Rasa-rasanya segala persoalan tragedi kemanusian, kericuhan dan keributan yang menjumputi Bangsa Indonesia belakangan ini, seharusnya menjadi tanggung jawab kita semua sebagai penyebab paling bias dari kejadian-kejadian itu.
Mulai dari konflik horizontal di tanah Papua, kisruh dan kerusuhan yang mengikuti berbagai aksi tuntutan, meningkatnya aksi kriminal, perdebatan mengenai kebenaran yang seolah tiada habisnya di sosial media, serta persoalan lain yang belakangan mengikuti perjalanan bangsa ini.
Bangsa ini nyatanya sedang lupa diri, terhanyut oleh tawaran kebebasan dalam spektrum yang menyajikan bilik-bilik surga untuk saling menggunjing. Meski serupa surga, tiada kedamaian ditemukan di sana, yang ada hanyalah kebisingan, bising yang seringkali tanpa makna.
Jika boleh mengutip perkataan dari Bunda Teresa, seorang yang selalu menggaungkan perdamaian antar manusia, “If we have no peace, it is because we have forgotten that we belong to each other (Jika kita tidak memiliki kedamaian, itu karena kita sudah lupa bahwa kita saling memiliki satu sama lain).”
Hilangnya perasaan saling memiliki itulah yang menjadi satu dari sekian banyak akar masalah penyebab munculnya disintegrasi Indonesia dalam bingkai kebangsaan. Rasa saling memiliki atau bisa kita sebut dengan istilah empati, seolah menjadi barang yang langka di Indonesia dewasa ini.
Pada akhirnya, alih-alih berempati atau menggunakan pendekatan intuitif yang lebih persuasif, masyarakat secara komunal lebih memilih berkonfrontasi langsung dengan kelompok masyarakat lain apabila tidak sesuai dengan nilai-nilai yang diyakininya.
Lalu bagaimana dengan kondisi masyarakat pada spektrum yang lebih kecil, individu misalnya? Tak jauh berbeda, kondisi individu-individu masyarakat Indonesia semakin terdegradasi secara moral, sikap dan perilaku.
Saya agaknya tersentak ketika mendengar berita ada siswa atau pelajar yang membully gurunya secara verbal beberapa waktu silam. Atau berita mengenai ayah kandung yang tega menghancurkan masa depan anak gadisnya. Dan masih banyak pemberitaan negatif lain yang menggambarkan betapa bobroknya kondisi moral masyarakat Indonesia secara individu.
Senjangnya Moralitas dan Kesadaran Kolektif
Mengapa persoalan sosial kemasyarakatan di Indonesia seperti yang digambarkan sebelumnya dapat terjadi begitu meruncing? Untuk menjawab ini, saya akan merujuk pada pernyataan Emile Durkheim, sosiolog asal Prancis di era 1858-1917.
Pernyataan itu berangkat dari kesadaran bahwa masyarakat pada hakikatnya bukan merupakan kumpulan dari penjumlahan individu, tetapi sebuah sistem yang terbentuk atas dasar relasi antar individu dan berkorelasi positif dengan karakteristik mereka (Emile Durkheim pada Calhoun, 2012).
Dari pengertian itu, Durkheim mencoba menihilkan unsur kuantitatif suatu kelompok sehingga dapat disebut sebagai masyarakat. Ia justru menekankan bahwa pertimbangan kualitatif melalui ide tentang kesadaran kolektif (collective conscience) atau kebiasaan kolektif (collective habits) yang diekspresikan dalam bentuk tertentu, seperti aturan hukum dan aturan moral, atau pernyataan popular. (Emile Durkheim pada Joseph, Jonathan. 2005).
Kesadaran kolektif ini kemudian dapat menjelma menjadi sebuah spirit seperti solidaritas sosial. Penjelmaan itu merupakan pengejawantahan dari konsepsi awal mengenai pandangan entitas manusia terhadap diri sendiri, orang lain dan relasi yang lebih luas terhadap dunia. Durkheim juga menitikberatkan bahwa kesadaran sosial harus berangkat dari kemurnian hati nurani (conscience) dan kesadaran (consciousness).
Dengan adanya kesadaran kolektif di masyarakat, moralitas kita menjadi universal (Durkheim pada Joseph, 2005). Essensi universal merujuk pada nilai yang berlaku serta dapat diterima berbagai golongan, dengan atau tanpa kesepakatan, tetapi mereka (sebagai masyarakat) menyadari ada landasan yang harus dipatuhi bersama sebagai perangkat atau tata kehidupan sosial.
Empati adalah salah satu bagian dari kesadaran kolektif yang telah lama berkembang sebagai nilai positif dari kehidupan sosial Bangsa Indonesia. Rasanya baru kemarin kita bersama-sama menjenguk tetangga yang sedang sakit, baru kemarin pula sepertinya kita bisa leluasa memberikan ucapan selamat hari raya keagamaan pada mereka yang berbeda keyakinan, saya pikir baru kemarin juga kita saling bertukar makanan dengan tetangga yang berbeda suku, berbeda warna kulit, bentuk mata, alis, telinga sampai kuku jempol.
Lalu hari ini kita menafikkan semua itu. Menafikkan bahwa kita semua adalah satu jiwa dalam bingkai kebangsaan, bukan keterpaksaan atau kerelaan yang didasarkan pada ancaman, apalagi sekedar pertaruhan atas keinginan merengkuh kesejahteraan. Lantas apa yang menyebabkan semakin banyak individu dan kelompok kehilangan empatinya sebagai kesadaran berada bersama dalam satu bangsa? Modernisasi kah?
Kita tidak bisa menyangkal bahwa kehidupan era globalisasi nan modern seperti sekarang telah sukses menginfiltrasi sistem kehidupan manusia Indonesia menjadi lebih kapitalis dan individualistis. Akibatnya ego sentrisme berkembang pada dua jalur masyarakat. Pertama, mereka berada di jalur kanan, mereka adalah bagian yang menerima modernisasi sebagai sebuah keniscayaan.
Atau mereka yang berada di kiri, sebagai bagian yang menolak modernisasi dan mencari pelarian pada nilai kritis kehidupan, seperti kultus ideologi tertentu. Jalur-jalur ini kemudian bertentangan satu sama lain, lagi-lagi membangun tembok tebal atas realitas pilihan kehidupannya masing-masing.
Kemudian, Durkheim juga melihat, gejala krisis yang terjadi di dalam masyarakat kapitalisme modern seperti di Indonesia sekarang, bukan disebabkan oleh persoalan ekonomi semata, tetapi jauh dari itu, persoalan yang substansial justru berada pada kutub moral.
Mengapa? Karena posisi jalur moderat yang memuat kesadaran kolektif mengenai aturan moral kehidupan bermasyarakat, mulai ditinggalkan. Mereka berlarian ke jalur kiri, ada pula yang ke jalur kanan, sehingga kesadaran kolektif terbagi dan menjadi normatif.
Di satu sisi, kelompok-kelompok ini akan mencari preferensi berdasar kesamaan nilai kehidupan pada aspek yang lebih luas lagi, seperti ekonomi, politik kekuasaan atau bahkan kebudayaan. Toh ribut-ribut soal politik yang dirasa sebagian orang sebagai latar belakang kekacauan Indonesia akhir-akhir ini diinisiasi oleh orang-orang yang berada di sebelah kanan atau kiri berdasar pilihan mereka.
Seperti muara sungai, struktur kehidupan akan terus mengalir ke arah yang lebih luas lagi nantinya. Suatu hal yang pasti, masyarakat kini tengah terombang ambing dalam fase mencari jalan tengah kehidupan atau titik paling moderat dari pertemuan dua jalur pertentangan akibat modernisasi. Saya berharap, seberapapun terombang-ambing bahkan hendak tenggelam, kita dapat segera menemukan daratan, hingga tak lupa diri di tengah luasnya lautan.