Jujur saja, ada kebanggaan dalam hati melihat perkembangan kecerdasan manusia Indonesia. Belakangan, kebanyakan manusia Indonesia terlampau cerdas, yang imbasnya adalah tanggap dalam menanggapi segala isu yang beredar.
Apapun isu atau persoalan yang tengah dihadapi, selalu ada tanggapan yang keluar dari kebanyakan manusia Indonesia yang terlampau cerdas itu. Mari kita berkelana sejenak.
Heboh puisi Sukmawati yang masih hangat-hangat tai ayam. Sudah lebih dari sepekan ini masih menjadi perbincangan manusia Indonesia yang cerdas. Berseliweran tanggapan, kritik dan analisis di dinding media sosial.
Tiba-tiba banyak manusia Indonesia menjadi kritikus sastra. Tiba-tiba dapat memahami dan menganalisis estetika puisi yang mengalahkan pelaku dan intelektual sastra yang harus berjuang mungkin bisa delapan hingga sepuluh tahun demi menyandang gelar kritikus sastra atau sastrawan.
Belum tuntas, disusul dengan polemik puisi Gus Mus yang dibacakan oleh Ganjar Pranowo. Serupa dengan Sukmawati, hanya saja Ganjar Pranowo lebih beruntung karena puisi itu karya Gus Mus. Sehingga penistaan atau tidak itu tergantung siapa yang membuat dan siapa yang membaca, bukan murni persoalan Agama. Begitulah perilaku kebanyakan manusia Indonesia yang terlampau cerdas dalam menanggapi suatu persoalan.
Bayangkan saja, untuk menjadi intelektual, kritikus atau sastrawan, setidak-tidaknya dibutuhkan waktu untuk sekolah. Strata satu setidaknya harus diselesaikan dalam waktu empat tahun.
Kemudian lanjut strata dua yang kurang lebih diselesaikan dalam waktu dua tahun. Kalau beruntung bisa lanjut ke strata tiga yang diselesaikan dalam waktu dua atau tiga tahun. Seminimal mungkin, atau separah-parahnya, setelah menyelesaikan studi itu, mendapat gelar doktoral atau intelektual di bidang sastra. Itu pun kalau tidak bosan di tengah jalan dalam mengambil studi Sastra.
Kalau dirasa cara untuk menjadi intelektual terlalu sulit, mari coba cara yang lain. Menjadi sastrawan dengan menghasilkan karya sastra. Setidak-tidaknya, harus mempunyai beberapa karya, bisa berupa cerpen, novel, puisi atau karya sastra yang lain. Seminimal mungkin harus produktif menulis dan menyebar jaring ke berbagai media masa.
Mengirimkan tulisan ke media masa yang saingannya luar biasa banyak. Bisa saja mengirim tulisan hingga dua puluh kali bakal ditolak jika kualitas karya sastranya dirasa kurang layak muat.
Dan itu tidaklah mudah. Bisa saja Anda bosan ditengah jalan untuk menulis karena tidak tahan mengalami penolakan demi penolakan oleh media masa. Sebab, ditolak itu rasanya menyakitkan.
Demikian gambaran sederhananya untuk Anda bisa menjadi seorang intelektual, kritikus atau sastrawan. Butuh waktu, tenaga dan bahkan uang yang cukup banyak. Baru berpikir untuk satu bidang saja, bisa jadi Anda malas memikirkan hal lain.
Sebab, harus fokus dan tekun untuk mencapai keberhasilan. Tetapi, lagi-lagi saya mengatakan bahwa kebanyakan manusia Indonesia terlampau cerdas, dapat berpikir di segala bidang dengan cepat. Mari kita menelusur lebih jauh ke belakang.
Masih ingat dengan kasus Setya Novanto menabrak tiang listrik? Kala itu, manusia Indonesia dengan cepat menjadi ahli otomotif. Mampu menganalisis kondisi mobil, kualitas mobil dan memprediksi atau menduga kronologi kecelakaan yang dapat mencederai kepala Setya Novanto.
Muncul berbagai analisis mengenai kualitas mobil, kecepatan mobil saat kecelakaan dan gaya menyetir. Dalam waktu bersamaan, ketika beredar foto Setya Novanto saat dirawat di rumah sakit, kembali manusia Indonesia dengan cepat menjadi ahli di bidang kedokteran.
Bermunculan tanggapan atas peralatan medis yang digunakan oleh Setya Novanto, perkiraan luka dan segala hal dalam dunia kedokteran bisa dengan cepat dianalisis. Tidak perlu saya jelaskan bagaimana untuk bisa menjadi seorang ahli medis atau dokter yang harus sekolah bertahun-tahun dengan berbagai ujian praktek dan teori, tetapi semua itu tidak perlu dilalui oleh kebanyakan manusia Indonesia yang terlampau cerdas.
Paling luar biasa heboh adalah kasus dugaan penistaan agama yang dilakukan oleh Ahok, yang saat ini statusnya sudah menjadi terdakwa dan dijatuhi hukuman penjara. Ketika itu Ahok mengeluarkan pernyataan yang kontroversi terkait Surat Al-Maidah 51. Dalam waktu sekejab, muncul banyak ahli agama di Indonesia, baik dari kubu yang pro maupun kubu yang kontra. Tiba-tiba berseliweran di media sosial analisis-analisis mengenai Surat Al-Maidah 51. Semua menjadi ahli agama dengan kilat.
Satu lagi contoh yang akan saya berikan. Contoh kasus yang menurut saya paling lucu, yaitu isu telur palsu. Dalam waktu sekejab sebuah video viral di media. Seorang yang bernama Syahroni, mendadak menjadi ahli di bidang telur.
Dalam video, Syahroni dikerumuni banyak orang yang kemudian memberikan penjelasan bahwa telah beredar telur palsu. Kala itu lokasi yang menjadi sorotan yaitu di Pasar Johar Baru, Jakarta Pusat. Dengan penuh percaya diri, Syahroni memecah telur dan menjelaskan bahwa telur yang di jual di Pasar Johar Baru adalah telur palsu.
Ia memberikan penjelasan mulai dari cangkang telur, membran telur, putih telur dan kuning telur itu palsu yang dibuat dengan bahan kimia. Saat video itu viral dan ada klarifikasi dari banyak ahli dan pemerintah yang mengampu bidang itu, akhirnya Syahroni meminta maaf di hapadan publik bahwa analisisnya keliru tanpa bekal pengetahuan yang mumpuni mengenai telur.
Sudah cukup, tidak perlu ditambah contoh-contoh yang lain. Peristiwa-peristiwa semacam itu memiliki siklus seperti ini. Mendadak muncul ahli di bidang tertentu memberikan pernyataan atau sedikit analisis mengenai suatu isu yang kemudian viral di media sosial.
Lantas, menyusul ahli-ahli yang lain baik yang pro maupun kontra yang memberikan analisis. Keduanya, baik yang pro maupun kontra sebenarnya tanpa bekal kecerdasan yang mumpuni justru memperkeruh keadaan.
Akhirnya, hadirlah ahli yang sesungguhnya untuk memberikan penjelasan, klarifikasi atau sejenisnya. Beruntung isu tersebut mereda, yang kurang beruntung akan berbuntut panjang menyerempet isu-isu lain bahkan terjadi demonstrasi berjilid-jilid, perang isu, gambar dan lain sebagainya di media sosial yang membingungkan banyak orang. Banyak yang menjadi korban dan menciptakan kondisi gaduh di Indonesia.
Saya sangat berharap, hentikan kebodohan-kebodohan ini. Manusia Indonesia harus lebih bijaksana dalam menyikapi isu yang beredar, sebab kita bukanlah bangsa yang remeh temeh, tetapi bangsa besar yang memiliki Sumber Daya Manusia yang mumpuni, Sumber Daya Alam yang melimpah, Luas wilayah yang besar.
Jangan mengotori bangsa Indonesia dengan ketidaktahuan, tetapi berusahalan untuk belajar atau bertanya pada seorang yang ahli sehingga akan mendapatkan jawaban yang tepat. Jangan sembarang membagikan sebuah isu di media sosial yang belum jelas kebenarannya.
Dan sekali lagi saya katakan, mari bersama menjadi manusia Indonesia yang bijaksana dan menjadi cerdas yang hakiki, jangan menjadi ahli dadakan di segala bidang yang justru akan memperlihatkan kebodohan Anda.