Dinamika politik kontemporer, seolah menciptakan benturan antara Pancasila sebagai narasi kebangsaan, dan Islam sebagai narasi agama. Bagi mereka yang menggunakan Pancasila sebagai alat politik, dalil persatuan dan kesatuan kencang didengungkan.
Mereka menilai bahwa dalam berpolitik, dalil agama seharusnya tidak digunakan. Hal itu guna menciptakan kehidupan politik yang sehat dan menghargai keberagaman.
Banyak fenomena di era kekinian yang lahir dan berkembang dari perdebatan seputar ide sekulerisme dan fundamentalisme Islam. Diskursus sebenarnya sudah terjadi sejak awal kemerdekaan.
Manifestasi dari keduanya terletak pada ide untuk membentuk negara Islam atau negara sekuler. Lahirnya Pancasila merupakan bagian dari upaya untuk meredam itu. Reaktualisasi Pancasila kemudian diperlukan sebagai solusi untuk mendamaikan diskursus ini.
Sebagaimana menurut Yudi Latief, Pancasila sebagai common denominator yang mengkristalkan nilai-nilai universal keagamaan untuk mewujudkan misi profetik dalam kehidupan publik. Pancasila harus diartikan sebagai bentuk kehadiran negara yang netral yang mampu melindungi ekspresi dan komunitas keagamaan.
Pancasila menghendaki agama dan politik tidak harus dipisahkan sejauh negara bersifat netral dan mampu melindungi setiap ekspresi pemeluk agama. Artinya, selama negara netral sebenarnya diskursus politik agama ataupun sekuler adalah hal lumrah. Menjadi genting, ketika negara tidak bisa tampil dengan wajah netral.
Sebab permasalahan yang sebenarnya adalah cara pandang terhadap modernisasi. Ketika alam modern ini membutuhkan segala perangkat untuk suburnya kemajuan, maka setiap yang menghambat kemajuan harus disingkirkan.
Kebangkitan Islam sebagain narasi politik sebenarnya terlalu jauh jika dihubungkan dengan keinginan untuk mengganti dasar negara. Kebangkitan Islam juga bukan merupakan penolakan massal atas modernisasi. Tetapi kebangkitan kembali Islam sebenarnya adalah kebangkitannya sebagai ideologi politik.
Kenyataannya adalah, pertarungan antara orang-orang yang menganut ide sekuler dan ide fundamentalisme agama, sebenarnya tak perlu direspon secara reaktif. Politik Indonesia itu cair, hal ini barangkali disebabkan oleh keabsenan ideologi yang mutlak pada suatu organisasi politik. Selain itu, pertarungan narasi keduanya bermain dalam tataran diskursus, hanya berkontraksi menjelang tahun politik saja, kemudian mencair kembali.
Baik fundamentalisme agama maupun sekulerisme sebenarnya menghadapi persoalan dalam dirinya sendiri. Pertama, mampukah Islam berikut juga narasi tentang ajarannya mengakomodasi nilai-nilai demokrasi seperti kebebasan, partisipasi kesejahteraan, keadilan, kemanusiaan, dan pluralisme, yang menjadi syarat dalam kehidupan demokrasi?. Kedua, apakah bisa politik sekulerisme mempertanggung jawabkan kondisi sosial dan politik, dengan mengabaikan sisi spiritualitas?