Jumat, April 26, 2024

Mendesakan Ibukota

andri athoillah
andri athoillah
twitter @AndriAthoillah

Ibukota negara memang suatu yang khusus dalam kehidupan bernegara. Posisinya sebagai pusat pengelolaan negara membuatnya menjadi daya tarik sekaligus juga “medan pertempuran”. Karena di ibukota-lah pertarungan kepentingan-kepentingan besar terjadi.

Sebenarnya, ibukota tidaklah terlalu “spesial” dan sakral jika politik, sosial, dan budaya masyarakat dalam suatu negara memberikan ruang bagi setiap kota untuk membangun kepribadiannya masing-masing. Yang dimaksud kepribadian adalah bahwa setiap kota memiliki kultur, karakter, serta filosofi hidup masing-masing. Tugas negara adalah menemukan titik temu dari segala kultur tersebut, bukan menuntut setiap kota untuk mengikuti keinginan pusat yang diwakili oleh Ibukota.

Ibukota sebagaimana kota-kota lain adalah kota yang masyarakatnya memiliki karakter dan budaya tersendiri. Ibukota akan mencerminkan kualitas karakter masyarakat suatu negara jika Ibukota benar-benar menjadi muara dari berbagai sungai, dari berbagai kota-kota lain dalam suatu negara. 

Penataan Ibukota harus berlandaskan pada budaya dan karakter masyaraktnya, tidak lantas menawarkan hal baru yang “memaksa” masyarakatnya untuk meninggalkan jati dirinya.

Akan tetapi, repotnya negara kita saat ini adalah karena kita berkiblat pada budaya dan konsep dari “barat”. Maka Ibukota yang menjadi pusat pengelolaan negara pun ditata dan dikelola berdasarkan konsep tersebut. Kapitalisme yang dicapai dengan “thariqot” hedonisme dan syari’atnya liberalisme. Warga kota benar-benar dididik untuk menjalani rutinitas yang diartikan dengan mencari uang dari pagi sampai sore, dari senin sampai dengan hari jum’at. Kemudian di hari sabtu dan minggunya warga kota dididik untuk pergi rekreasi, ke cafe, mall, ke luar kota, hingga ke klub-klub malam. Ketika suntuk dan rasa lelah mendatangi warga kota, warga kota dididik untuk menghilangkan suntuk dan lelah dengan memakai narkoba, minum alkohol, atau pergi ke pesta. Warga kota tidak dikenalkan pada konsep Gusti Allah mboten Sare (Gusti Allah tidak tidur), karena dalam pengelolaan kota yang modern tidak ada Tuhan di sana. Warga kota dididik untuk percaya bahwa kepentingannya adalah yang paling penting dan jika ada orang lain menghalanginya maka dia punya hak untuk melawannya. Warga kota haruslah punya nyali dan tidak mau mengalah, jika mereka mengalah maka konsekuensinya adalah kekalahan. Kalau sedang macet di jalan raya yang diharuskan bukanlah menepi mencari warung kopi, melainkan yang diharuskan adalah berteriak sambil menekan klakson sekeras-kerasnya dan sebanyak-banyaknya. Warga kota juga diarahkan untuk tidak percaya satu sama lain. Dalam otak mereka dibangun konsep untuk tidak percaya kepada orang yang tidak dikenal. Maka dari itu, di rumah-rumah mereka dibuat pagar-pagar yang tinggi, rapat, dan tombol bel. Budaya mereka bukanlah gotong royong dan kebersamaan, melainkan “Gue gue, elu elu!”. 

Tuhan pun nyaris tidak dikenali oleh warga kota. Karena dalam konsep kota modern, subjeknya bukanlah Tuhan, melainkan kekuatan modal. Orang-orang hanya boleh datang kepada Tuhan ketika punya keinginan dan kehilangan sesuatu. Mereka tak dipersilahkan untuk menyapa dan menjumpai Tuhan sebagai kekasih sejati mereka, melainkan sekadar sebagai pengabul do’a. 

Siapa yang besar modalnya dan kuat pengaruhnya dialah yang menjadi pemenang. Yang kalah adalah mereka yang tak punya uang dan kekuatan. Tetapi karena yang punya uang dan kekuatan tidak ingin kehilangan orang-orang yang kalah sebagai objek mereka, maka orang-orang yang kalah selalu dibesarkan hatinya dengan kata-kata “kemanusiaan” dan diarahkan untuk senantiasa menaikkan derajat sosial dengan gaya hidup yang up to date. Bahwa memakai sarung dan menonton wayang adalah ndeso, perilaku orang desa. Sedangkan perilaku warga kota adalah pakai jeans, kemeja mahal,menonton bioskop, atau pergi ke konser musik. 

Memang apa hebatnya warga kota? Bukankah kota adalah anak dari peradaban desa? Dan warga-warga kota yang bangga dengan karakter yang bukan dirinya itu, bukankah mereka juga berasal dari desa?

Di desa ada kebun, sawah, dan gunung-gunung, di kota yang ada hanya gedung-gedung. Di desa masyarakatnya saling sapa dan tersenyum, di kota orang-orangnya bermata sinis dan menghakimi. Di desa ada tembakau iris, di kota tak ada. Di desa ada Kawula lan Gusti, di kota hanya ada kemenangan diri sendiri. Di desa “tandure wus sumilir”, kota-kota modern tak punya itu. Bahkan “nyiur melambai di tepi pantai” pun kini terancam hilang.

Ibukota sebelum menjadi Ibukota pernah memiliki itu semua. Itu semua hilang karena Ibukota dibangun dengan konsep yang bukan berasal dari dirinya. dan Tugas Gubernur dan Wakil Gubenur baru Ibukota adalah mengembalikan Ibukota sebagai anak dari desa, bukan anak dari kapitalisme global. Ibukota harus menjadi rumah bagi para manusia, bukan menjadi laboratorium percobaan. Ibukota harus menjadi rumah “paseduluran”, tempat silaturahim anak-anak bangsa, bukan malah menjadi medan pertempuran anak-anak bangsa.

Karena Ibukota adalah desa bersama. Ibukota tak perlu berlari menjadi kota-kota di negeri lain, cukup dengan mengenali dirinya dan menjadi dirinya. Di mana setiap manusia memandang dengan keramahan dan bersikap lemah lembut serta penuh dengan keadaban. Dan setiap manusianya  tidak saling mengancam, melainkan saling mengamankan satu sama lain. Sebagaimana janjinya, bahwa menata kota adalah menata manusianya.

andri athoillah
andri athoillah
twitter @AndriAthoillah
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.