UIN Jakarta pernah menjadi lokomotif pembaharuan pemikiran Islam bagi banyak perguruan tinggi Islam lainnya. Keberhasilannya dalam membangun paradigma baru dalam melihat persolan keislaman dan keindonesiaan terlihat dari lahirnya Islam Madzhab Ciputat. Catatan sejarah memperlihatkan bahwa Madzhab Ciputat lahir salah satunya dari keinginan kuat untuk menata kembali konfigurasi politik nasional yang dianggap tidak menjiwai semangat demokrasi.
Belakangan, pengaruh Islam Madzhab Ciputat sudah mulai hilang. Hal itu terlihat dari konfigurasi politik di UIN Jakarta sekarang yang tidak lagi demokratis. Terutama akibat dari ketidakmampuan SEMA UIN Jakarta (Senat Mahasiswa) dalam mengelola perbedaan setiap kali menggelar pesta demokrasi tahunan.
Misalnya dalam konteks pemilwa (pemilihan mahasiswa) yang tengah berlangsung sekarang, sulit untuk mengabaikan banyak sekali kecurangan-kecurangan yang nampak jelas oleh mata. Bahkan, pemilwa tahun ini seperti sudah disetting sejak awal untuk memenangkan calon tertentu. Berawal dari sidang MPMU (Musyawarah Perwakilan Mahasiswa Universitas) yang sangat telat dan boleh dikatakan cacat prosedural.
Hasil sidang yang dianggap hanya menguntungkan kelompok tertentu hingga tidak adanya draft konsideran yang utuh menjadi legitimasi atas kecacatan sidang MPMU pada 19 Juli 2023 lalu. Hal itu pun berdampak pada agenda berikutnya, yakni pembentukan KPM (Komisi Pemilihan Mahasiswa) dan BPPM (Badan Pengawas Pemilihan Mahasiswa) yang terasa sangat tidak demokratis dan cenderung diskriminatif.
Anehnya, segala kejanggalan tersebut seolah dinormalisasi oleh SEMA U, dan SEMA U seolah memberikan karpet merah bagi petugas KPM dan BPPM meski harus menabrak konstitusi sekalipun. Tidak adanya tanda tangan Warek III (Wakil Rektor) Bidang Kemahasiswaan semakin menguatkan keyakinan bahwa SEMA U telah tersandera oleh kelompok tertentu.
Inkonsistensi
Buruknya kinerja SEMA U dalam merumuskan sebuah produk undang-undang telah mematikan kehidupan demokrasi di UIN Jakarta. Proses pembentukan KPM dan BPPM yang tidak transparan, serta pelantikannya yang tidak melibatkan Warek III Bidang Kemahasiswaan telah mendorong UIN Jakarta menuju babak baru otoritarianisme.
SEMA U berhasil menyulap KPM dan BPPM sebagai kartel politik yang membenarkan segala macam cara demi ambisinya untuk berkuasa. Ada semacam konspirasi politik yang tengah dijalankan untuk memastikan calon yang mereka usung keluar sebagai pemenang. Tidak adanya transparansi saat verifikasi berkas calon semakin menguatkan anggapan tersebut.
Proses sengketa dan mediasi meski telah melibatkan MPM (Majelis Permusyawaratan Mahasiswa) tetap berakhir mengecewakan. Banyak berkas calon yang tetap tidak lolos, akibatnya mereka tidak memiliki tiket untuk berkompetisi. Ironisnya, selama proses sengketa berlangsung, KPM boleh dikatakan tidak memahami PKPM (Peraturan Komisi Pemilihan Mahasiswa).
LPM Institute (Lembaga Pers Mahasiswa) menyajikan seabrek fakta kesaksian langsung dari mahasiswa UIN Jakarta yang merasa dirugikan oleh KPM. Seperti dalam laporannya yang berjudul “Tebar Janji, Redakan Aksi”, Zikri (Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum) menuturkan bahwa ketika calon kandidat menanyakan letak kesalahan dan pasal Peraturan KPM yang dilanggar, banyak dari mereka justru dikeluarkan dari Zoom.
UIN Jakarta yang semula dianggap role model bagi banyak kampus terkait pendidikan politiknya, kini tengah menggali kuburannya sendiri. Perlu adanya tindakan tegas dari jajaran Rektorat untuk membekukan KPM dan BPPM. Selain itu, Rektorat juga perlu mengambil alih jalannya pemilwa dengan membentuk tim independen sebagai upayanya dalam merawat demokrasi kampus.
Nafsu Purba
Empuknya kursi kekuasaan kerap membutakan akal dan nurani seseorang. Keserakahan tidak terbatas pada persoalan materi belaka, tetapi juga persoalan kuasa. Keinginan untuk memonopoli kekuasaan secara berlebihan akan menghantarkan seseorang pada kehancuran. Di sinilah letak pentingnya mengerem keserakahan.
Sebagai pesta demokrasi, pemilwa seharusnya dirayakan dengan penuh kegembiraan. Sebab, sebuah pesta biasanya melahirkan kegembiraan. Alunan musik, tawa peserta, tepuk tangan, dansa hingga hidangan di meja menjadi komponen yang biasanya ada dalam setiap pesta. Namun sialnya, pesta demokrasi di UIN Jakarta, justru memanen permusuhan dan kedengkian.
Alunan musik berganti sumpah serapah, gelak tawa menjadi isak tangis mahasiswa yang berkasnya digagalkan, tepuk tangan menjadi pukulan, dan yang dihidangkan pun bukan makanan melainkan kemarahan. Konfigurasi politik yang kacau telah memantik gelombang protes besar-besaran.
Lantunan “Matinya Keadilan di UIN Jakarta” tak henti-hentinya dikumandangkan oleh mereka yang menuntut keadilan. Spanduk-spanduk protes terhadap ketidakadilan memenuhi lingkungan UIN Jakarta. Ini yang patut disyukuri bahwa pengaruh Islam Madzhab Ciputat tidak benar-benar hilang, meski tak banyak, namun masih tersisa.
Menghadirkan nasihat Mas Butet di tengah gejolak politik kampus yang kian memanas adalah pilihan yang tepat. Dalam artikelnya “Mengerem Keserakahan” yang dimuat awal agustus lalu di kolom opini Kompas, Mas Butet menulis bahwa mengerem keserakahan akan menjadi gembok yang mengurung, setidaknya menahan, nafsu purba manusia bernama kerakusan itu.
Jika kekuasaan itu disimbolkan sebuah istana, kearifan tradisional pun secara dini mengingatkan “Melihat istana jangan hanya dari sisi terangnya saja. Tapi juga lihatlah sisi-sisi gelapnya”. Dengan modal yang tersisa itu, kita bisa merajut kembali harapan untuk mengembalikan kehidupan demokrasi yang telah dimatikan.