Lonjakan kasus positif Covid-19 yang semakin masif dari hari ke hari menuntut pemerintah untuk terus melakukan tindakan kuratif guna menjamin kesehatan masyarakat. Menyikapi hal ini, beberapa hari yang lalu pemerintah memutuskan untuk memperpanjang Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Level 4 yang dilandasi oleh Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 34 Tahun 2021 tentang PPKM Level 4, Level 3, dan Level 2 Covid-19 di Wilayah Jawa dan Bali.
Secara yuridis normatif pemberlakuan PPKM Level 4 ini telah memenuhi unsur hukum positif di Indonesia yang secara eksplisit diatur dalam Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 bahwa dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang.
Di lain sisi pemberlakuan PPKM Level 4 ini juga memenuhi nilai yang terkadung dalam asas Salus Populi Suprema Lex Esto yang diperkenalkan pertama kali oleh filsuf Romawi kuno, Marcus Tullius Cicero (106-43 SM) dalam bukunya “De Legibus” bahwa di bawah ancaman situasi dan keadaan darurat, keselamatan rakyat harus menjadi tujuan paling utama termasuk jika harus menyampingkan aturan hukum atau konstitusi negara sekalipun.
Namun kendati sejatinya pemberlakuan PPKM Level 4 ini selaras dengan aturan dalam hukum positif, tidak sedikit kontroversi yang terjadi di kalangan masyrakat baik masyarakat dalam dunia nyata maupun masyarakat dalam dunia maya.
Dalam dunia maya Kemenkominfo mencatat dan melabeli adanya 1.733 hoaks terkait Covid-19 yang tersebar di berbagai platform dan media. Bahkan lebih dari itu tidak sedikit dari masyarakat yang berasumsi bahwa Covid-19 merupakan konspirasi pemerintah untuk mencapai tujuan politiknya sehingga segelintir masyarakat kurang mempercayai adanya wabah yang sangat bahaya dan tak kasat mata ini.
Padahal tercatat hingga 16 Agustus 2021 wabah Covid-19 memakan korban dengan angka yang relatif tinggi. Berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan yang dirilis dalam akun Twitter resminya, terdapat sebanyak 3.871.738 orang yang terkonfirmasi postif Covid-19, kemudian disusul dengan angka kematian akibat Covid-19 yang mengalami penambahan sebanyak 1.245 kasus yang bila diakumulasikan terdapat 118.833 orang yang meninggal dunia akibat Covid-19.
Kejahatan netizen Indonesia dalam bersosial media yang berimplikasi buruk terhadap kemaslahatan orang banyak perlu adanya penanganan khusus guna mengehentikan tindakan yang berpotensi mengundang perpecahan antara pemerintah dan masyarakat. Dalam konteks ini polisi siber yang bergerak dan berpatroli dalam dunia maya untuk mengawasi konten milik netizen memainkan peran sentral yang cukup signifikan.
Pasalnya, dalam memupuk harapan akan membaiknya netizen Indonesia dalam bersosial media sesuai dengan apa yang termaktub dalam Surat Edaran bernomor SE/2/11/2021 sangat kompatibel bila dikomparasikan dengan konsepsi sistem hukum yang dibangun oleh Lawrence M. Friedman.
Sistem hukum dalam operasi aktualnya merupakan sebuah organisme kompleks antara struktur, substansi, dan kultur hukum yang saling berinteraksi. Struktur hukum diibaratkan sebagai kerangka badan, bentuk permanen, tubuh institusional yang siap menggerakkan suatu sistem yang di Indonesia diartikan sebagai pelaksana atau penegak hukum, substansi hukum berkaitan dengan peraturan dan ketentuan mengenai bagaimana institusi harus berperilaku, sedangkan kultur berkaitan dengan sikap dan nilai sosial (Lawrence M. Friedman, terjemahan oleh M. Khozim, 2009).
Ditinjau dari aspek substansi hukum, Indonesia telah meratifikasi Undang-Undang No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi elektronik (ITE) yang mengatur tentang tata cara bermedia sosial. Sedangkan ditinjau dari aspek kultur hukum, Netizen Indonesia telah mencapai 170 juta sebagai pengguna aktif sosial media dari total populasi sebanyak 274,9 juta jiwa.
Walakin dengan hadirnya dua komponen tersebut adalah hal yang musykil bahkan mustahil untuk ditegakkannya suatu sistem hukum yang dikonsepsikan oleh Lawrence M. Friedmen tanpa adanya strukur hukum berupa pelaksana.
Sedemikian penting adanya komponen struktur hukum ini, Bernardus Maria Taverne (1874-1944) berpendapat “berikan aku hakim, jaksa, polisi, dan advokat yang baik, niscaya aku akan berantas kejahatan meski tanpa undang-undang sekalipun.”
Mekanisme Pelakasanaan
Penegakan hukum oleh polisi siber yang berpatroli secara virtual guna mengawasi konten yang diunggah oleh netizen mengedepankan restorative justice dalam penyelesaian perkara yang metodenya dilakukan melalui pendekatan integral antara pelaku dengan korban dan masyarakat sebagai satu kesatuan untuk mencari solusi serta kembali pada pola hubungan baik dalam masyarakat.
Prinsipnya, penegakan hukum yang mengedapankan restorative justice lebih mengandung nilai humanis sehingga kedua belah pihak antara penyidik dengan korban memiliki potensi damai yang cukup besar.
Adapun metode penegakan hukum berupa pemidanaan, dalam kasus ini hanya ditujukan kepada perkara yang sifatnya berpotensi memecah belah, SARA, radikalisme, dan separatisme. Selain perkara tersebut pemidanaan diberlakukan sesuai hakikatnya yaitu sebagai Ultimum remedium atau upaya terakhir dalam penegakan hukum.
Implementasinya di lapangan, pengguna media sosial yang diduga melanggar UU ITE bakal diberi edukasi berupa pesan direct message (DM) melalui WhatsApp atau media lainnya berupa peringatan dan para pelanggar juga diminta untuk menurunkan kontennya paling lama 1×24 jam. Apabila pelanggar menolak maka pelanggar akan dipanggil untuk dimintai klarifikasi dengan undangan klarifikasi yang tertutup sebagaimana yang dikutip dalam Tribunnews.com pada Selasa (23/2) lalu.