Jumat, April 26, 2024

Menakar Ulang Hukuman Mati bagi Pelaku Kekerasan Seksual

Seli Muna Ardiani
Seli Muna Ardiani
Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Filsafat Universitas Indonesia

Pelaku kekerasan seksual (KS) bernama Herry Wirawan dituntut hukuman mati. Ini bukan kali pertama hukuman mati menjadi upaya penegakan keadilan bagi korban KS. Jauh sebelum kasus Hery, pada tahun 2016 pernah hukuman mati dilayangkan pada dalang pemerkosaan dan pembunuhan Yuyun bernama Zainal alias Bos. Dalam rentang waktu sekian tahun, seolah-olah hukuman mati dijadikan sebagai solusi paling adil dan setimpal bagi pelaku KS.

Tidak hanya dituntut hukuman mati, Herry yang telah memperkosa 13 santriwatinya itu juga dituntut kebiri kimia. Herry bukanlah yang pertama mendapat ancaman tersebut, di tahun 2019 tiga orang pelaku pencabulan siswa bernama Muh Aris bin Syukur, Rahmat Slamet santoso, Dian Ansori, juga dijatuhi hukuman serupa.

Dua jenis hukuman di atas dinggap setimpal untuk menebus kejahatan seksual para pelaku terhadap korban di bawah umur, serta ada di bawah kuasa pelaku sebagai guru atau ustadz. Kegeraman tersebut juga ditangkap oleh presiden Joko Widodo melalui Peraturan Presiden No 1 tahun 2016 tentang perubahan kedua atas UU No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang kemudian mengatur hukuman mati dan kebiri kimia.

Seolah mampu menjawab keadilan, persetujuan hukuman mati juga dilontarkan oleh beberapa tokoh publik. Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga, secara tegas mengharapkan terkabulnya tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) kepada Herry (nasional.tempo.co pada 13/1/2022). Persetutujan lain hukuman mati dan kebiri kimia oleh Ketua Lembaga Kesehatan Nahdlatul Ulama (LKNU) Kabupaten Lebak, Siti Nurasiah (republika.co pada 13/1/2022), serta legitimasi hukuman mati Herry melalui dalil Al-Quran oleh PWNU Jatim.

Pernyataan dan seluruh argumen persetujuan di atas patut dipertanyakan ulang. Jika hukuman mati terhadap pelaku KS mampu memberikan efek jera, lalu mengapa masih ada bernatai kasus serupa yang terus terulang?

Menentang Prinsip HAM, Tidak Mengeliminasi KS

Pada prinsipnya, setiap individu memiliki hak hidup yang tidak dapat ditangguhkan. Prinsip tersebut ada di dalam kovenan Hak Asasi Manusia (HAM) yang telah diratifikasi oleh Indonesia. Melalui dasar tersebut, menjadi aneh jika di negara ini masih mencantumkan hukuman mati untuk pidana-pidana tertentu.

Atas alasan tersebut, menurut Sandriyati Moniaga (Komisioner Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM), tumpang-tindihnya aturan dan penegakan hukum di Indonesia patut dievaluasi. Ia menganggap hukuman mati adalah inkonstitusional.

Senada dengan Sandriyati, Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani mempertanyakan komitmen Indonesia terhadap konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia, yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalui UU No. 5 tahun 1998 (komnasperempuan.go.id pada 11/10/2021).

Melalui pendapat Konmas HAM dan Komnas Perempuan dapat digarisbawahi, bahwa dalam segala kondisi apapun, hukuman mati telah merenggut hak dasar manusia yang tidak bisa ditanggalkan.

Maka dalam kasus Herry, hukuman mati tidak dapat dibenarkan. Serta, hukuman kebiri kimia yang bahkan ditolak oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI) karena telah melanggar kode etik.

Terbukti dari vonis hukuman mati Zainal di tahun 2016, sama sekali tidak mengeliminasi kejahatan seksual lainnya. Bahkan jika dispesifikasi kejahatan seksual terhadap anak, keberulangan kasus 2016, terjadi lagi hingga kasus Herry yang berhasil terkuak pada tahun 2021.

Meski tidak bisa disamakan detail konteksnya, namun ini menjadi bukti bahwa hukuman mati tidak menyelesaiakan masalah KS. Penguatan aturan penegakan yang dilakukan oleh negara, ternyata tidak menjawab akar permasalahan KS dan perlindungan terhadap korban.

Bentuk Pengabaian Kasus KS 

Selain melanggar prinsip HAM, hukuman mati di dalam KS bisa dilihat sebagai upaya instan negara dalam menyelesaikan masalah. Hukuman tersebut tidak mengindahkan hak rehabilitasi pelaku serta jaminan korban. Hal ini menjadi salah satu indikasi, bahwa negara telah gagal melihat akar struktural yang membentuk KS.

Upaya-upaya prefentif, penanganan, dan hak rehabilitasi, sesungguhnya telah diusulkan dalam Rancangan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS). Ketika negara begitu mudah mengabulkan tuntutan hukuman mati dan menolak grasi, lantas mengapa salah satu landasan hukum yang secara komperhensif mengatur dan mencegah KS harus mendapat jalan terjal untuk disetujui. RUU TPKS merupakan contoh produk hukum yang memandang bahwa KS harus dipahami sebagai problem struktural.

Penting bagi negara menjawab banyaknya kasus KS yang terjadi hampir disetiap lapis kehidupan, baik privat maupun publik. Luasnya permasalahan KS tidak bisa hanya dijawab dengan menghukum mati pelaku kejahatan seksual. Sebagai problem struktural, pemerintah dapat melihat ulang sistem hukum, pendidikan, ekonomi, dst, yang belum sensitif terhadap adanya permasalahan KS.

Misalnya di dalam kasus Herry. Apakah dengan menghukum mati, lantas permasalahan KS di pesantren akan terselesaikan? Hal itu tidak akan mengurai akar masalah. Dunia pesantren, sebagaimana ada didalam kasus Herry, kasus KS di pesantren Shiddiqiyah Jombang, kasus pencabulan dua pengasuh pesantren di Ogan Ilir  terhadap 26 santri laki-laki, tentu tidak akan terselesaikan.

Ketimpangan yang harus digenapi oleh negara adalah tidak adanya sistem pendidikan baik secara umum maupun keagamaan yang ramah pada persoalan ketidakadilan gender, tidak adanya sistem dan ruang pengaduan jika ada KS di pesantren, ketersediaan ahli dan tenaga pengajar yang memahami hak korban serta pelaku, dan seterusnya.

Kejahatan seksual adalah masalah struktural. Oleh karena itu, hukuman mati tidak akan mengeliminasi kasus KS di Indonesia. Pelegalan dan dukungan hukuman mati bisa disimpulkan sebagai upaya instan negara dalam menyelesaikan KS. Negara hanya menempuh jalan pintas namun tidak akan mematikan problem hulu kejahatan seksual.

Seli Muna Ardiani
Seli Muna Ardiani
Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Filsafat Universitas Indonesia
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.