Senin, April 29, 2024

Mencermati Capres Pilihan PDI-P

Zennis Helen
Zennis Helen
Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Ekasakti Padang, Advokat di Rumah Bantuan Hukum Padang dan Mahasiswa Doktoral Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung Semarang.

Sejak tulisan ini dibuat, pemilu legislatif dan presiden/wakil presiden serentak 2024 masih dua tahun lagi. Namun, partai politik nampaknya sudah mulai berhitung-hitung mengenai parameter calon presiden (capres) yang akan diusung pada pilpres 2024 mendatang. Parpol yang telah menetapkan tolok ukur capres pilihannya adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P).

Tolok ukur capres pilihan PDI-P, disampaikan Sekretaris Jenderal DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Hasto Kristiyanto dalam acara puncak peringatan Hari Ulang Tahun Ke-49 PDI-P, Senin (10/1/2022). Ia menyebutkan, calon presiden yang akan diusung pada pemilihan presiden 2024 harus memeliki visi-misi sesuai dengan pemerintahan Presiden Joko Widodo saat ini. Hal ini bertujuan agar ada kesinambungan pemerintahan (Kompas, 11/1/2022).

Tolok ukur yang dipakai partai berlambang banteng moncong putih ini, penting dicermati. Setidaknya, ada dua pertanyaan yang hendak diajukan. Pertama, mengapa PDI-P menggunakan tolok ukur tersebut? Kedua, apa risikonya bila capres yang diusung PDI-P tak keluar sebagai pemenang dalam pilpres 2024 mendatang?

Parpol pemenang Pilpres 2019 

Sebagai parpol pemenang pilpres 2019 lalu, dan telah berhasil mengantarkan Joko Widodo dua periode menjadi Presiden di Republik ini. PDI-P menjadi satu-satunya partai yang bisa mengusung capres sendiri, tanpa berkoalisi. Dengan kondisi demikian, tidak sulitnya sesungguhnya bagi partai yang baru saja berulang tahun ke-49 tersebut untuk memilih capres yang akan diusung dalam pilpres mendatang.

Tak hanya itu, PDI-P pun memeliki magnet elektoral yang kuat. Siapa pun capres yang akan maju pada pemilu 2024 mendatang, pasti ingin PDI-P sebagai perahunya. Sehingga pantas, parpol yang diketuai Megawati Soekarnoputri ini “jual mahal” dan memeliki kriteria yang sangat ketat untuk dicalonkan dalam pilpres 2024. Lalu, mengapa tolok ukur capres yang diusung harus se-visi dengan Presiden Joko Widodo?

Dalam pandangan penulis, itu disebabkan. Pertama, Joko Widodo yang sudah 10 tahun (dua periode) menjadi Presiden R.I tidak dapat lagi maju pada periode ketiga, kecuali Pasal 7 UUD NRI Tahun 1945 dilakukan perubahan. Pasal 7 UUD 1945 menyebutkan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan. Presiden Joko Widodo akan mengakhiri kekuasaannya sebagai Presiden pada 20 Oktober 2024 mendatang, Pasca itu, ia kembali menjadi rakyat biasa atau sebagai mantan Presiden.

Kedua, secara sederhananya apabila masa jabatan Presiden Joko Widodo berakhir pada 20 Oktober 2024 mendatang, Maka berakhir pulalah kekuasaan partai berlambang kepala banteng moncong putih itu dalam gelanggang politik nasional. Karena Presiden Joko Widodo diusung oleh  PDI-P. Partai inilah yang telah berjasa mengantarkannya menuju panggung kekuasaan Presiden selama dua periode, terhitung sejak 2014-2019 hingga 2019-2024.

Jika bukan kader PDI-P yang memimpin Republik ini maka ia tentu tidak dapat melaksanakan agenda-agenda kepartaian mereka dalam menciptakan kesejahteraan masyarakat dan pembuatan kebijakan di negeri ini. PDI-P kemudian akan menjadi partai pengekor dan tak lagi menjadi penentu pembentukan regulasi di negara ini.

Ketiga, PDI-P tentu tidak mau kehilangan kekuasaan. Joko Widodo memang tidak bisa lagi maju untuk periode ketiga. Karena  mendapat hambatan konstitusional dari Konstitusi. Akan tetapi, kader PDI-P atau capres yang akan dicalonkan PDI-P, jumlahnya banyak. Bahkan, sebanyak itu kader PDI-P, dan sebanyak itulah capres yang ingin PDI-P menjadi kendaraan politiknya untuk maju menjadi capres 2024.

Dalam konteks inilah, tidak mudah mendapatkan tiket dari PDI-P untuk maju menjadi capres. Dalam perihal ini pulalah, PDI-P menetapkan syarat capres pilihannya harus mempunyai program yang relevan dan selaras dengan program Joko Widodo yang telah dilakukannya selama 10 tahun. Sehingga saran dan pertimbangan dari Presiden Joko Widodo tentang siapa yang akan dicalonkan untuk menjadi capres dari PDI-P sangat penting. Presiden Jokowi tentu sangat paham dan tahu seperti apa tantangan Indonesia setelah 2024 mendatang. Presiden Jokowi pasti tahu, siapa orang yang cocok untuk menghadapi tantangan itu.

Tentu saja yang sejalan dan sevisi dengan Presiden Joko Widodo. Masukannya itu sangat bermakna demi kelanjutan kekuasaan PDI-P pada periode 2024-2029 mendatang. Namun, yang perlu diingat dalam PDI-P berlaku sebuah fatsoen politik. Siapa pun yang akan dicalonkan menjadi capres sangat tergantung pada restu Ketua Umum Megawati Soekarnoputri. Megawati sangat ketat sekali tentang hal ini, apabila ada kader yang mendahuluinya, pasti akan mendapatkan sanksi dari partai.

Risiko bagi PDI-P

Sudah menjadi tabiat kekuasaan. Ia selalu dipertahankan dan jika dihambat oleh ketentuan Konstitusi maka hukum dasar itu dirubah untuk memenuhi hasrat berkuasa itu. Ini telah diwacanakan sejak jauh hari. Bahkan ada pernyataan pemilu 2024 ditunda hingga 2027 mendatang. Jika tidak berhasil mengubah konstitusi, maka parpol akan mencari kader untuk diusung menjadi capres dan bersedia mengikuti program yang telah dirancang oleh pendahulunya.

Di samping PDI-P meletakkan sejumlah syarat untuk menjadi capres melalui partainya. Rakyat melihatnya ada kekhawatiran dari PDI-P. Jika bukan lagi kadernya yang menjadi Presiden 2024-2029 mendatang. Siapa yang akan menjamin program Jokowi dilanjutkan, terutama program pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) yang saat ini sedang disusun RUU-nya oleh pemerintah dan DPR. Program IKN inilah yang akan menjadi legacy Jokowi. Pembangunannya dipastikan tidak akan selesai hingga umur pemerintahannya berakhir 20 Oktober mendatang.

Sebab, sudah menjadi tabiat penguasa di Republik ini, Presiden yang menggantikan enggan melanjutkan program pendahulunya. Kita tidak mau pembangunan infrastruktur pembangunan IKN menjadi monumen seperti Hambalang. Inilah yang dicemaskan PDI-P. Kita sebagai rakyat berharap tidak terjadi hal demikian. Yang penting bagi rakyat, siapa pun yang terpilih nanti menjadi Presiden menghargai pendahulunya. Semoga.

 

Zennis Helen
Zennis Helen
Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Ekasakti Padang, Advokat di Rumah Bantuan Hukum Padang dan Mahasiswa Doktoral Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung Semarang.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.