Tingginya angka bunuh diri di Indonesia menjadi masalah universal. Prevalensi angka bunuh diri di sini terus meningkat setiap tahunnya. Data terakhir pada tahun 2016, Indonesia berada pada peringkat delapan kasus bunuh diri terbanyak di Asia Tenggara. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat bahwa kasus bunuh diri di Indonesia telah mencapai 3,7 per 100.000 penduduk (Kedaulatan Rakyat, 2017)
Di antara daerah-daerah di Indonesia, Kabupaten Gunungkidul merupakan daerah yang menempati urutan pertama angka bunuh diri di tingkat nasional. Data yang terdokumentasikan di Kepolisian Resort (Polres) Gunungkidul mencatat bahwa sepanjang 2001–2017, telah terjadi 493 kasus bunuh diri di 19 kecamatan di Gunungkidul. Lebih dari 80% pelaku memilih dengan cara gantung diri untuk mengakhiri hidup mereka. Bahkan sejak Januari hingga Juni 2018, tercatat 19 penduduk telah meregang nyawa dalam belitan tali.
Beberapa penelitian telah mencoba mengungkap fenomena miris tersebut. Misalnya yang dianalisis oleh LSM Imaji menyebutkan bahwa faktor penyebab bunuh diri di Gunungkidul cukup beragam. Dari hasil pemeriksaan polisi dan medis yang dihimpun, penyebab utamanya adalah depresi. Presentasenya mencapai 43%. Pemicu lain yakni sakit fisik menahun 26%, gangguan jiwa 6%, kesulitan ekonomi 5%, masalah keluarga 4%, dan tanpa keterangan sebanyak 16%.
Namun studi antropologi yang dilakukan oleh Darmaningtyas menyimpulkan bahwa masalah ekonomi dan kemiskinan merupakan faktor primer di balik kasus bunuh diri di Gunungkidul. (Darmaningtyas, 2002). Studi mikro lapangan yang dilakukan Darmaningtyas menyimpulkan bahwa masalah keluarga, gangguan jiwa, hingga sakit fisik berpangkal pada kemiskinan.
Di balik itu, resiliensi komunitas masyarakat dalam menghadapi masalah yang tidak diiringi dengan keyakinan agama yang kokoh memperparah cara pandang anggota masyarakat untuk mengambil solusi jalan pintas apabila problem yang mendera terasa mencekik. Bunuh diri dipilih sebagai eskapisme dari aneka-ragam masalah tersebut.
Resiliensi komunitas di sini adalah kemampuan yang dimiliki masyarakat untuk menghadapi, mengatasi, dan menjadi pribadi yang lebih kuat atas kesulitan yang dihadapinya. Permasalahan resiliensi komunitas ini diduga sebagai pangkal masalah bunuh diri di Gunungkidul.
Namun, hal ini ditepis oleh Budayawan Seni Cokekan Gunungkidul, Bpk. Sadipan yang menyebutkan bahwa karakteristik orang-orang Gunungkidul ditandai dengan sifat keras hati (nekat) serta ewuh pakewuh (sungkan dan tidak enak hati). Hal ini juga diamini oleh Drs. Siswanto, camat Wonosari, yang menyatakan bahwa orang-orang Gunungkidul memiliki mental dan nyali yang kokoh. Orang-orang Gunungkidul dikenal memiliki ketahanan diri dan resiliensi kuat.
Bisa jadi karakteristik tersebut dipengaruhi oleh corak masyarakat yang bersifat agraris dan bergantung pada alam. Kondisi fisik daerah Gunungkidul yang gersang dan tandus menyebabkan penduduk yang mayoritasnya berprofesi sebagai petani harus membanting tulang dua kali lebih keras untuk memperoleh hasil panen maksimal.
Sifat keras hati dan kuat kemauan ini menurun pada hal-hal lain, sampai-sampai jika mengalami masalah dan merasa tidak memiliki jalan keluar lagi, bunuh diri dipilih sebagai eskapisme agar lepas dari problem yang mendera. Adapun ewuh pakewuh ini ditemukan pada pelaku bunuh diri yang berpangkal dari sakit menahun. Pelaku merasa bahwa dia hanya menjadi beban keluarga dan membawa kesusahan bagi kerabat yang merawatnya. Tak pelak lagi, bunuh diri dipilih sebagai jalan pakewuh agar tidak merepotkan orang lain.
Pihak-pihak kesehatan Gunungkidul telah menetapkan orang-orang yang rawan bunuh diri untuk terus dijaga dan diawasi. Tim Pelaksana Kesehatan Jiwa Masyarakat (TPKJM) Gunungkidul menetapkan bahwa penderita sakit menahun merupakan sosok yang rentan dan potensial melakukan bunuh diri. Oleh sebab itu, pihak keluarga dituntut untuk merawat dan menjaga penderita sakit menahun tersebut. Namun, sifat keras hati dan kuat kemauan di sini menjadi bumerang. Banyak kasus menunjukkan bahwa meskipun penderita sakit menahun dijaga secara intensif oleh keluarganya, tetap saja pelaku mencari waktu lengah untuk melakukan gantung diri. Apabila mereka sudah menetapkan untuk bunuh diri, segala cara dilakukan untuk merealisasikan hasrat tersebut.
Pulung Gantung
Fenomena bunuh diri di Gunungkidul acapkali diwarnai dengan mitos pulung gantung. “Pulung” sendiri menurut bahasa adalah semacam wahyu. Apabila disimpulkan secara sederhana, seseorang yang memperoleh pulung diyakini memperoleh wahyu. Adapun frasa “pulung gantung” diyakini merupakan isyarat buruk yang ditandai dengan jatuhnya bola api, cahaya berekor seperti meteor atau komet yang melayang, berwarna merah menyala. Menyilaukan dan melintas dengan cepat. Saat cahaya itu muncul dan tiba di sebuah tempat atau desa, maka cahaya itu semakin membesar dan jatuh menghilang. Bila pulung gantung ini jatuh pada suatu tempat, dipercaya bahwa tak lama di tempat tersebut akan terjadi peristiwa gantung diri (Oktavanny, 2016).
Oleh karena itu, pilihan bunuh diri dengan cara gantung diri diduga karena pengaruh pulung gantung. Namun hal ini dibantah oleh ahli medis Gunungkidul, dr. Ida Rochmawati, yang menyatakan bahwa mitos tersebut merupakan ilusi masyarakat untuk menutupi hal-hal tabu yang dialami pelaku. Baginya, mengaitkan kasus gantung diri dengan pulung gantung merupakan sebuah kesalahan persepsi. Hal ini dinyatakan sebagai fenomena alam, pulung gantung secara ilmiah digambarkan sebagai paduan antara zat fosfor dan zat kapur yang memang banyak ditemui di Gunungkidul.
Karena kurangnya pengetahuan masyarakat pada zaman dahulu, mereka mengaitkan fenomena tersebut dengan kasus gantung diri. Padahal, tak satupun pengakuan dari penyitas bunuh diri di Gunungkidul yang menyatakan bahwa motif mereka melakukan gantung diri dipengaruhi oleh pulung gantung.
Sumber:
Bunuh Diri di Indonesia Peringkat Delapan Asia Tenggara. Kedaulatan Rakyat. 22 Maret 2017.
Darmaningtyas. 2002. Pulung Gantung: Menyingkap Tragedi Bunuh Diri di Gunungkidul. Salwa Press: Yogyakarta
Oktavanny, Retno. Deskripsi Mitos Pulung Gantung dalam Novel Jejak Gelisah karya Ahmad Sekhu. Skripsi Universitas Sumatera Utara. 2008