Minggu, Oktober 13, 2024

Mencegah Korupsi Bencana

Helmi Chandra SY
Helmi Chandra SY
Dosen Fakultas Hukum Universitas Bung Hatta, Padang / Peneliti Pusat Kajian Bung Hatta Anti Korupsi (BHAKTI)

Saat ini pemberitaan dalam ruang publik sedang didominasi oleh berita mengenai wabah penyakit virus Corona. World Health Organization (WHO) secara resmi menamai virus Corona yang pertama kali diidentifikasi di Cina pada 31 Desember 2019 itu dengan nama Covid-19 yaitu singkatan dari corona virus disease.

Virus ini termasuk penyakit menular yang kemudian menjadi wabah hampir seluruh negara-negara di dunia tidak terkecuali Indonesia. Setidaknya hingga 31 Maret 2020, jumlah kasus Covid-19 di Indonesia telah mencapai 1414 kasus dengan rincian 1217 orang pasien dalam perawatan, 75 orang pasien sembuh dan 122 orang pasien meninggal dunia (www.covid19.go.id). Kondisi ini membuat Indonesia mengalokasikan banyak dana untuk mengatasi penyebaran virus tersebut.

Pemerintah melalui Menteri Keuangan Sri Mulyani meminta kementerian, lembaga serta pemerintah daerah melakukan perubahan alokasi anggaran untuk menangani Covid-19. Jika ditotal maka anggraan yang digelontorkan mencapai Rp.27 triliun (tirto.id).

Sementara itu di daerah pemerintah meminta para kepala daerah menghentikan seluruh proses pengadaan barang dan jasa, pada Dana Alokasi Khusus (DAK) Fisik tahun 2020. Keputusan tersebut diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Nomor 6/KM.7/2020 tentang Penyaluran Dana Alokasi Khusus Bidang Kesehatan dan Dana Bantuan Operasional Kesehatan Dalam Rangka Pencegahan dan/atau Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19).

Melalui KMK tersebut, alokasi DAK Fisik Bidang Kesehatan ditetapkan sebesar Rp 20,78 triliun pada APBN 2020. Jumlah tersebut merupakan 28,7% dari total DAK Fisik 2020, yang sebesar Rp 72,25 triliun.

Bahkan pemerintah, DPR dan KPU sepakat untuk menunda penyelenggaraan pilkada serentak 2020 dan menggunakan dana pilkada tersebut untuk menanggulangi wabah penyakit ini, dimana KPU menganggarkan total sekitar Rp10 triliun untuk Pilkada Serentak 2020 lewat Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD).

Besarnya anggaran yang disiapkan untuk bencana Covid-19 perlu mendapat perhatian serius. Salah satu aspek penting yang harus dicegah dalam pengelolaan dana bencana yaitu munculnya tindak pidana korupsi penyalahgunaan dana bencana.

Dalam situasi bencana dengan banyaknya alokasi dana dan bantuan tak lepas dari indikasi-indikasi penyimpangan yang terjadi berlandaskan kedaruratan dengan berbagai macam cara, mulai dari penggelembungan data administrsai korban bencana, pemotongan dana bantuan oleh oknum tertentu, kompensasi atas jasa pengamanan, proyek fiktif hingga wanprestasi kontraktor atas berbagai macam pekerjaan untuk membangun infrastruktur.

Vonis Belum Maksimal

Beberapa kasus korupsi yang terkait bencana di Indonesia sudah berulang kali terjadi antara lain pertama, korupsi dana bantuan bencana tsunami Nias, Sumatera Utara tahun 2011. Korupsi merugikan negara sebesar Rp 3,7 miliar dari Rp 9,4 miliar yang dikucurkan untuk kepentingan penanggulangan bencana alam tersebut.

Pelaku dalam kasus ini adalah eks Bupati Nias, Binahati Benedictus Baeha dan anggota DPRD Kabupaten Nias. Kedua, kasus pungli bencana gempa bumi di Kota Mataram tahun 2019. Kasus pemerasan ini bersumber dari dana proyek senilai Rp 4,2 miliar yang dianggarkan di APBD Perubahan tahun 2018.

Dana itu untuk perbaikan 14 unit gedung SD dan SMP terdampak bencana yang dilakukan oleh mantan Anggota DPRD Mataram. Ketiga, korupsi proyek penyediaan air minum di Donggala, Palu, Sulawesi Tengah bencana saat tsunami tahun 2018. Kasus ini terungkap oleh KPK yang menggelar OTT terhadap delapan pejabat PUPR.

Total suap yang diduga para pejabat Kementerian PUPR itu ialah Rp 5,3 miliar, USD 5 ribu dan SGD 22.100. Keempat, korupsi rehabilitasi masjid akibat bencana gempa bumi di NTB tahun 2019. Kasus korupsi ini berasal dari dana bantuan sejumlah 6 miliar yang bersumber dari APBN. Yang dilakukan oleh ASN dari Kantor Wilayah (Kanwil) Kementerian Agama (Kemenag) NTB.

Namun belum pernah ada putusan perkara tindak pidana korupsi terkait pelaku korupsi penyalahgunaan dana bencana yang diadili dan diputus sebagai tindak pidana korupsi dalam keadaan tertentu (sebagai pemberatan).

Seperti pelaku korupsi dana bantuan bencana tsunami Nias yang hanya dituntut 8 tahun penjara. Namun, ketika kasusnya sudah masuk ke tingkat kasasi di MA, hukuman penjara Binahati menjadi 5 tahun penjara denda Rp 200 juta subsider 4 bulan kurungan. Pelaku kasus pungli bencana gempa bumi di Kota Mataram yang divonis 2 tahun penjara dan denda Rp 50 juta. 

Pelaku korupsi proyek penyediaan air minum di Donggala yang divonis rata-rata 5 tahun penjara dan pelaku korupsi rehabilitasi masjid akibat bencana gempa bumi di NTB yang divonis selama 4 tahun penjara. Ini tentu dapat dipahami kareana pemberlakuan pemberatan terhadap tindak pidana korupsi terkait bencana alam tersebut baru dapat diaplikasikan apabila perbuatan tersebut dilakukan pada waktu terjadi bencana alam nasional.

Padahal dalam UU tindak pidana korupsi dan UU KPK hukuman maksimal untuk korupsi saat bencana diatur sangat keras bahkan hingga hukuman mati.

Dalam UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, hukuman mati untuk korupsi bencana alam itu ada dalam Pasal 2 Ayat (1) yang menyatakan bahwa setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar. Kemudian dalam Ayat (2) dijelaskan bahwa dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.

Keadaan tertentu yang dimaksud sebagaimana ditulis dalam bagian penjelasannya UU adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi.

Terjadinya korupsi saat bencana tentu tidak terlepas dari adanya faktor kesempatan serta faktor mental hingga budaya. Jika kesempatan terbuka luas dan budaya tidak mencegah niat untuk korupsi maka korupsi akan mewabah laksana bencana itu sendiri sehingga pengawasan melekat dalam pencegahan korupsi saat bencana sudah seharusnya dilakukan.

Maka perlu kiranya perhatian dan pengawasan ditingkatkan agar korupsi dalam bencana Covid-19 tidak terjadi seperti bencana-bencana sebelumnya karena wabah penyakit ini sudah dikategorikan oleh pemerintah sebagai bencana nasional. Artinya, bagi pelaku korupsi dana bencana saat ini bisa dijatuhi hukuman maksimal hingga hukuman mati.

Helmi Chandra SY
Helmi Chandra SY
Dosen Fakultas Hukum Universitas Bung Hatta, Padang / Peneliti Pusat Kajian Bung Hatta Anti Korupsi (BHAKTI)
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.