Ajang kontestasi Pemilihan Gubernur DKI periode 2017-2022 memberikan sebuah pelajaran berharga bagi para politisi oportunis di seantero Indonesia menjelang perhelatan pilkada serentak tahun 2018: penggunaan narasi sektarian secara tepat guna, khususnya isu agama dan ras, mangkus sekali untuk meraih kemenangan.
Modifikasi narasi sektarian sedemikian rupa telah terbukti memuluskan langkah duo Anies Baswedan-Sandiaga Uno menuju kursi kekuasaan, terlepas dari perdebatan seputar seberapa besar pengaruh narasi tersebut kepada elektabilitas mereka atau apakah tim kampanye pasangan nomor urut tiga telah secara sengaja melakukan pembiaran atas proses distribusinya demi meraup keuntungan elektoral.
Beberapa provinsi dengan nilai strategis luar biasa turut melangsungkan pemilihan kepala daerah di berbagai tingkatan tahun depan. Kita ambil Jawa Barat sebagai contoh. Dengan total populasi mencapai 46,7 juta jiwa menurut data BPS tahun 2015, Jawa Barat adalah salah satu provinsi penyumpang DPT terbesar di Indonesia. Setelah Pilgub DKI usai, semua mata jelas tertuju pada pelaksanaan Pilgub Jabar (bersama Pilgub Jateng dan Pilgub Jatim) jelang pertempuran skala nasional di tahun 2019.
Berbagai pihak mulai sibuk menjalin konsolidasi, tak terkecuali Ridwan Kamil (Kang Emil). Ia memutuskan meninggalkan perahu lama Gerindra dan PKS yang membantunya memenangkan kursi walikota, lantas berpindah haluan ke Partai Nasdem. Sesaat pasca deklarasi pencalonan, petahana Walikota Bandung itu langsung menerima fitnah berbau agama. Frasa “di-Ahok-kan’ kemudian muncul buat menjelaskan situasi politis yang mendera Kang Emil.
Menarik mengamati pergerakan Gerindra dan PKS dalam arena Pilgub Jabar. Mereka terhitung sukses berkolaborasi di Pilgub DKI lantas mengeluarkan pernyataan publik untuk melanjutkan koalisi di Jawa Barat. Ketika isu bernuansa SARA mulai menyerang Kang Emil, sulit untuk tidak mengidentifikasi koalisi ini sebagai salah satu pihak yang terlibat di balik distribusi kampanye hitam tersebut. Menilik narasi melawan presiden yang sedang ramai di media sosial -penempatan Joko Widodo selaku figur anti kekuatan Islam- wajar bila cengkeraman atas Jawa Barat kian dipererat. Mengingat kuantitas warga terdaftar pemeluk agama Islam mencapai 87% dari total populasi, bukan tidak mungkin konsolidasi teranyar kaum fundamentalis muncul dari Jawa Barat demi mencegah Jokowi kembali berkuasa.
Kandidat ‘Pelangi’
Belakangan pola pasangan kandidat ‘pelangi’ menjadi pilihan yang cukup populer bagi banyak partai politik sebagaimana ditunjukkan tiga pasang calon gubernur Papua Barat baru-baru ini. Alasannya bermacam-macam: faktor kultural daerah terkait yang amat cair, ketokohan kedua figur, dan lain-lain. Di satu sisi pola ini mengandung potensi positif dalam rangka mengakomodasi kebutuhan berbagai kelompok/golongan masyarakat tatkala memerintah, tapi bila ketidakcocokan internal mencuat, masing-masing oknum akan tergoda untuk kembali pada sentimen kelompoknya kemudian pelan-pelan berusaha mengikis kredibilitas sang pasangan. Imbasya, program kerja pembangunan serta usaha-usaha menghadirkan kesejahteraan sosial otomatis terhambat bahkan sanggup merusak potensi perkembangan daerah terkait.
Fenomena pasangan kandidat ‘pelangi’ sesungguhnya dapat dijadikan momentum penting bagi hadirnya bentuk edukasi politik yang konkret dan sangkil. Dengan melaksanakan seleksi komprehensif yang berfokus pada rekam jejak individu, pandangan seputar topik kesatuan, nilai pluralitas, serta tendensi pemikiran terbuka, segenap elit partai bisa mulai membangun sebuah konsep kepemimpinan progresif yang memadukan calon kepala daerah berlatar belakang Muslim dengan calon wakil kepala daerah non Muslim (atau sebaliknya). Visi seperti ini akan menyumbang kontribusi positif amat besar terhadap citra partai politik selaku instrumen krusial dalam sistem demokrasi.
Sayangnya faktanya tidak demikian. Elit partai dewasa ini melirik konsep tersebut semata-mata karena selaras dengan kepentingan jangka pendek mereka. Mengusung slogan kosong bertajuk “merawat keberagaman”, keputusan mengusung kandidat ‘pelangi’ dapat diduga hanya berfungsi sebagai jaring pengaman terhadap persepsi publik. Tidak lebih.
Urgensi Daya Pikir Kritis
Kampanye hitam bakal terus eksis dalam tatanan demokrasi dimanapun. Kampanye hitam adalah efek samping rasional dari pergulatan beberapa pandangan dan kepentingan tatkala menjalani proses kontestasi politik. Untuk menanggulanginya, perlu suatu upaya berkelanjutan guna menanamkan budaya berpikir kritis di tengah-tengah masyarakat.
Jika kampanye hitam terkonsentrasi pada tindakan merendahkan, memojokkan, menyebar fitnah, hingga merusak citra pribadi seseorang, maka daya pikir kritis berfungsi menguji validasi informasi, mencari sumber otentik, mengumpulkan basis data sebanyak mungkin, serta menawarkan argumen alternatif yang logis.
Michel Foucault, kritikus literasi dan filsuf asal Prancis, pernah mengatakan bahwa kekuasaan dan ilmu pengetahuan adalah kesatuan tak terpisahkan. Dengan menguasai pengetahuan, seseorang mampu melakukan pendekatan rasional kepada pihak-pihak yang belum bersepakat untuk kemudian menghasilkan kesepakatan bersama. Knowledge is power, begitu bunyi idiom populer abad 20 itu.
Ketika masyarakat memperoleh asupan pengetahuan berbasis data mumpuni secara rutin serta dibekali dengan kemampuan untuk membedakan informasi valid dari penyebaran hoax, maka sesungguhnya tiap-tiap elemen masyarakat telah mampu mengambil keputusan secara mandiri menyangkut siapa figur yang tepat memimpin mereka. Namun lagi-lagi kata kuncinya adalah kontinuitas. Tanpa itu, daya pikir kritis bakal kesulitan berkembang menjadi sebuah kebiasaan baik yang bersifat kolektif.
Daya pikir kritis juga sanggup meredam sentimen politik identitas. Alih-alih terjebak pada kebanggaan semu membela nama besar golongan/kelompok, tipikal masyarakat yang memiliki kesadaran kritis cenderung mempunyai kapabilitas untuk melihat kebutuhan jangka panjang pada tingkatan bangsa. Kemudian segenap komponen masyarakat tersebut dapat melaksanakan kontestasi demi menentukan pemimpin terbaik berdasarkan kebutuhan jangka panjang dimaksud. Soal apakah figur pemimpin ini berlatar belakang suku atau kepercayaan yang sama bukan lagi poin terpenting.
Tentu akan muncul hambatan di sana sini yang dipengaruhi banyak faktor, baik yang berasal dari dalam negeri maupun imbas dari dinamika situasi global. Namun bila kita serius hendak mewujudkan poin “mencerdaskan kehidupan bangsa”, salah satu poin cita-cita kemerdekaan yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945, maka perihal edukasi menuju budaya berpikir kritis haruslah ditempatkan sebagai prioritas tertinggi sedari dini. Pendidikan tak seharusnya meredam akses atas pengetahuan alternatif, melainkan memupuk kesadaran kritis terhadap lingkungan sekitar.
Pilkada serentak 2018, di level walikota/bupati ataupun gubernur, sejatinya berperan besar menentukan haluan politik republik ke depan. Apakah sanggup melaju ke arah progresif atau justru tenggelam dalam arus fundamentalis. Apakah mereproduksi kebrutalan Pilgub DKI atau pelan-pelan move on.
Sebab ketepatan memilih pemimpin lokal berarti memastikan kepentingan bangsa berada di jalur yang tepat.