Membicarakan politik belakangan terasa menjadi begitu menjemukan, terkhusus menjelang Pilpres 2019 ini. Sebagai pembelajar ilmu politik, saya pun turut kehilangan nafsu untuk mengikuti narasi, intrik, kontroversi dan isu faktual politik elektoral yang sedang dalam proses perhelatan ini.
Keengganan ini disebabkan minimnya substansi dan hanya terfokus pada sensasi sentimental. Masih hangat tai kebo terdengar soal “politisi sontoloyo”, “tampang boyolali”, “politik genderuwo” dan narasi senada yang dilontarkan keduabelah pihak. Pernyataan “Pemilu sebagai momentum adu gagasan dan wacana”, pada akhirnya tak lebih hanya slogan yang digaungkan di panggung dramaturgi politik.
Padahal Pilpres 2019 dianggap sebagai momentum tepat bagi para capres dan cawapres merumuskan berbagai strategi kebijakan yang tertuang dalam visi misi mereka, untuk mengatasi persoalan-persoalan multidimensional yang dialami negara-bangsa ini. Alih-alih berlaku demikian kedua belah pihak malah sibuk dengan hal-hal bernuansa kebencian. Beberapa ahli menuturkan bahwa kondisi ini adalah dampak political illiteracy elite politik kita, mungkin begitu? atau hanya baru pada taraf tersebut kedewasaan politik kita?
Lempar bola api kebencian itu tidak saja terjadi di elit politik, demikian pula dengan grass root. Selain karena pluralitas bangsa, gelombang kebencian nampak dihembuskan dengan goal kemenangan elektoral. Begitu dinamisnya politik, membuat gaya politik ini tidak begitu berdampak bagi elit politik, misal, fenomena kutu loncat.
Berbeda dengan akar rumput, pantikan kebencian cenderung membesar dan menjadi laten. Bayangkan berapa lama waktu yang dibutuhkan agar pihak Alumni 212 dan Nahdliyyin kembali berdamai pasca rentetan peristiwa politik sentimental belakangan ini? Tidak ada jawaban pasti, yang jelas elit politik lebih mudah berkongsi karena acuan mereka adalah kepentingan. Tapi kebencian di akar rumput akan tetap menyala jika tanpa peristiwa luar biasa.
Ujaran kebencian, name call, dan politik identitas hanyalah sebagian dari piramida kebencian ulah demagog dalam melancarkan praktik politik kebencian. Hal yang perlu dipikirkan adalah dampak kebencian, yakni tindakan bernada “devaluative the victim” bermuara pada diskriminasi, kekerasan, dan bahkan genosida.
Boleh jadi adalah sebuah kemungkinan spekulatif, tapi kita boleh berkaca pada sejarah kelam Jerman dibawah pimpinan Adolf Hitler saat melakukan genosida terhadap bangsa Yahudi. Peristiwa yang dikenal dengan Holocaust tersebut tidak lain dilatarbelakangi kebencian mendalam. Peristiwa sejenis pernah pula terjadi di Indonesia, di era orde baru, yakni genosida terhadap mereka yang dianggap berelasi dengan PKI. Demonisasi yang kini masih terus ditebar, melanggengkan rasa benci dalam sanubari dan menganggap itu salah satu bagian dari nasionalisme kita.
Sejauh yang bisa kita amati, saat ini politik kebencian mengeksploitasi isu politik identitas, sentimen moralitas agama dan nasionalisme sempit oleh aktor negara dan non-negara yang mengajak pengikut mereka dan masyarakat luas untuk membenci mereka yang dianggap berbeda, sehingga dapat melemahkan ketahanan nasional dan nasionalisme itu sendiri.
Memahami Kebencian
“Kebencian adalah seperti meminum racun dan berharap musuhmu yang terbunuh” demikian Nelson Mandela mengandaikan kebencian. Kebencian pada sebagian besar manusia terjadi tanpa refleksi dan berkerja secara otomatis tanpa perhitungan untung-rugi dan kausalitasnya. Kebencian berangkat dari falasi dan berakhir dengan destruksif. Jika terlanjur menetap dalam sanubari bangsa, maka komodifikasi kebencian hanya akan menghapus frasa “bangsa” itu sendiri.
Freud mendefinisikan benci sebagai pernyataan ego (ke-akuan) yang ingin menghancurkan sumber-sumber ketidak bahagiaannya/yang menghalangi kebahagiaan. Sedangkan kebencian menurut Penguin Dictionary of Psychology adalah “emosi yang dalam dan bertahan kuat, yang mengekspresikan permusuhan dan kemarahan terhadap seseorang, kelompok, atau objek tertentu”. Membincangkan kebencian bukan hanya tentang emosi yang tertanam dalam tapi juga agresifitas dan potensi konfrontasi yang ditimbulkan. Sebab, kecenderungan kebencian adalah menghancurkan obyek kebencian.
Secara umum kebencian berangkat dari kesalahan penyimpulan akibat kesesatan fikir (fallacy). Menurut R. Stenberg yang melahirkan persepsi kebencian ialah automatic thought dalam beberapa bentuk; over-generalization, read the thought, emotional reasoning, customization, maximization/minimization dan catastrophic thinking. Itulah beberapa cara fikir yang gampang menjadikan emosi dan ketidak-sukaan menjadi kebencian.
Selain itu sebab kebencian juga karena hal-hal dogmatis, seperti ajaran agama, ideologi, hukum, adat, perbedaan komunitas sosial, kelas sosial dan seterusnya. Kontradiksi dalam masing-masing lembaga dogmatis-primordial tersebut saat bersinggungan di ranah publik sangat rentan menciptakan konflik yang menciptakan kebencian yang turun-temurun jika tak mampu diatasi oleh pihak ketiga.
Misal saja kewajiban dakwah bagi muslim jika tidak diatur oleh sistem norma atau hukum dan kesadaran pluralisme, maka disintegrasi akan semudah menghela nafas saja, karena setiap komunitas sosial pasti mempunyai insting mempertahankan diri dari ancaman pihak lain.
Bagaimana jadinya jika potensi kebencian yang niscaya ada pada bangsa multikultural dan plural ini malah dijadikan semacam komoditas hanya untuk mendapatkan dukungan segmen masyarakat (mayoritas) tertentu?. Mungkin pantas disebut sebagai upaya denasionalisasi bangsa ini.
Legitimasi Kebencian dan Kekerasan
Beck and pretzer dalam “A cognitive of hatred and violence” pada buku The Psychology of hate karangan R. Stenberg menjelaskan proses legitimasi kebencian dan kekerasan. Bahwa kebencian dalam prosesnya mengalami pembenaran dan justifikasi, sehingga aksi kebencian dalam bentuk apapun dianggap wajar.
Proses legitimasi kebencian dimulai dari event (peristiwa), misalnya: Presiden menerima kritik tajam dari oposan. Kedua, intepretation of event: kritik terhadap presiden dianggap menyerang subyek/ad hominem. Ketiga, feeling of stress: merasa stress, ditekan dan direndahkan. Keempat, secondary intepretation: menganggap diri sebagai korban. Kelima, hostility : marah dan berhasrat membalas dendam, muncul anggapan “ini sudah keterlaluan, jadi tak apa jika saya mengumpat/memukul”. Diakhiri Action : mengatakan “s*ntoloyo” atau memukul.
Sebetulnya yang menjadi penentu dalam proses tersebut adalah pada saat fase; event, seseorang menerjemahkan tindakan pihak kedua sebagai hal yang merendahkan atau tidak. Kemudian yang memutuskan adalah kualitas fikir yang nantinya akan berdampak pada penyimpulan sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.
Kebencian yang legitimate tersebut nampak di bangsa ini dalam berbagai keputusan bias mayoritas, misalnya pelarangan ormas yang diduga anti-Pancasila. Selain indikator yang tidak begitu baku, hegemoni kelompok pada rezim berkuasa dirasa lebih berpengaruh. Dalam konteks Holocaust dan pemberantasan PKI pun sama, kekerasan dilegitimasi dengan dalih ancaman dan nasionalisme.
Solusi Kebencian?
Niza Yanay pada bukunya The Ideology of Hatred, mengajukan sebuah solusi dari kebencian yang mengakar yaitu dengan menjalin Persahabatan. Kebencian muncul karena prasangka dan prasangka timbul karena ketidaktahuan. Pada skala relasi personal mungkin ini dapat berkerja sebagai solusi, ada skala lembaga/komunitas sosial peluang keberhasil cukup kecil?
Perihal pencegahan sentimen agama dan politisasi agama, mungkin kita perlu mempertimbangkan kembali gagasan Nurcholish Madjid perihal sekulerisasi politik?