Mundurnya Sandiaga Uno sebagai Wakil Gubenur DKI Jakarta terpilih pada 27 Agustus 2018 silam tampak menjadi persoalan yang berlarut panjang. Berbagai lobi politik yang gagal dan mengalami jalan buntu (deadlock) berdampak pada kursi wakil gubernur yang tidak kunjung terisi.
Januari 2020, maka sudah genap 17 bulan Anies Baswedan menjadi Gubernur DKI Jakarta tanpa kehadiran seorang wakilnya. Tentu hal ini berdampak pada berjalanannya pemerintahan di DKI Jakarta.
Melihat tugas yang diemban, jabatan wakil gubernur dalam pemerintah daerah memegang peranan sentral, salah satunya menjalankan fungsi pengawasan. Hal tersebut jelas disebutkan dalam Pasal 66 Undang-Undang Pemerintahan Daerah di mana wakil gubernur perlu memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan pemerintahan yang dilakukan perangkat daerah.
Juga secara politik, jabatan Wakil Gubernur DKI Jakarta merupakan salah satu jabatan yang strategis. Beberapa tokoh seperti Basuki Tjahaja Purnama, Djarot Saiful Hidayat hingga Sandiaga Uno dipandang memiliki karier dan popularitas politik yang meroket ketika menduduki kursi Wakil Gubernur DKI Jakarta.
Maka menjadi hal yang disayangkan jika Gerindra dan PKS sebagai partai pengusung Anies Baswedan dan Sandiaga Uno tidak mengambil peluang tersebut dan pada akhirnya tidak dapat mengisi jabatan Wakil Gubernur DKI Jakarta yang lowong sampai hari ini. Keuntungan politis dari peristiwa ini juga dapat dirasakan Anies Baswedan yang menjalankan pemerintahan DKI Jakarta seorang diri.
Kepemimpinan one man show ini tentu berdampak pada popularitas hingga elektabilitasnya yang meningkat. Ini menjadi kunci penting karena Anies Baswedan dipandang sebagai calon kuat dalam perheletan Pilpres 2024 mendatang.
Bayang-Bayang Lama
Sebagai partai pengusung, Gerindra dan PKS menjadi partai yang berhak mengajukan nama-nama pengganti Sandiaga Uno sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta terdahulu. Pemberitaan media menyebutkan bahwa pada Senin (20/1) Fraksi Gerindra DPRD DKI Jakarta sudah mengumumkan dua nama Cawagub DKI Jakarta yakni Ahmad Riza Patria dari Partai Gerindra dan Nurmansyah Lubis dari PKS. Selanjutnya kedua nama tersebut akan diajukan kepada Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan untuk diteruskan kepada DPRD DKI Jakarta.
Bayang-bayang lama dinilai masih melekat pada masyarakat Jakarta sehingga perlu bagi calon wakil gubernur baru untuk dapat melakukan berbagai penyesuaian. Hal ini tidak terlepas dari peran partai pengusung sebagai bagian dari strategi politik (political strategy) untuk meraih kemenangan pada Pilkada DKI Jakarta tahun 2017 lalu. Pertama dari strategi penonjolan figur.
Sosok Sandiaga Uno selama ini yang good looking, cerdas, humoris, juga luwes tentu menjadi kesan tersendiri bagi sebagian masyarakat Jakarta. Strategi basis massa juga ditekankan pada diri Sandiaga yang merepresentasikan kalangan milenial dengan mempertimbangkan bahwa Anies selaku pasangan pada perhelatan Pilkada 2017 silam tidak bisa menjangkau kalangan milenial secara maksimal.
Kekerabatan yang erat antara Anies Baswedan dan Sandiaga Uno juga menjadi identitas Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta. Bahkan keduanya masih terlihat akrab dalam Pembukaan rapat kerja daerah (rakerda) DPD Partai Gerindra DKI Jakarta pada Minggu (26/1) silam. Identitas itu sering ditampilkan dengan berpelukan sebagai bahasa tubuh yang menunjukkan kekerabatan yang erat.
Hubungan antara Gubernur dan Wakil Gubernur yang berjalan dengan harmonis secara tidak langsung menunjukkan bahwa kerja sama yang baik di dalam suatu sistem menjadi bagian penting untuk mewujudkan tujuan bersama. Hal ini yang perlu menjadi perhatian bagi sosok Wakil Gubernur DKI Jakarta kelak.
Relasi yang baik antara gubernur dan wakil gubernur sekiranya terwujud misalnya melalui pembagian kerja yang jelas dan terstruktur di antara keduanya ataupun juga dengan meniru konsep dari apa yang ditampilkan Anies dan Sandiaga melalui bahasa tubuh –yakni berpelukan- sebagai pesan simbolik.
Tantangan ke Depan
Sudah menjadi fakta bahwa politik berjalan amat dinamis, terlebih dengan mempertimbangkan popularitas serta elektabilitas Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Berbagai kegiatan tawar-menawar politik (political bargaining) mengenai kelanjutan Anies Baswedan setelah menjadi Gubernur DKI tentu bukan suatu hal yang tabu untuk dibicarakan saat ini.
Sehingga tidak menutup kemungkinan jika peristiwa di Jakarta pada masa Joko Widodo di mana Basuki Tjahaja Purnama yang sebelumnya merupakan Wakil Gubernur justru kemudian menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta pada tahun 2014-2017 terulang kembali. Melihat potensi itu, maka menjadi ihwal penting untuk mempersiapkan secara maksimal Wakil Gubernur DKI Jakarta yang baru.
Gerak politik yang dinamis juga setidaknya dapat dirasakan pasca Pilpres 2019 di mana susunan oposisi dan koalisi sempat mengalami kegamangan. Salah satunya yakni Partai Gerindra di mana semula berada di barisan oposisi dan sekarang justru bergabung masuk ke dalam pemerintahan.
Ini pula yang menjadi tantangan ke depan dalam pemerintahan DKI Jakarta di mana Partai Gerindra berada di posisi kontradiktif: di satu sisi ia menjadi bagian dari partai pengusung Gubernur DKI Jakarta bersama PKS yang berada di barisan oposisi, namun di tingkat yang lebih luas, Partai Gerindra justru menjadi bagian dalam pemerintah pusat.
Posisi kontradiktif tersebut diharapkan tidak memunculkan dilema baru bagi Wakil Gubernur DKI Jakarta kelak. Posisi tersebut tentu membutuhkan suatu sikap yang bijak dan kukuh.
Tepat apa yang disebutkan Sandiaga Uno bahwa penting bagi Wakil Gubernur DKI Jakarta kelak untuk dapat hadir di tengah masyarakat dan kemudian ikut memberikan solusi sekaligus kritikan terkait kebijakan pembangunan Indonesia.
Semuanya itu tentu bermuara pada masyarakat Jakarta. Berbagai pertimbangan politis seharusnya dapat terlampaui menjadi tertuju pada proses pembangunan DKI Jakarta ke depan sehingga tagline “maju kotanya, bahagia warganya” menjadi terwujud.