Selasa, Oktober 8, 2024

Menakar Restoran Cepat Saji Pada Masyarakat Urban Perkotaan

Hendra Mas Martayana
Hendra Mas Martayana
Penulis I Ik ben Een Vrijmaan

Seumur-umur, saya baru dua kali mengunjungi restoran cepat saji asal Paman Sam. Kunjungan pertama pada 2011 di McD Nangka Utara Denpasar. Saya diajak oleh seorang kawan yang kebetulan rumahnya menjadi penampungan saya beberapa bulan sebelum lanjut studi master UGM di tahun 2012.

Layaknya orang desa yang gagap dengan hal-hal baru, saya agak kikuk dan merasa asing ketika diajak masuk. Maklum, saya jarang makan di tempat seperti ini. Saking “katrok”nya, begitu teman-teman melabeli kekudetan saya dulu, keran tempat menuangkan saos pada piring makanan, saya pikir keran tempat kobokan cuci tangan.

Awalnya sedikit bingung, sebab piring tempat makanan tidak menyertakan saos. Ternyata saos bisa didapatkan dari keran yang letaknya tidak jauh dari kasir. Beruntung saya tidak sampai melakukan tindakan bodoh dengan menaruh tangan di bawah keran saos, sebab keran mencuci tangan memiliki tempatnya tersendiri.

Seorang ibu yang berada di depan saya ketika antri di depan keran menunjukkan cara pemakaiannya. Peristiwa itu saya ceritakan kepada kawan yang telah lebih dulu duduk di meja makan. Meledaklah tawa dari mulutnya sembari mengunyah makanan dan meracau tak jelas.

Kunjungan kedua pada bulan Juli, 2014, detik-detik jelang ujian tesis di bulan Agustus. Saat itu saya pulang ke Bali untuk mencari data tambahan, lalu menyempatkan diri mengunjungi kota Singaraja. Seorang teman mengajak bertemu, dan saya mengiyakan. Kami berjumpa di KFC Singaraja yang telah dibuka sejak tahun 2013. Itupun saya tidak makan maupun minum, hanya ngobrol membincangkan momen-momen indah saat PPL Real dulu di tahun 2010.

Selama dua tahun menetap di Yogyakarta, meski bergelimang dana riset penelitian dari Adger University of Norwegia, tak sekalipun saya pernah menghabiskan uang dan waktu kongkow di restoran cepat saji semacam KFC maupun McD. Akhir pekan, jika tidak ada kesibukan akan saya habiskan dengan bermain futsal atau menyewa Playstation 3.

Ketidaksukaan saya terhadap restoran cepat saji di atas bukan perkara karena saya seorang Marxis, atau golongan kiri tulen. Alasan tersebut terlalu naif, karena toh saya juga memakai produk kapitalis lainnya seperti hp, motor dan lain sebagainya. Hal tersebut lebih didorong oleh cita rasa yang ditawarkan dan masalah-masalah kesehatan yang ditimbulkan.

Menurut saya, rasa yang ditawarkan ayam goreng yang dibuat dua perusahan transnasional di atas tidak lebih baik dari ayam goreng yang dijual di pinggiran jalan semacam warung pecel lele. Saya lebih suka makan lesehan sekitaran Selokan Mataram, Gejayan dan Klebengan yang menawarkan masakan angkringan khas Jogja.

Meski demikian, untuk memahami perilaku sosial budaya mengapa begitu antusiasnya masyarakat urban kota Singaraja dengan kehadiran dua restoran cepat saji itu, disesaki pengunjung dan bahkan tetap ramai di hari-hari biasa, saya berinisiatif memesan ayam goreng di kedua restoran itu via Grab dengan harapan mendapatkan bayangan tentang cita rasa yang menjadi candu warga kota, atau jangan-jangan hanya karena gratis boneka burger yang kalau dikonversi ke rupiah seharga kurang lebih 170 ribu + 20 ribu ongkos kirim.

Selain KFC dan McD yang telah memiliki imej kuat yang dibantu penyebarannya oleh media cetak dan elektronik, tidak ketinggalan pula rumah makan sejenis seperti ACK, My Dea, JFC dan tentu saja tidak terhitung warung klontong kecil-kecilan lainnya. Secara umum perilaku mereka mengacu pada suatu tema yaitu franchise ayam goreng Amerika. Lihat saja bagaimana pemilihan nama warung hingga urusan desain tempat dan pemilihan warna, yakni merah, biru cerah dan kuning: warna Amerika.

Melihat fenomena di atas, saya teringat dengan Gramsci, tokoh komunis dari Sardinia Italia yang menggagas konsep hegemoni. Konsepnya akan saya pergunakan untuk membedah fenomena viralnya kehadiran dua ikon restoran cepat saji Paman Sam di atas. Dalam bukunya berjudul Selection from The Prisoner’s Books, pada halaman 21, Ia mengulas dengan terang bagaimana hegemoni bekerja dalam struktur sosial yang rumit, yakni melalui pengendalian instrumen koersif dan ideologis oleh penguasa.

Beberapa pemikir Cultural Studies bahkan mencangkokkan konsep hegemoni dalam konteks kebudayaan modern dan relevansinya dengan kapitalisme. Konsep hegemoni yang semula lebih condong pada konteks politik militeristik menjadi lebih kaya dan tajam setelah dikontekstualisasikan dengan kuasa modal.

Salah satu inti pemikiran Gramsci adalah terciptanyan ketaatan moral, intelektual dan afektif karena dikehendaki oleh kekuatan struktur ekonomi dan politik. Dalam konteks peradaban modern, kebudayaan dominan dengan demikian merupakan hasil penaklukan kapitalisme terhadap aktivitas kebudayaan manusia, bahkan jika dibandingkan dengan aparat modernisme yang lain, kapitalisme tetap menjadi ujung tombaknya.

Gramsci melihat secara kritis bahwa kekuatan struktur ekonomi dan politik itu akan semakin meminggirkan ekspresi yang tidak berada dalam jaringan penaklukan. Melalui jembatan pembangunanisme, Barat telah melakukan penetrasi besar-besaran ke dalam kehidupan ekonomi negara Dunia Ketiga  hingga berujung pada globalisasi saat ini. Relasi dari globalisasi adalah manifestasi ekspansi ekonomi transnasional dalam semangat dasar kapitalisme.

Gegap gempitanya masyarakat urban perkotaan terhadap kehadiran restoran cepat saji yang berperan sebagai agen globalisasi sekaligus amerikanisasi merupakan prototipe peminjaman simbol kemakmuran negara maju oleh negara Dunia Ketiga seperti Indonesia. KFC dan McD menyimbolkan kemapanan, kemakmuran dan kelas sosial atas.

Aktivitas konsumsi bukan lagi dalam rangka memenuhi kebutuhan primer berupa pangan, lebih dari itu adalah mencangkokkan identitas kemakmuran itu pada kosumen dua restoran di atas. Rutinitas konsumsi di restoran cepat saji itu, sebagaimana ritualisme yang diharapkan terhadap gaya hidup masyarakat urban perkotaan diharapkan mampu mengkatrol status sosial yang bersangkutan sebagai bagian dari kelas sosial atas. Uang yan dikeluarkan untuk konsumsi ayam goreng, bukan lagi membeli substansi materialnya, melainkan membeli prestisenya seperti tempat yang bersih, nyaman dan tentu saja ber AC.

Berbicara substansi material, menurut saya, kalau diukur dari parameter variasi rasa, betapa tidak kayanya bumbu ayam goreng di kedua restoran cepat saji itu jika dibanding warung makan ayam pecel lele misalnya. Paul Ricour secara eksplisit menyebut fenomena tersebut sebagai ideologisasi terhadap selera dan estetika. Parameter tentang keindahan dan kelezatan cenderung memiliki sentimen mendukung kelas dominan.

Hendra Mas Martayana
Hendra Mas Martayana
Penulis I Ik ben Een Vrijmaan
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.