Momentum Pilkada 2018 mulai menarik untuk diperbincangkan oleh khalayak ramai, baik politisi, pengamat politik atau bahkan LSM. Pasalnya, ada 171 daerah yang secara serentak menggelar hajatan pemilihan kepala daerah se Indonesia. Nuansa politik sudah mulai terasa dan menjadi hal yang tak terpisahkan menjelang pesta demokrasi bahkan sudah ada pihak yang mencoba memanaskan mesin.
Pilkada erat kaitannya dengan geliat partai politik dalam memunculkan sosok calon yang dianggapnya terbaik, memiliki track record yang jelas, teruji publik dan humanis terhadap masyarakat. Sosok yang familiar atau mudah dikenal publik akan lebih gampang menarik simpati publik daripada yang hanya sekedar silaturahmi, tebar visi dan obral janji. Sehingga, hal tersebut akan menyulitkan elektabilitas partai politik pengusung yang ingin mendongkrak perolehan di kursi politik.
Popularitas sebetulnya sangat mudah diciptakan dengan cara yang cukup instan. Popularitas tidak jauh dari eksistensi diri ke publik dan alat bantu publikasi yang berupa media. Jokowi misalnya, dulu saat menjabat sebagai Walikota Solo tidak banyak yang mengenal beliau. Namun, berkat mobil esemka justru beliau mulai disoroti oleh media karena dianggap sebagai sosok kepala daerah yang berbeda dan unik.
Lantas, apa hanya sekedar mobil esemka? jawabannya, tidak. Jokowi adalah tipe orang yang lihai dalam memanfaatkan peluang, tau memainkan waktu dan mengatur tempo. Kapan harus berdiam dan kapan harus bertindak. Sebelum menjadi Walikota Solo beliau adalah pengusaha mebel, jadi wajar saja seorang pengusaha sangat jeli dalam menghitung peluang bisnis. Selain itu, Jokowi merupakan sosok yang care dan terbuka dengan media apapun. Sehingga, banyak wartawan atau media yang amat dekat dengan Jokowi. Semangat memupuk media inilah yang kebanyakan orang tidak memahami bahwa ini sebagai soft politik. Maka, muncullah istilah yang sering dibahasakan simbiosis mutualisme.
Terlepas dari itu, keterlibatan partai politik dalam Pilkada kental dengan strategi penempatan partai dalam penguasaan pos strategis kekuasaan. Langkah politik akan menjadi kalkulasi penting untuk menghubungkan rangkaian agenda Pilpres 2019. Suatu keterlibatan luas dalam menentukan arah dan peran partai politik dalam mewacanakan kebijakan politik yang strategis.
Dinamika politik Pilkada akan menjadi sangat ketat dan keras. Pasalnya, akan muncul banyak kandidat yang siap bersaing secara penuh untuk menjadi kepala daerah. Tak peduli lawan politiknya dari partai Islam, Nasionalis ataupun moderat. Yang pasti, masing-masing kandidat akan bertarung ekstra, perhitungan dan ambisius untuk satu kursi pemerintahan.
Antusiasme politik ini menandakan begitu seksinya menuju pendewasaan politik demokrasi. Setiap orang diperkenankan mencalonkan diri atau dicalonkan sebagai kandidat tanpa memandang kesukuan, ras dan agama. Namun, faktanya justru terbalik banyak masyarakat yang malah mengobral agama sebagai alat politik untuk menundukkan lawan politik yang berbeda keyakinan. Mindset seperti inilah yang seharusnya dihilangkan karena wujud keberagaman telah menjadi konsensus untuk dimaknai secara kolektif.
Kursi pemerintahan menjadi simbol politik yang mempesona sehingga diperebutkan oleh banyak orang. Ini artinya, ketertarikan terhadap ruang politik semakin besar selaras dengan potensi keinginan untuk merubah sesuatu hal menjadi lebih baik. Ada banyak harapan yang tersematkan dan cita-cita yang belum terwujud sehingga dibutuhkan upaya politik untuk meretas rantai keterpurukan.
Kedewasaan politik perlu diukur dari cara mengatasi dan menegasikan potensi konflik sedini mungkin untuk menghindari hal-hal yang melanggar hukum. Politik harus menjadi jembatan terciptanya kesejahteraan kolektif bukan menjadi ajang menilap dan menyulap aset negara. Sehingga, dibutuhkan mental idealis dalam berpolitik bukan mental pengemis berdasi.
Ambisi politik kerapkali disalahartikan sebagai langkah untuk menghalalkan segala cara demi menggapai kursi kekuasaan. Tak sedikit, kasus Pilkada yang memperlihatkan pola konfrontasi, adu domba, dan propaganda politik yang ujungnya hanya menegasikan kelompok masyarakat. Hal seperti inilah yang sebetulnya tidak menyehatkan proses berkembangnya demokrasi di negara yang amat demokratis.
Pelbagai isu yang terjadi belakangan ini, baik soal gerakan aksi bela Islam 212 hingga memanjang berjilid-jilid dan sebagainya adalah upaya politis untuk menggoyahkan kursi pemerintahan. Isu sensitif digemborkan untuk menambah kegaduhan politik sehingga situasinya akan semakin kacau. Namun, faktanya perlahan meledaknya isu ini bisa dikempesin dengan cara yang cukup elegan.
Kokohnya bangunan politik pemerintah tidak membuat sedikit pun adanya pertumpahan darah dan konflik yang berkepanjangan antar kelompok. Meski perlahan isu sensitif bisa dikendalikan dengan cara yang demokratis nampaknya tidak menciutkan mental kelompok tertentu (berseberangan dengan pemerintah) untuk meracik isu lanjutan. Maka muncullah isu PKI yang santer mengusik telinga banyak orang dan disinyalir sebagai agenda politik terselubung untuk rangkaian periodisasi politik kedepan.
Pertarungan politik Pilkada bisa dirasakan melalui munculnya berbagai isu yang variatif. Meski tidak secara langsung, namun secara substansial isu ini mengisyaratkan adanya rencana strategi politik kelas tinggi yang dilakukan para elite politik untuk menggulingkan kekuasaan dan mencoba menguasai pos pemerintahan di daerah. Selain itu, bisa dipastikan agenda Pilkada 2018 adalah pertarungan para elite politik yang masih terbawa dengan anganan masa lampau (luka lama).
Resonansi politik akan memuncak selaras dengan durasi waktu yang kian mendekat menjelang Pilkada. Industrialisasi isu akan muncul sesuai dengan orderan politik sebagai siasat untuk menjegal lawan politik. Produktivitas isu akan semakin menyeruak apalagi telah diajarkan di Pilgub DKI Jakarta. Pola hegemoni isu tersebut nampaknya akan menjadi semacam percontohan untuk meracik isu baru dengan pola hegemoni yang sama ke masyarakat. Sehingga, pelbagai pihak diharapkan perlu meningkatkan kewaspadaan supaya tidak mudah terpancing dengan isu pesanan.
Mesin partai politik akan bekerja secara ekstra untuk memanfaatkan momen politik ini sebagai bagian dari pertarungan siasat. Narasi politik akan terasa kental untuk dibincangkan sebagai langkah politik yang relevan kedepan. Pelbagai pihak akan menarik pedal gas untuk sama-sama beradu alot, saling memacu kecepatan dan berambisi untuk menjadi pemenang. Segala kisah akan berbeda ketika menjadi pemenang, karenanya politik kekuasaan adalah barang mewah bagi para pemenang.
Lembaga survei semisal SMRC, Median (Media Survei Nasional ), KedaiKOPI (Kelompok Diskusi dan Kajian Opini Publik Indonesia) dan sebagainya bahkan sudah merilis elektabilitas sosok Presiden 2019. Keberadaan survei ini tentu tidak berdiri sendiri melainkan ada upaya menggiring wacana publik mengenai arus kepentingan politik. Menakar sosok pemimpin dimasa mendatang yang mampu menjawab segala kegundahan masyarakat, baik soal stabilitas politik, ekonomi, hukum dan sebagainya.
Lambannya pertumbuhan ekonomi menjadi isu menarik yang barangkali akan dijadikan opsi bahwa persoalan ekonomi menjadi hal yang sangat mendasar. Disadari atau tidak isu ekonomi ini berjalan begitu lemah apalagi didorong dengan kenaikan pajak. Tak sedikit masyarakat yang mengeluhkan soal kondisi pajak yang naik secara beruntun. Saat ini, segala hal kena pajak dan muncul wacana baru soal pengenaan pajak bagi pembelian barang dari luar negeri. Selain itu, wacana lain juga menguat mengenai pengenaan pajak telepon pintar (seluler) dan jika tidak dilaporkan akan menjadi pajak penghasilan. Hal ini bisa dikatakan bahwa pemasukan di sektor pajak masih impas sehingga pemerintah bergeliat untuk menutup segala kelemahan di sektor pendapatan pajak.
Meski demikian, sosok Jokowi masih dianggap sebagai petahana yang kuat dalam Pilpres 2019. Model politiknya masih mengandalkan pola yang sama, seperti blusukan, bagi kuis berhadiah, bingkisan kado anak atau sembako dan sebagainya. Politik kelas bawah ini hanya mampu dilakukan Jokowi yang secara physically berangkat dari kalangan sipil. Mustahil dilakukan oleh kalangan militer, politisi dan sebagainya karena model politik seperti ini berjalan alamiah, bisa dari bawaan atau memang pengecualian khusus. Sehingga, banyak partai politik yang mencoba menakar kekuatan dan kelemahan Jokowi untuk menyingkirkan dari kursi pemerintahan.
Jokowi dirasa menjaga betul politiknya dan berusaha untuk tidak terjebak pada kubangan isu. Tak sedikit isu yang coba dimunculkan untuk memantik respon yang emosional namun semuanya justru adem dengan sentuhan Jokowi. Begitu pusingnya menebak politik Jokowi yang setiap jengkal langkah kaki menuliskan jejak sandi. Ada saja hal-hal yang menggugah simpati publik meski perlahan masyarakat tidak sadar bahwa di gebuk dengan kenaikan pajak. Alasannya pun bisa dimaklumi oleh masyarakat secara umum karena untuk pembangunan, efisiensi ekonomi dan sebagainya. Namun, justru akan berbeda jika dipahami dari kalangan ekonomi, pengamat politik dan telaah kritis pada neraca keuangan.
Begitulah cerdasnya Jokowi untuk memupuk kondisi masyarakat bawah supaya adem, tidak terlibat politik ekonomi dan isu yang lain. Masyarakat coba diyakinkan dengan program kerja namun tidak diperkenalkan berapa pasti nominal utang luar negeri. Sangat sulit ditebak dan benar jika Pilkada nanti akan menjadi celah untuk mencari kunci yang selama ini disimpan rapat oleh Jokowi. Jenderal Gatot Nurmantyo sudah main kopling namun masih sering ceroboh, Prabowo Subianto memiliki tekad kuat namun selalu runner up. Agus Harimurti Yudhoyono gagal Pilgub DKI sehingga berusaha mencari panggung politik baru dengan menggeret kalangan muda. Peluang meyakinkan generasi muda untuk selalu optimis dan menatap wajah baru bahwa kalangan muda sudah layak untuk terlibat ranah politik. Politik sejuk, keberpihakan, dan persatuan bangsa begitulah kalimat yang akrab disampaikan Agus dalam banyak forum.