuk mentransfer ilmu secara praktis ke para petani di desa.
Selain itu, regenerasi petani melalui keterlibatan generasi muda menjadi agenda yang sangat mendesak. Mengingat rata-rata usia petani di Indonesia kini di atas 50 tahun, perlu ada insentif untuk menarik minat kaum milenial dan Gen-Z, misalnya melalui program magang, bantuan modal bagi startup agrotech, dan promosi kisah sukses petani milenial. Tujuannya adalah untuk menjawab kekhawatiran tentang siapa yang akan memproduksi pangan di masa depan, sekaligus mengubah citra pertanian menjadi sektor yang menguntungkan dan tidak lagi dipandang kuno.
Integrasi Menuju Indonesia sebagai Lumbung Dunia
Pada akhirnya, upaya menjadikan pertanian sebagai motor pertumbuhan ekonomi membutuhkan integrasi dari semua solusi di atas. Teknologi canggih tanpa petani yang mumpuni tidak akan optimal, sebaliknya SDM unggul tanpa dukungan inovasi juga tidak cukup.
Dengan tekad dan langkah konkret, Indonesia bisa melampaui sekadar swasembada dan menjadi lumbung pangan dunia seperti yang ditargetkan pemerintah. Artinya, Indonesia tidak hanya mampu memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri secara mandiri, tetapi juga menjadi negara penyuplai pangan bagi dunia. Cita-cita besar ini dapat terwujud jika skala ekonomi pertanian meningkat, produktivitas per hektare melonjak, dan petani sejahtera sehingga termotivasi untuk terus berproduksi.
Pertanian yang maju akan mendorong pertumbuhan ekonomi nasional secara signifikan, sekaligus menegakkan kemandirian bangsa di bidang pangan. Integrasi teknologi modern dan pemberdayaan petani adalah kunci untuk membuka potensi agraria Indonesia. Dengan demikian, pertanian yang dulu dipandang sektor tradisional dapat bertransformasi menjadi penggerak utama ekonomi yang tangguh, menyejahterakan petani, dan menjadikan Indonesia berdiri kokoh sebagai Lumbung Pangan Dunia.