Jumat, April 26, 2024

Menakar Tugas dan Kewajiban Presiden

Hadiri Abdurrazaq
Hadiri Abdurrazaq
Editor dan penulis lepas | Menjelajah dunia kata | Merangkai kalimat | Menemukan dan menyuguhkan mutiara makna

Pemilu dilaksanakan secara periodik dalam rangka sirkulasi kekuasaan. Salah satu lompatan “fantastis” pascareformasi terkait hal ini ialah perubahan sistem pemilihan Presiden. Jika sebelumnya Presiden dipilih melalui Sidang MPR, mulai tahun 2004 pemegang kekuasaan tertinggi NKRI ini dipilih langsung oleh rakyat.

Dengan demikian, Presiden merupakan mandataris rakyat, yang didudukkan langsung oleh rakyat sebagai Kepala Negara sekaligus Kepala Pemerintahan. Presiden sebagai Kepala Negara merepresentasikan rakyat dengan kekuasaan yang cenderung “tak terbatas,” dan sebagai Kepala Pemerintahan mengemban tugas dan kewajiban eksekutif.

Tugas dan kewajiban umum Pemerintah Negara Indonesia dinyatakan dalam Pembukaan UUD 1945, termaktub di awal alinea keempat: “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial…”

Ada yang menafsirkan pernyataan tersebut sebagai tujuan bernegara. Namun jika kita tilik dengan saksama, tujuan bernegara sejatinya termaktub di alinea kedua, yaitu merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur; atau apa yang kita sebut sebagai dasar negara dalam rumusan Pancasila, dan termaktub di akhir alinea keempat itulah sesungguhnya tujuan bernegara kita.

Jadi ada empat tugas dan kewajiban umum pemerintah: pertama, melindungi bangsa dan tumpah darah Indonesia; kedua, memajukan kesejahteraan umum; ketiga, mencerdaskan kehidupan bangsa; dan keempat, ikut melaksanakan ketertiban dan perdamaian dunia.

Kekuasaan eksekutif dalam sistem presidensial berada di tangan Presiden, yang berfungsi menjalankan roda pemerintahan dengan melaksanakan tugas dan kewajiban umum pemerintah. Untuk itu, dibutuhkan catur-politik kenegaraan dan kebangsaan: politik perlindungan, politik kesejahteraan, politik kemajuan, dan politik perdamaian. Politik dimaksud dalam konteks ini adalah kebijakan dalam kerangka strategi dan tindakan.

Politik Perlindungan

Penduduk Indonesia (menurut data BPS 2018) berjumlah 261.890.900 jiwa pada tahun 2017, tersebar di 34 provinsi, dari Aceh hingga Papua. Mereka terdiri dari berbagai suku, ras, klan, golongan, agama, warna kulit, strata sosial, ekonomi, profesi, kecenderungan, dan lain sebagainya. Inilah bangsa dan tumpah darah Indonesia yang mesti mendapat perlindungan negara di bawah tanggung jawab pemerintah yang dikepalai oleh Presiden.

Politik perlindungan mesti dijalankan untuk memastikan kedaulatan bangsa dan negara. Kedaulatan bangsa ditegakkan melalui supremasi hukum dan hak asasi. Kedaulatan negara ditegakkan dengan mewujudkan pertahanan yang kuat agar mampu menghadapi tantangan global; menghalau berbagai rongrongan dari dalam dan dari luar baik teritorial maupun digital.

Presiden sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan wajib memberikan perlindungan terhadap semua warga bangsa melalui tata kelola pemerintahan yang akuntabel. Perlindungan dimaksud mencakup politik, hukum, keamanan, keyakinan, ekonomi, dan semua hak-hak dasar warga negara. Presiden juga harus melindungi tumpah darah bangsa ini, menjaga kedaulatan negara dan keutuhan tanah air sehingga tak sejengkal pun jatuh dan lepas dari pangkuan Ibu Pertiwi.

Dalam rangka politik perlindungan, Presiden diberi kekuasaan sehingga berhak secara prerogatif mengangkat menteri-menteri sebagai pelaksana teknis untuk mengejawantahkan kebijakannya dalam konteks perlindungan, yang mencakup politik, hukum, pertahanan dan keamanan serta bidang-bidang terkait lainnya.

Isu radikalisme yang cukup mendominasi wacana kekinian tampaknya menjadi bagian penting dari visi Presiden Jokowi di periode keduanya ini dalam konteks politik perlindungan. Ini bisa kita lihat dari komposisi menteri dan kepala-kepala lembaga terkait yang berada di bawah Kemenko Polhukam serta narasi-narasi yang mengemuka baik dari Presiden sendiri maupun pembantu-pembantunya yang belum lama dilantik.

Politik Kesejahteraan

Salah satu tolok ukur kinerja pemerintahan ialah terwujudnya kesejahteraan rakyat. Makin tinggi tingkat kesejahteraan rakyat mengindikasikan ujud kinerja pemerintahan yang baik. Sebaliknya, kesejahteraan rakyat jeblok ketika kinerja pemerintahan buruk.

Kesejahteraan dimaksud tidak melulu soal pendapatan dan ekonomi. Tingginya pendapatan tidak menjamin kesejahteraan rakyat wujud. Tidak sedikit warga negara berpendapatan tinggi, di atas rata-rata, justru mengalami disorientasi hidup, mengidap “penyakit mental,” dan menjauh dari kesejahteraan.

Perilaku korupsi adalah contoh “penyakit mental” yang menunjukkan bahwa politik kesejahteraan di negara ini belum berhasil—untuk tidak mengatakan gagal. Faktanya, mereka yang diidentifikasi sebagai koruptor bukanlah orang-orang yang berpendapatan rendah. Justru mereka memiliki pendapatan di atas rata-rata penduduk bangsa ini.

Dalam konteks politik kesejahteraan ini, Presiden sebagai Kepala Pemerintahan dituntut mampu menyelenggarakan pemerintahan yang baik dan bersih (good-clean governance). Masalah korupsi tidak semata-mata dilihat sebagai persoalan hukum, tetapi merupakan persoalan yang saling kait-mengait dengan masalah kesejahteraan dari hulu sampai hilir.

Politik Kemajuan

Kesejahteraan saja tidak cukup. Betul bahwa pemerintah wajib mengupayakan wujudnya kesejahteraan rakyat. Namun tidak berarti negara memberikan atau menyediakan apapun yang dibutuhkan rakyat. Jika negara terlalu memanjakan rakyat, tanpa memberi ruang dinamika dan persaingan yang sehat bisa menjadi sandungan bagi negara dalam kerangka politik kemajuan.

Redaksi dalam kerangka politik kemajuan ini ialah “mencerdaskan kehidupan bangsa.” Dengan kata lain, Pemerintah—yang dikepalai oleh Presiden—mesti menfasilitasi serta membuka ruang bagi terciptanya dinamika kehidupan rakyat melalui program-program strategis yang memungkinkan rakyat bisa bergerak menuju kemajuan.

Jika tidak, Visi Indonesia Maju 2045 yang menargetkan kita masuk dalam 5 besar kekuatan ekonomi dunia hanya akan menjadi mimpi indah, tanpa benar-benar jadi kenyataan. Di sinilah “label” Kabinet Indonesia Maju dalam pemerintahan periode kedua Presiden Jokowi diuji keseriusannya.

Politik Perdamaian

Dunia terus bergerak, dan kompetisi tak terelakkan. Dalam percaturan politik global, watak kekuasaan kerap mendominasi. Aneksasi kaum Yahudi atas tanah-bangsa Palestina serta perang dagang antara Cina dan Amerika adalah bagian dari contoh-contoh kompetisi berwatak kekuasaan. Jika kekuasaan tak terkendali, alih-alih perdamaian, kekuasaan bisa menjadi sumber petaka, yang memicu perang menuju kehancuran dunia.

Dalam konteks politik perdamaian dunia, Presiden Jokowi sebagai Kepala Negara yang merepresentasikan rakyat dan bangsa Indonesia memegang peranan penting dalam keikutsertaan bangsa ini menjaga dan melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Kita akan melihat bagaimana Presiden Jokowi didampingi wakilnya KH Ma‘ruf Amin memainkan perannya dalam kancah politik global dalam rangka melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Kepala Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Hadiri Abdurrazaq
Hadiri Abdurrazaq
Editor dan penulis lepas | Menjelajah dunia kata | Merangkai kalimat | Menemukan dan menyuguhkan mutiara makna
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.