Jumat, Maret 29, 2024

Menalar Logika Pembangunan Papua (1)

Fachri Aidulsyah
Fachri Aidulsyah
Penulis merupakan Research Candidate di Pusat Penelitian Sumberdaya Regional-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2SDR-LIPI). Alumni Departemen Sosiologi Fisipol UGM ini menekuni dunia penelitian dibidang sosiologi agama dan ethno-nationalism.

Persoalan pembangunan Papua saat ini menjadi salah satu prioritas khusus dalam paket kebijakan Kabinet Kerja. Berbagai upaya telah dilakukan untuk mempercepat proses pembangunan infrastruktur dalam rangka memfasilitasi aktivitas peningkatan pertumbuhan ekonomi daerah sekaligus proses akselerasi pelayanan dasar dan pemenuhan kebutuhan masyarakat.

Meski pun begitu, ditengah masifnya program pembangunan yang berlangsung, persoalan korupsi, ketimpangan sosial, konflik dan kekerasan yang terjadi akibat tidak berjalannya pemerintahan daerah kabupaten/kota di tanah Papua secara efektif masih menghantui keberlangsungan sekaligus keberhasilan program pembangunan hingga hari ini.

Menalar “Indikator” Pembangunan Papua

Sudah barang tentu, persoalan “efektivitas” tata kelola pemerintahan daerah yang merupakan “aktor utama” dalam mensuksesi percepatan pembangunan dan akselerasi pelayanan dasar tersebut harus menjadi salah satu indikator yang penting namun belum hadir di dalam paket kebijakan Kabinet Kerja di tanah Papua hingga hari ini.

Beranjak dari titik tekan inilah, tindakan evaluasi terhadap efektivitas paket kebijakan pembangunan pemerintahan Jokowi-JK di tanah Papua sangat penting untuk dilakukan saat ini. Dua tahun lebih pemerintahan Jokowi-JK berjalan, setidaknya terdapat beberapa terobosan penting dalam mempercepat proses pembangunan di Papua.

Pertama, melakukan proses dialog pembangunan Papua secara intensif antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan masayarakat setempat. Kedua, penyelarasan daerah Papua dengan cara mengangkat putra-putri Papua untuk turut serta dalam pemerintahannya, seperti pengangkatan Yohana Yambise sebagai Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mau pun kepala suku Papua Lenis Kagoya menjadi staff khusus Presiden.

Ketiga, meningkatkan pembangunan infrastruktur di tanah Papua seperti jalan trans-Papua dengan panjang total 4.480,05 KM yang ditargetkan usai tahun 2019. Keempat, menciptakan kebijakan “satu harga BBM” bagi masyarakat 3T di Papua yang selama ini rata-rata harga 1 liter BBM Rp. 50.000-Rp.100.000,-/ liter kini menjadi Rp. 6.650,-.

Kelima, pembangunan 22 pasar mamak-mamak di wilayah Papua. Enam, menciptakan 26 program nusantara sehat di Papua dan Papua Barat. Tujuh, memberikan Kartu Indonesia Sehat kepada 3.600.162 serta memberikan Program Indonesia Pintar kepada 358.617 masyarakat Papua.

Delapan, melakukan upaya peningkatan produktivitas pertanian dan perdagangan melalui pemberian 173 unit Alsintan, membuka 200.000 Ha lahan untuk persawahan baru, serta membuka 5.600 Ha lahan untuk jaringan irigasi tersier. Sembilan, memberikan kenaikan transfer dana perimbangan–baik berupa BHP/BHBP, DAU, mau pun DAK- dari pemerintah pusat untuk Provinsi Papua mau pun provinsi Papua Barat.

Sebagai contoh, sudah 15 tahun OTSUS Papua berjalan, jumlah dana OTSUS yang telah dicairkan oleh pemerintah pusat untuk Papua telah mencapai Rp. 60,01 Trilyun (BPKAD Papua, 2016). Bahkan pada tahun 2016 ini ditengah PAD Prov Papua yang rendah (Rp. 1,09 Triliyun) dan kontribusi PPh dan PPn wilayah Papua-Maluku yang rendah (Rp. 4,7 Trilyun) (liputan6.com, 29/11/2016; BPKAD Papua, 2016).

Pemerintah Pusat justru memberikan dana transfer yang cukup besar ke Provinsi Papua dan Papua Barat hingga mencapai Rp. 54, 51 Trilyun (Kemenkeu, 2016). Hingga 15 tahun OTSUS berjalan, PAD Provinsi Papua hanya berkontribusi 8,82% dari total APBD Provinsi Papua 2016.

Di tengah maraknya dampak positif dan apresiasi terhadap berbagai paket kebijakan Jokowi-JK di tanah Papua hari ini, namun apa yang menjadi ruh dari berbagai paket kebijakan tersebut belumlah sepenuhnya mampu mengurai akar persoalan utama pembangunan di tanah Papua.

Hal ini juga terjadi dari kebijakan OTSUS Papua yang sudah selama 15 tahun berjalan dan telah memberikan dampak yang positif terhadap proses pembangunan infrastruktur sekaligus meningkatkan pemenuhan pelayanan kebutuhan dasar masyarakat seperti yang termaktub dalam UU No. 23 Tahun 2014, yaitu; pendidikan; kesehatan; pekerjaan umum dan penataan ruang; perumahan rakyat dan kawasan permukiman; ketentraman, ketertiban umum, dan perlindungan masyarakat; dan sosial, namun belum jua mampu mengurai “kerangkeng persoalan” birokrasi daerah hingga hari ini.

Walhasil, hingga 15 tahun OTSUS Papua berjalan dengan segala capaian pembangunan infrastruktur sarana dan prasarananya, sejak tahun 2002-2015 menunjukkan bahwa Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Papua masih selalu berada di posisi terendah. Pada tahun 2015, IPM Papua hanya mencapai angka 57,25 dan Papua Barat 61,73, masih berada dibawah nilai rata-rata IPM setiap Provinsi Indonesia yang mencapai angka 69,55 (Papua dalam Angka 2016).

Satu tahun proses pembangunan era Jokowi-JK berlangsung hanya mampu meningkatkan IPM 0,5 poin yang sejatinya belum signifikan. Persoalan utama dari rendahnya IPM tersebut adalah kegagalan pemerintah dalam membangun kesadaran akan pentingnya pendidikan di tengah-tengah masyarakat Papua disaat program pembangunan sekolah dan penyebaran guru di kawasan 3 T massif dilakukan.

Hingga tahun 2015, lebih dari separuh angkatan kerja di Papua yaitu sebesar 61,60% berpendidikan rendah (kurang dari SD), bahkan 33,88% diantaranya tidak atau belum pernah sekolah. Sebesar 13,15% angkatan kerja berpendidikan SLTP, dan sisanya sebesar 25,25% berpendidikan tinggi (SMA ke atas) (Papua dalam Angka 2016).

Akibat dari rendahnya kualitas IPM juga telah memengaruhi pertumbuhan ekonomi masyarakat Papua yang bergerak sangat lambat. Daerah dengan potensi SDA yang kaya tersebut hingga tahun 2015 masih memiliki jumlah penduduk miskin tak kurang 35% dari total jumlah penduduk provinsi Papua dan Papua Barat (Badan Pusat Statistik, 2015).

Kondisi seperti ini justeru terjadi ditengah-tengah periode OTSUS sekaligus akhir masa tugas Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat (UP4B) mau pun dimasa dana transfer dari pemerintah pusat untuk Provinsi Papua mau pun Provinsi Papua Barat mengalami peningkatan sepanjang 2014-2016.

Tentu suburnya “kondisi memprihatinkan” ini harus dibaca secara cermat oleh pemerintahan Jokowi-JK secara komprehensif dan stimulan. Ada pun tulisan ini mencoba mengurai “fondasi yang kosong” yang belum hadir dalam pembacaan paket kebijakan pembangunan pemerintahan Jokowi-JK di tanah Papua hingga hari ini.

Kolom terkait

Menalar Logika Pembangunan Papua (2)

Fachri Aidulsyah
Fachri Aidulsyah
Penulis merupakan Research Candidate di Pusat Penelitian Sumberdaya Regional-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2SDR-LIPI). Alumni Departemen Sosiologi Fisipol UGM ini menekuni dunia penelitian dibidang sosiologi agama dan ethno-nationalism.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.