Mari kita semua, yang tidak ikut mengurusi masalah konflik kekinian berpikir tentang hal lain. Hal lain itu ialah mencari suksesor Buya Ahmad Syafi’i Ma’arif. Buya sekarang sudah berumur 80 tahun lebih, sudah sepuh dan sudah waktunya untuk istirahat sambil minum teh di teras rumah. Buya juga sudah tidak perlu lagi kesana-kemari, mengurusi hal-hal yang sifatnya teknis karena secara fisik walau mampu namun tenaga yang dikeluarkan sudah tidak maksimal. Cukuplah buya memberikan nasehat, pandangan dan petuah-petuah kepada generasi baru nan muda, biarkan mereka yang berkreasi dan mengembangkan nasehat dan petuah itu.
*****
Sebelum munculnya Buya Syafi’i sebagai tokoh bapak bangsa, terlebih dahulu ada alm. Nurcholish Madjid dari HMI. Dengan ide sekularisnya, dia termasuk orang yang banyak disorot oleh media, lebih-lebih majalah Tempo. Majalah tersebut bahkan memberikan julukan ‘Lokomotif Pembaharuan’, karena pada waktu kecil cak Nur-begitu biasa disapa- bercita-cita menjadi seorang masinis dan tanpa disangka idenya memberikan warna baru dunia islam.
Setelah Nurcholish Madjid mangkat di tahun 2005, KH. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur mengisi kekosongan peran yang menjadi model pengayom selanjutnya. Walau sempat menjadi presiden setahun dua bula, pesona Gus Dur tak langsung hilang saat diturunkan paksa oleh MPR. Sebuah situasi yang menurutnya tidak konstitusional, membuat kita belajar siapapun yang tidak cocok dengan mayoritas ya diturunkan. Artinya, bukan kinerja dengan integritas yang dinilai, melainkan deal to deal satu dengan yang lain.
Pada 2012 Gus Dur mangkat, sontak masyarakat Indonesia kehilangan bapak Pluralisme, memayungi seluruh kultural di Indonesia. Jika Nurcholis Madjid gencar dengan modernisasi, Gus Dur berada di Pribumisasi lantas siapa yang melanjutkan estafet mengisi peran pengayom bangsa selanjutnya? Barangkali disini, sudah saatnya peran buya Syafi’i Ma’arif untuk mengisi panggung dengan tema “Pengayom Bangsa”.
Kita tahu banyak tokoh Muhammadiyah yang disorot media, namun belum terlihat mana peran yang diinginkan masyarakat secara mayoritas maupun minoritas. Sebuah momentum “Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) ‘ksleo lidah’” memperlihatkannya, pak Amien Rais dan KH. Din Syamsudin berada disisi seberang Buya. Manakala, diudang untuk menjadi pembicara untuk diskusi di salah satu TV Swasta, yang datang hanya buya Syafi’i. Dia membela Ahok, sama seperti ketika Gus Dur membela Inul Daratista karena “ngebornya”.
*****
Anda harus tahu bahwa Cak Nur, bersama dengan Buya Syafi’i dan pak Amien Rais merupakan trio alumni dari Universitas Chicago. Gus Dur dalam tulisannya di tempo tahun 1993 menyebut mereka sebagai “Tiga Pendekar dari Chicago”. Disamping itu, dijelaskan oleh gus Dur karakter mereka bertiga terbilang berbeda, cak Nur yang haus akan modernisasi menyerap berbagai ilmu dari sana-sini, pak Amien yang kekeuh dengan islamnya dan Buya Syafi’i merupakan representasi dua-duanya. Di lain dimensi, cak Nur berkiprah di HMI dan pak Amien serta buya Syafi’i berkiprah di Muhammadiyah. Ketiganya sudah mewujudkan nilai-nilai yang menjadi cita-citanya, cak Nur dengan modernisasinya, pak Amien dengan politiknya dan buya Syafi’i dengan semangat sejarah tentang pluralisnya.
Nah, walau ketiganya sama-sama lulusan dari Universitas Chicago tak lantas satu sama lain saling berkaitan. Dua diantara mereka berkembang ke arah pluralitas dan mempunyai sifat mengayomi diantara perbedaan. Nurcholish Madjid dan Ahmad Syafi’i Ma’arif tidak pernah sekalipun, walau mengkritik, kedua tokoh tersebut terlihat tidak kaku dalam menyampaikan pendapatnya. Tidak menimbulkan kesan benci kepada seseorang yang mengkritik mereka.
Berbeda dengan pak Amien Rais, aktivitasnya terekam dan tersimpan di berbagai media. Tatkala saat di Jakarta, dengan lantang dan ganas meneriakkan presiden Soeharto untuk turun, tindakannya seperti tidak takut akan kemarahan sang ‘raja’. Sikap keras dan garang seperti ini membuatnya menjadi tokoh yang dibenci oleh penguasa Orde Baru. Ketika banyak tokoh islam yang diundang ke istana merdeka, hanya pak Amien yang tidak. Nurcholish sebenarnya mengusulkan nama Amien Rais untuk diundang, tetapi Soeharto keberatan “Ah, nanti dulu, deh,” ujarnya (Gaus, Ahmad AF dalam Api Islam Nurcholish Madjid, 2010: 276). Cukup jelas arti penolakan pak Harto, padahal waktu itu pak Amien termasuk tokoh dan ketua PP Muhammadiyah.
Sikap yang kaku, garang dan keras ini diperlihatkannya juga saat ditetapkan menjadi tersangka oleh KPK. Pak Amien bersikap seperti ingin membalas untuk menggebuk KPK, sebuah bentuk perlawanan. Padahal, dalam situasi yang sama seperti ini, ketika alm. KH. Abdurrahman Wahid saat menjadi presiden disangkakan atas kasus Bullogate dan Bruneigate, sikapnya cenderung tidak melawan juga tidak mengelak. Toh, kasus tersebut yang dituduhkan kepadanya juga tidak terbukti. Menguap begitu saja.
*****
Kembali lagi, siapa yang pantas menjadi suksesor buya Syafi’i Ma’arif sebagai tokoh guru bangsa pengayom kebangsaan? Dengan penilaian subjektif, yang didasarkan pada karakter seperti “Tiang yang Tahan Badai”, penulis mengusulkan nama Emha Ainun Najib (cak Nun). Dikalangan masyarakat umum dia sudah terkenal, penuh humor yang berisi dan pandai untuk bersilat lidah. Wawasan intelektualnya juga luas dan tak perlu diragukan lagi kedalaman ilmu agamanya. Karena didalam diri cak Nun ada 30% cak Nur, gus Dur, buya Syafi’i. Sedangkan sisanya, 10% ada dirinya sendiri.