Jumat, April 19, 2024

Menalar Logika Pembangunan Papua (2)

Fachri Aidulsyah
Fachri Aidulsyah
Penulis merupakan Research Candidate di Pusat Penelitian Sumberdaya Regional-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2SDR-LIPI). Alumni Departemen Sosiologi Fisipol UGM ini menekuni dunia penelitian dibidang sosiologi agama dan ethno-nationalism.

Sudah begitu banyak para sarjana menguraikan akar persoalan pembangunan di tanah Papua. Setidaknya, dari sekian banyak para sarjana terdapat lima basis tesis utama tentang akar persoalan ketertinggalan Papua.

Pertama, konteks historis kolonialisasi dan diskriminasi pemerintahan Indonesia yang terus menjadi “doktrin” yang menggenerasi di tanah Papua, dan tidak adanya jalur dialog antara pemerintah Indonesia dengan masyarakat Papua, berimplikasi pada membesarnya eskalasi masyarakat asli Papua yang menuntut “Kemerdekaan Papua” (Kivimäki and Thorning, 2002; Chauvel, 2005; Widjojo Et Al, 2010).

Kedua, konteks implementasi OTSUS di tanah Papua hanya ditujukan untuk meredam potensi konflik masyarakat etnis Papua terhadap negara akibat dari ‘dosa’ masa lalu negara di masa lalu (Bertrand, 2014).

Ketiga, implementasi OTSUS hanya menguntungkan elite Papua, namun tidak memberikan dampak yang sangat signifikan terhadap masyarakat Papua –khususnya di daerah pegunungan tengah. Negara tidak hadir dalam memberikan pemenuhan pelayanan dasar secara optimal, seperti: pendidikan, kesehatan, dan ketenagakerjaan (International Crisis Group, 2012; Frings, 2012; Anderson, 2015).

Pelaksanaan OTSUS tidak berjalan dengan baik lantaran intervensi tata-kelola dari pemerintah pusat yang tidak sesuai dengan realitas sistem birokrasi Papua. Dari perihal ini, kebutuhan untuk menciptakan sistem tata-kelola pemerintahan berbasis nilai-nilai antropologis dan adaptif terhadap budaya masyarakat dianggap penting (Kemitraan, 2012).

Kelima, OTSUS dan pemekaran di tanah Papua telah menguntungkan “bisnis” keamanan bagi institusi kepolisian dan militer dalam menjaga kepentingan korporasi eksploitasi SDA (Wing and King, 2005; Timmer, 2007). Kelima perspektif inilah yang lebih mendominasi “alam bawah sadar” kita tentang kegagalan sistem pembangunan di tanah Papua.

Sudah barang tentu, berbagai perspektif tersebut benar dan menjadi sebuah kenyataan yang terjadi di tanah Papua hari ini. Namun, dalam membaca realitas yang lebih luas, maka lima perspektif tersebut belum sepenuhnya menjawab akar persoalan pembangunan di tanah Papua yang lebih berkait dengan persoalan ketidak hadiran state imagination yang mengakibatkan tidak bertumbuhkembangnya sense of governance dan sense of publicness di tanah Papua.

Dalam konteks historis, harus dipahami bahwa jauh sebelum pemerintahan pembangunan koloni Belanda yang baru berkembang di tanah Papua di tahun 1898, masyarakat asli Papua tidak mengenal konsep kepemimpinan dan perbedaan kelas.

Para kepala kampung yang diangkat pemerintah umumnya tidak mampu bertindak dan menegakan kekuasaan sebagai pemimpin atas penduduk. Masyarakat asli Papua hidup dalam kelompok-kelompok suku/klen yang otonom dan saling bersaing antarsuku serta hidup dalam praktik-praktik adat perang suku, perbudakan dan saling balas dendam (Sinaga, 2013: 175).

Dengan berdirinya 6 Afdeeling yang mengorganisir sekitar 25 onder-afdeeling baik di Papua Barat mau pun Papua, hanya sedikit sekali Onder-Afdeeling yang berada di pegunungan tengah. Kondisi infrastruktur pemerintahan yang tidak merata serta topografi tanah Papua yang sulit menyebabkan pemaknaan masyarakat Papua terhadap pentingnya “sistem pendidikan dan tata-kelola pemerintahan” rendah.

Sistem politik tradisional yang berkembang di dalam mayoritas sub-etnik Papua yang terbagi kedalam sistem Big-Man, Kerajaan, Ondoafi, dan Kepemimpinan Campuran hanya dikembangkan dalam lingkup kepemimpinan yang ‘kecil’ (berkisar dibawah 50 orang) yang terpolarisasi di daerah-daerah terisolir, dan tidak mengalami inter-connected antara satu daerah/klan dengan daerah/klan lain.

Bahkan, hingga tahun 1900-an, Soejono (1994) menemukan bahwa di beberapa daerah di Pegunungan Jayawijaya yang sukar dicapai oleh orang, terdapat beberapa kelompok orang yang hidup dalam tingkat kebudayaan neolitik. Sudah barang tentu, kondisi ini menyisakan persoalan tersendiri bagi sistem tata-kelola pemerintahan hari ini, dimana sebagian masyarakat asli Papua masih belum memahami sepenuhnya tentang pentingnya “pemerintahan” itu sendiri.

Di tengah masyarakat yang belum memahami pentingnya “pemerintahan”, sangat wajar jikalau pengimplementasian OTSUS dan Pemekaran hanya dinikmati oleh segelintir elite Papua dan oknum pemerintah pusat. Sudah sejatinya, kondisi Governance Premature yang terjadi di tanah Papua hari ini harus menjadi bahan “refleksif” bagi pemerintah pusat bahwa persoalan tata-kelola pemerintahan Papua bukanlah tentang sejauhmana efektivitas tata-kelola pemerintahan yang berkembang di sebagian besar Kabupaten/Kota di Provinsi Papua semata, melainkan sense of governance dan sense of publicness yang belum terbentuk disebagian besar masyarakat Papua menjadi sebuah persoalan tersendiri.

Menalar “Masa Kini” Papua

Akibat kondisi sense of governance dan sense of publicness yang lemah di kalangan masyarakat asli Papua inilah yang justeru menjadi persoalan utama dari ketidak- efektivitasan “tata-kelola pemerintahan” yang berkembang di tanah Papua hari ini. Setidaknya, ada dua problem utama yang dihasilkan dari lemahnya sense of governance dan sense of publicness tersebut, diantaranya: 1) Problem internal birokrasi: Institusi pemerintahan yang seharusnya berfungsi dalam memberikan pelayanan publik, namun bagi sebagian besar aparatur birokrasi Papua memandang bahwa birokrasi Papua hanyalah “lahan emas” di mana mereka bisa mendapatkan uang secara cuma-cuma.

Mayoritas birokrasi daerah yang terdapat di daerah pegunungan tengah tidak berjalan efektif, absensi kehadiran aparatur pemerintah daerah yang rendah mengakibatkan banyaknya Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang tidak berfungsi dengan baik, kantor SKPD tutup disaat jam kerja masih berlangsung. Besarnya dana APBD daerah yang didapatkan melalui DAK, DAU, mau pun OTSUS lebih banyak dihabiskan untuk pembangunan fisik (seperti: pasar dan sekolah) namun hasil dari pembangunan infrastruktur tersebut tidak dibarengi dengan ditempatkannya SDM yang mampu mengelola dan mengembangkan sarana tersebut dengan baik.

Mayoritas SKPD yang berada di area pegunungan tengah yang tidak memiliki draft Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) mau pun Rencana Tata Ruang Tata Wilayah (RTRW) tersebut, ide pembangunan fisik dianggap sebagai “proposal anggaran” yang paling mudah didapatkan sekaligus menguntungkan sebagian elite birokrasi ketimbang menghadirkan stakeholder yang mengelolanya.

Kolom terkait:

Menalar Logika Pembangunan Papua (1)

Fachri Aidulsyah
Fachri Aidulsyah
Penulis merupakan Research Candidate di Pusat Penelitian Sumberdaya Regional-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2SDR-LIPI). Alumni Departemen Sosiologi Fisipol UGM ini menekuni dunia penelitian dibidang sosiologi agama dan ethno-nationalism.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.