“Alasan yg pasang gelar akademis di acara non akademis kek nikahan biasanya “masa ud capek2 kuliah gak ditunjukin”.. ya tunjukin dgn karya dong.. Karya di bidang apa pun sampai masyarakat mengakui,” cuit Sudjiwo Tedjo dalam akun twitternya pada 21 November 2017.
Ujaran dalam media sosial tersebut memancing tulisan ini dikeluarkan. Pemasangan gelar yang menyertai nama tentu kerap dijumpai dalam penulisan undangan pernikahan kedua calon mempelai.
Pencantuman gelar bisa jadi merupakan kehendak mempelai , permintaan orang tua, atau kesepakatan berbagai pihak. Tidak ada yang salah memang dengan penyertaan gelar yang menandai tingkat pendidikan yang berhasil dirampungkan. Semua itu dikembalikan kepada individu masing-masing.
Lapis Kedua
Pemberian status gelar tertinggi yang diraih menjadi penting bagi perempuan. Sebab, masih banyak perempuan yang tumbuh di masyarakat yang belum sadar arti penting pendidikan. Akibatnya, perempuan dianggap tidak perlu meneruskan pendidikan hingga jenjang tinggi.
Perempuan ditempatkan sebagai konco wingking, hanya bertugas mendampingi dan harus nurut dengan suami, yang dianggap sebagai representasi Tuhan. Sebutan teman belakang, turut mengekalkan posisi wanita yang sulit untuk mendobrak konstruksi yang dibentuk masyarakat.
Dalam pepatah Jawa, bahkan wanita cuma dituntut tiga hal ini, manak, masak, dan macak. Manak terkesan membuat perempuan tidak lebih dari sekadar mesin pencetak manusia. Masyarakat yang khawatir dengan keberlangsungan generasi berikutnya, begitu memaksa wanita untuk segera mempunyai keturunan.
Masyarakat pantang berhenti mencecar pertanyaan kepada wanita yang memutuskan menikah tentang rencana punya anak. Mereka merinci setiap rasa keingintahuan dari mulai kapan berniat punya anak, berapa anak yang diinginkan, apa jenis kelamin anak yang dimau, dan setumpuk daftar pertanyaan lainnya bak wawancara. Masyarakat terkadang masuk ke ranah privat yang lebih dalam, yang seharusnya tak boleh mereka campuri. Bagi yang belum atau tidak mau punya anak, akan lebih menerima pertanyaan atau saran lebih sinis yang diajukan masyarakat.
Kultur turut menyumbang pemahaman bahwa wanita hanya pantas berkutat di ranah domestik. Domestifikasi perempuan acapkali mengungkung kebebasan perempuan untuk mengenyam pendidikan yang lebih tinggi. Perempuan dituntut pandai masak dan memberikan makanan yang enak, sehat, dan sekaligus murah bagi keluarganya. Wanita wajib menjamin segala urusan perut keluarganya beres.
Sementara masyarakat lebih banyak lupa bahwa wanita berhak juga bahagia dengan pilihannya di luar ranah anak, rumah tangga, dan suami. Aktivis feminis liberal, Friedan menyebut keadaan di mana para perempuan sebenarnya tidak bahagia dengan kemapanan harta, suami yang ideal, dan anak-anak yang membanggakan sebagai the problem that has no name. Meski masyarakat pasti akan mencibir wanita tersebut sebagai seorang yang tidak bersyukur. Wanita terlalu lelah dengan standar yang ditetapkan masyarakat.
Perempuan yang bergelar pendidikan tinggi juga membuktikan bahwa dia tidak harus bertindak sebagai alat pemuas hasrat mata laki-laki. Perempuan tidak perlu bertindak sebagai perempuan narsis demi menyandang pengakuan dari laki-laki. Ia tidak usah repot-repot membangun kecantikan yang dipelopori ketertarikan untuk menjadi obyek keindahan laki-laki.
Sayangnya wanita yang merasa unggul dalam urusan ranjang, dandan, dapur, dan mengurus anak kerap menuding wanita yang memutuskan berkarir dan menggapai cita-cita pendidikan setinggi mungkin sebagai wanita yang gagal. Perempuan mistis, mengklaim kedudukan dirinya lebih tinggi dari perempuan lain. Pasalnya, mistifikasi mengkategorikan wanita berdasar ajaran dan nilai yang diterapkan masyarakat. Masyarakat terlalu berat membebani perempuan soal ini itu tanpa memperhatikan kebutuhan eksistensi perempuan itu sendiri.
Pendidikan, Bentuk Tidak Dijajah
Laki-laki secara terus-menerus mendefinisikan perempuan harus sesuai kehendak mereka, Beauvouir menyebut ini sebagai imanensi. Beauvoir menawarkan cara supaya perempuan dapat melawan dan memisahkan diri dari cap tentang jenis kelamin kedua atau liyan. Saran pertama adalah, perempuan dapat bekerja. Perempuan harus pandai menyeleksi lingkungan pekerjaan. Dunia kerja secara jahat menggolongkan perempuan sebagai pekerja kelas dua, padahal kemampuan perempuan bisa jadi lebih tinggi.
Menjadi intelektual atau individu yang membekali diri dengan beragam pengetahuan adalah cara kedua yang disarankan Beauvoir. Perempuan akan keluar dari dominasi relasi kuasa laki-laki atau masyarakat lewat institusi pendidikan. Perempuan bukan lagi objek pemikiran, pandangan, dan pelabelan. Perempuan menjelma menjadi sosok pelaku atau subjek yang turut berkontribusi dalam pikiran, amatan, dan pendefinisian.
Perempuan yang mengantongi edukasi akan berpandangan luas tentang bagaimana seharusnya ia bertingkah laku. Ia berani menyuarakan kepentingan perempuan di tengah masyarakat. Perempuan tak melulu menjadi pasif atas apa yang disangkakan kepadanya. Ia tidak mudah termakan bujukan media yang memang telah disetel berdasar kacamata laki-laki, male gaze. Anggapan perempuan harus cantik, kurus, putih, tinggi, langsing berhasil perempuan tepis lewat kemampuannya mengimplementasikan ajaran pendidikan.
Kembali ke pemasangan gelar pendidikan dalam undangan pernikahan bisa jadi adalah bentuk propaganda agar masyarakat semakin mengerti arti pentingnya kesetaraan gender. Perempuan punya kuasa untuk melawan opresi yang membungkam dirinya. Perempuan menyombongkan gelarnya bukan semata-mata untuk pamer. Melainkan sebagai alat melancarkan perlawanan terhadap pihak-pihak yang masih menganggap remeh urgensitas pendidikan bagi perempuan.
Masyarakat harus ingat bahwa perempuan menentukan masa depan generasi kelak. Masyarakat justru harus berterima kasih atas kesadaran perempuan dalam berpendidikan. Dengan demikian, mereka tidak usah mengkhawatirkan kondisi bangsa di era mendatang karena bibit-bibit penerus lahir dari rahim ibu yang mengutamakan pendidikan.