Jumat, Maret 29, 2024

Mendadak (Pura-Pura) Milenial

Addienpdn
Addienpdn
Mahasiswa S2 Politik dan Pemerintahan UGM. Addiennugraha@yahoo.com

Sejumlah 34,4 persen pemilih pada pemilu 2019 merupakan kelompok masyarakat berusia 17-34 tahun saat terdaftar sebagai pemilih atau yang lahir pada rentang tahun 1984-2001. Jika merujuk pada pengelompokkan generasi yang umum digunakan, masyarakat yang lahir pada rentang tahun 1980-an hingga 2000-an awal disebut sebagai generasi milenial.

Maka, jika pemilih pada pemilu 2019 dikelompokkan sesuai demografi generasi, 34,4 persen di antaranya adalah pemilih milenial. Memang dibanding jumlah pemilih generasi X, jumlah ini tak begitu besar. Namun bagi peserta pemilu, 34,4 persen ini terlampau seksi untuk diabaikan.

Masing-masing pasangan capres-cawapres dan caleg menyadari betul signifikasi suara milenial dalam pemilu kali ini. Bukti yang paling mudah dijumpai adalah adanya berbagai bentuk kampanye kreatif menggunakan slogan, visual, atau jingle sesuai tren yang mudah menarik perhatian anak muda.

Beberapa mengubah cara berpakaian menjadi semi-formal seperti memadukan pakaian formal dengan sepatu sneakers ala anak muda. Ada pula yang aktif berkampanye melalui kegiatan yang digandrungi anak muda seperti touring menaiki motor modifikasi atau main basket bersama. Bahkan tak sedikit juga yang terang-terangan mengklaim diri mewakili milenial dalam narasi kampanyenya. Singkatnya, para peserta pemilu 2019 ini mendadak milenial.

Pura-Pura Milenial

Padahal, mayoritas peserta pemilu 2019 bukanlah milenial. Data yang dirilis Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia menunjukkan 68 persen caleg yang mendaftar pada Pemilu 2019 berusia 36-59 tahun saat mendaftar.

21 persen lainnya berusia 21-35 tahun. Artinya, caleg yang benar milenial dalam pemilu 2019 hanya 21 persen. Malahan, 100 persen pasangan capres-cawapres bukanlah milenial karena tidak ada yang lahir sebelum 1984. Maka jadi tak mengejutkan ketika program-program yang dijanjikan para peserta pemilu ini hampir tak menyentuh masalah yang secara khusus dialami milenial.

Memang bisa jadi para peserta pemilu telah mempelajari karakteristik pemilih milenial sebagai bahan pertimbangan strategi kampanyenya. Namun sebagian besar peserta pemilu bukanlah milenial yang mengalami langsung masalah yang dihadapi milenial saat ini. Akibatnya program yang dijanjikannya juga tak menyentuh problem milenial yang sesungguhnya.

Hal ini bisa dipahami menggunakan teori generasi milik Karl Manheim. Menurutnya, pengelompokan masyarakat dalam berbagai generasi bukan sekadar atas dasar kesamaan rentang tahun kelahiran. Lebih dari itu, pengelompokan didasarkan atas kedekatan pengalaman sosial-historis masyarakat luas dalam satu waktu. Pengalaman ini kemudian mengkonstruksi pemikiran individu dipengaruhi oleh kesadaran sosial dan tingkat kematangan berpikirnya.

Kedua hal ini dipengaruhi oleh usia individu saat mendapat pengalaman. Dengan kata lain, usia mempengaruhi konstruksi pemikiran yang terbentuk dalam diri individu setelah mengalami suatu kejadian. Dari teori ini bisa dipahami bahwa, generasi non-milenial tak akan berkarakter sama dan tak akan bisa mengidentifikasikan dirinya dengan pemikiran generasi milenial. Maka ketika generasi non-milenial mengklaim diri bisa merepresentasikan milenial, besar kemungkinan bukan karena mereka paham masalah milenial.

Milenial Bukan Sekadar Komoditas Politik Elektoral

Dari fenomena perebutan suara milenial oleh non-milenial ini dapat dilihat bahwa milenial saat ini diperhatikan sebagai target suara saja. Pembahasan-pembahasan seputar milenial dan politik pun berputar-putar di momen elektoral.

Jika terus seperti ini, eksistensi milenial hanya direduksi sebagai komoditas politik yang direbutkan untuk memenuhi hasrat politik elektoral saja. Padahal milenial bukan hidup hanya untuk menjadi pemilih di musim elektoral lima tahunan, melainkan akan eksis selepas berakhirnya musim itu hingga menggantikan generasi terdahulunya di masa depan. Maka sudah sepantasnya generasi milenial mulai dibayangkan sebagai pelaku politik aktif yang menggantikan generasi terdahulunya.

Berbagai karakter yang terkenal melekat pada milenial harus mulai dipahami di luar tujuan pembuatan strategi pendulang suara. Misal karakter apolitis yang sering dilekatkan pada milenial, harus dipelajari untuk menciptakan lingkungan nyaman bagi milenial agar mau peduli terhadap sistem politik.

Lagipula menurut Karl Manheim, karakter suatu generasi juga dipengaruhi oleh hasil belajarnya atas perilaku generasi terdahulunya. Jadi, jika ada yang menganggap milenial berkarakter buruk, tentu anda tahu siapa yang harus bertanggung jawab telah membentuk karakter ini bukan?

Addienpdn
Addienpdn
Mahasiswa S2 Politik dan Pemerintahan UGM. Addiennugraha@yahoo.com
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.